Denyar-Denyar Cinta*


....
Dalam gelapku...
Akan tetap selalu melihatmu
Dan, jika itu terlalu
Akan kupejamkan mataku
Dalam sepiku...
Masih kupunya bayangmu
Dan, jika itu membebanimu
Biarkan ku hanya punya rindu
Rindu yang memucuk di gugus pilu...
....




“Aku mencintaimu, Cha…,” ungkapku dengan hati bergeletar hebat, dengan nada terbata-bata pada Icha. Beban berat berton-ton yang akhir-akhir ini menghimpit jiwaku terhempas sudah.

Sejenak, hening demikian dingin.

Sunyi. Sesunyi jiwaku yang terjerembab dalam labirin tanpa ujung. Di luar, rintik-rintik embun menitik pelan-pelan. Menambah gigil kalbuku demikian curam.

Tak ada sepatah kata pun dari ujung telpon di sana.

Moment malam terkhir dalam sebuah acara pelatihan yang diadakan bagi mahasiswa penerima beasiswa kupilih untuk mempresentasikan isi hatiku. Acara yang diagendakan Departemen Agama RI tiap akhir tahun ini adalah momen yang sangat ditunggu oleh teman-teman, karena selain free, acaranya sangat menarik dan menyimpan kesan tersendiri. Kali ini, Forum nasional ini ditempatkan disebuah hotel elit berbintang di sebuah daerah di pinggiran kota Bandung (entah bintang berapa aku belum mengetahuinya). Suasana dingin, sunyi yang mencekam, memberikan makna tersendiri bagiku. Pemakaian telpon secara gratis kujadikan kesempatan dalam melaksanakan “aksiku” ini.

Jangankan berfikir untuk tidur di hotel berbintang, bermimpi pun aku masih enggan. Sejak hidup, baru pertama kali ini aku tidur di hotel elit, atau tepatnya Villa, barangkali. Aku, Aji, anak yang lahir dari keluarga starta menengah ke bawah di sebuah desa terpencil pulau Madura, hanya mampu bersyukur karena di tengah ketidakmampuan ekonomi, aku masih bisa melanjutkan studiku di salah satu PTN di Surabaya dengan beasiswa penuh. Ada kebahagiaan tersendiri ketika dengan penuh ketakjuban aku dapat melihat hamparan kebun teh yang menghijau nun jauh di bawah sana. Gumpalan kabut pelan-pelan berarak, lalu perlahan-lahan menipis. Bila malam tiba, aku dapat melihat gemerlap kota Jakarta dengan pendar-pendar lampu yang sesakan-akan redup. Aku dapat melihat gedung-gedung menjulang tinggi dengan keangkuhannya yang menawan. Yang pasti, akau tidak sedang bermimpi.

Icha, gadis yang sekarang juga ikut acara ini adalah gadis Ponorogo yang ramah, meski sedikit manja. Icha yang cantik, meski sedikit centil. Icha yang bagi sebagian temanku dianggap aneh, tapai aku menyukainya. Icha yang kelak membuatku sadar bahwa hidup memang sarat absurditas, penuh paradoksalitas. Di antara teman sekelas aku yakin dialah gadis yang paling cantik. Kata salah seorang temanku, dia putri seorang Kiai sebuah pondok pesantren modern di Ponorogo. Meski tidak tampak kalau Icah bedarah biru. Tapi, aku mencintainya bukan karena dia anak seorang Kiai, tetapi karena totalitas dari dirinya. Banyak sikap yang tidak ku sukai darinya, tapi entah kenapa aku masih tetap menyukainya, bahkan mencintainya. Inilah barangkali paradokslitas itu. Inilah absurditas itu.

Sebelum memuali “perbincangan sakral” ini kusucikan diriku dengan air wudhu’. Kedamaian tiba-tiba turun merembes bersama air suci yang menyerap ke dalam pori-pori wajahku. Ada kekuatan dan ketakutan yang muncul seketika. Mengharap ketenangan jiwa dan niat yang tulus dalam hati.

“Aku minta maaf telah berani mencintaimu, dan aku sangat mengerti keaadaanmu. Memahmi kenyataan hidupmu. Di hatimu sudah ada seseorang, dan orang itu bukan aku. Begitu pula aku, meski tidak jelas nasibnya. Sekali lagi aku minta maaf, Cha. Aku minta maaf telah lancang mencintaimu”.

