Sajak-sajak Bahauddin 2

SAJAK SEBATANG CEMARA KERING
Buat karibku Hosriyanto Hobir

sebelum dirimu menjelma sebatang cemara kering, ku lihat di jantungmu mengalir gemericik air sungai, mengibarkan pijar-pijar musim pada bebutir kerikil yang bertebaran di padang dingin. kau pun menunggangi kuda perang yang memercikkan bola api dari pukulan kuku kakinya, demi menziarahi sunyi ngarai yang demikian curam.

sebagaimana sujud kemarau yang rebah di jernih retinamu, kelopak-kelopak itu masih berjatuhan dari tangkainya yang lapuk, meski hanya semilir yang berdesir, merangkai sebaris epitaf pada sepotong batu nisan yang dipahat indah dengan lelentik jemari rembulan.

maka alangkah curam lelembah kawah hatimu; desau leletih angin menunggu diammu membatu bercadas magma, jentik reriak hujan menunggu sukmamu bergemuruh sirna.

“aku hanya sebatang cemara kering”, sembari tertawa pada angin, kau pun pamit dengan bahasa Tuhan.

Madura, 2005

ALAS BULUH DINI HARI

bersama gigil angin pantai dan secangkir kopi hangat;

jejatuhan kapuk-kapuk itu berjelaga di rerkah fajar
meinggalkan helai resah pada dedebu jalanan
merangkai anatomi setapak jalan sunyi
yang mengucur deras dari lebam kening matahari

dari ketinggian puncak gunung Raung
ku potret denyar temaram Watudodol
sedang rahang Banyuwangi demikian kabut
dan degup laut Ketapang menjelma kidung

di pelepah nyiur rinduku bersemi
menekuri zikir malam dalam selembar puisi
alas buluh dini hari
menanti sajakku memucuk abadi

Banyuwangi, 1425 H.


KELUH GERIMIS

pucuk-pucuk tembakau menengadah kuncup meradang kelabu. menangkap bias-bias asa pada kelopaknya berjatuhan. dan kau masih mengakabut dalam bayang-bayang luka nganga. mencadas, menerjal, membelukar, dan kian meranggas menghunjam matahari.

pada sebuah senja yang gelisah, lelah kian larut dalam relung gerimis mengeluh, menunggumu di istana paling gaib itu, sedang lembayung senja enggan membenamkan ronanya, menyaksikan kelepak sayapmu mengehempas naluri ilalang yang berjngkrak-jingkrak menggapai cakrawala.

tak ada yang lebih mewahyu daripada keluh gerimis yang menjelmakan senja menjadi lautan air mata.
Sumenep, 2004

Post a Comment

Previous Post Next Post