Senyap.

Dingin makin beku.

Perlahan-lahan masih ku dengar titik embun yang merinai di luar sana. Jatuh di dahan pohon dan dedaunan. Sesekali derap semilir mengusikku pelan-pelan.

“Jujur, perasaan ini bukan baru terlintas dalam hati, tapi sudah lama menggelayut dalam liang-liang diri, telah lama hidup dalam jantung ini. Tapi aku mampu menahan dan memendamnya dalam diam. Mengemasnya dengan rapi. Dengan banyak pertimbangan aku beranikan untuk mengungkapkannya sekarang. Kamu tidak perlu menjawab atau menanggapi presentasiku ini!”.

Lega. Meski ada ketakutan yang mengambang di pelupuk mata.

“Kamu tidur, Cha?”

“Gak …,” jawabnya pelan.

“Kok diem gitu…? Kamu mangkel ta?1,” logat jawaku mulai muncul. Campur kode yang kupelajari dari mata kuliah Psiko-Sosio Linguistik itu tanpa sadar telah kuterapkan.

”Nggak….,” sambungnya pelan. Ketus. Berat.

Tetap hening.

Mulutku kelu. Terasa berat untuk mengeluarkan sepatah kata. Diam dan hanya euphoria yang menghunjam kesadaranku. Kesadaran yang mulai tergugah, bahwa menerima kehadiranku dalam hatinya sepertinya hanyalah utopia belaka.

“Ya udah, kamu istirahat aja, ini sudah pagi. Kuharap perasaan ini tidak menambah beban hidupmu. Ini hanyalah ungkapan sebuah perasaan yang tidak perlu ditanggapi. Makasih ya….Assalmualaikum…!!” Gagang telpon ku tutup. Debur jantung ini tak mampu ku sembunyikan.

Aku tidak bisa memejamkan mata. Inilah barangkali yang dimaksud cinta itu. Cinta yang aku sendiri tak tahu alasan sebenaranya mengapa aku harus mencintainya. Mungkin di kamar sana dia juga mengalami hal yang sama. Meskipun dengan warna hati yang berbeda.

”Kau tahu, Ji, ketika ia menolakku, ketia ia mengatakan dengan jujur bahwa di hatinya telah ada orang lain. Dan ia tidak biasa menerima perasaanku. Dan memang tak akan pernah menerima cintaku. Kau tahu, apa yang kurasakan saat itu? Sakit, ji. Sakit banget. Bahkan terlampau sakit hati ini,” begitu Acung membeberkan riwayat cintanya kepadaku, dulu.

Ah, andai kau tahu perasaanku saat ini, Cung. Andai kau tahu ...

Dalam mata yang hampir lelap, tiba-tiba aku teringat kata-kata Jalaluddin Rumi. Jika cinta hidup di satu hati, pasti ia ada di hati yang lain. Ya, Rumi memang bicara tentang cinta yang sebenarnya, tapi cerita cintaku berada pada fakta yang berbeda.

“Ya Allah, apapun jawabannya, semoga ini menjadi jalan terbaik bagiku. Sungguh, aku mencintainya ya Allah ...”

Subuh hampir merekah. Bandung masih berselimut dingin.

–ooOoo–


Mahasiswa lalu lalang di halaman kampus. Petala langit Surabaya menjelang senja masih menyisakan kegetiran di sela-sela jiwaku. Perjalanan Bandung-Surabaya terasa begitu berat, melelahkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Dari sermabi masjid pandanganku hampa. Jiwaku teramat haus, maka ku kejar fatamorgana itu. Tenggoronganku kering, dan aku ingin segera meneguknya. Ah, rupanya aku telah lupa, bahwa fatamorgana tetaplah fatamorgana, tak akan pernah menjelma menjadi oase sejuk di padang sahara.

Aku malas untuk beranjak ke asrama. Hatiku gelisah. Jiwaku kalut. Aku ingin duduk di masjid ini sampai Isya’ nanti! Bahkan kalau perlu sampai larut malam! Hatiku berapologi sendiri. Bergumam sepi.

“Aji, kenapa kamu, kok berubah gitu, sedih truz… ada masalah ya?” tanya Alif, teman dari Sunda dengan raut penasaran dan sedikit menyudutkan. Memulai percakapannya denganku setelah salat Isya’.

“Gak ada apa-apa, lagi bete aja …”

Alif si Sunda ini memang akrab denganku. Ia tahu betul semua tentangku, bahkan masalah privat dan asmara pun ia juga tahu. Di mana ada Alif, disitu ada aku, begitu kata salah seorang temanku. Kami berdua merupakan sejoli yang cocok, dengan adanya kesamaan visi dan saling men-support satu sama lain. Meskipun tidak jarang terjadi perdebatan hebat dalam masalah keyakinan.

“Kamu ada masalah sama Neng, ya Ji..? Aku tahu kok!!!”

Dugaanku betul. Ia tahu benar keadaanku.

Pertanyaannya mulai menjurus dan tepat menusuk ulu hatiku. Aku tidak bisa mengelak lagi. Dia orang yang dekat denganku dan juga sangat dekat dengan Icha, yang dia panggil Neng itu. Jadi tahu betul kalau ada yang berubah dari teman-temannya, termasuk aku.

“Sebenarnya kamu ada rasa gak sih sama dia?” Belum sempat kujawab satu tonjokan lagi mengenaiku, kali ini di bagian kepalaku.
Aku semakin tidak bisa bergerak.

“Sebenarnya sih….. gak ada apa-apa, Al,” jawabku sedikit hipokrit. Sedikit menahan pukulan telak dari temanku itu. Lemah.

“Ahh… nagku aja. Teman-teman semua pada ngomongin kamu sama Neng, kalau kamu itu ada apa-apa sama dia. Tapi kalau temen-temen tanya aku, aku sih bilang kamu gak ada apa-apa. ’Aku temen paling dekat Aji, mosok kamu lebih tahu dariku’, jawabku gitu”.
Pandai juga kau mengarang cerita, Al, sergahku dalam hati.
“Sebenarnya kamu ada rasa atau malah ada apa-apa ma dia,” ia berusaha mengntrogasiku, meminta kejelasan hubunganku dengan Icha, Neng itu.

“Ya, oke aku cerita sekarang. Sebenarnya aku gak pengen cerita pada siapa-siapa. Ini adalah komitmen yang ku buat, namun semoga ini menjadi kebaikan dan menjadi sebuah solusi, terutama bagi motivasi belajarku,” ungkapku menyerah setelah bertubi-tubi di tusuk dengan pertanyaan-pertanyaan tajamnya.

Suasana mesjid yang kian sepi dan keadaan hatiku yang bingung membuatku pasrah membuka rahasia yang sebenarnya ingin kupendam dalam-dalam, segala tentangku tengangnya, tentang riwayatku riwayatnya, semuanya.
“Sebenarnya aku memang punya rasa pada Icha, dan ini bukan hal yang baru muncul di benak dan hatiku” dengan datar aku memulai ceritaku.
Alif masih diam termangu.

Di atas sana, langit sudah menyemburat kelabu kekuning-kuningan. Berarak keperak-perakan. Bagiku, Surabaya malam hari adalah sebuah fargmen yang sama sekali paradoks. Sarat dengan ambiguitas yang silang sengkarut. Aku merasa sepi dalam kegaduhan panjang. Aku merasa sunyi dalam kebisingan malam. Cahaya rembulan tidak begitu berarti karena sinar lampu mercuri dan sejenisnya hampir bertebaran di seluruh penjuru kota Surabaya.
Pelepah pohon Palem di depan masjid berliuk-liuk diterpa angin. Aku melanjutkan ceritaku.

“Sejak pertama kali aku melihat namanya pada daftar kelulusan Tes PMDK dulu, jauh sebelum aku bertemu dengannya, jujur ada denyar-denyar aneh yang tiba-tiba menari dalam liang-liang imajiku, menerobos ke alam bawah sadarku. Namun kupikir itu hanya sebuah perasaan seorang pemuda saja. Melihat namanya, entah kenapa aku punya asumsi, bahwa dia adalah gadis dari keluarga strata atas. Hal tersebut berlanjut ketika bertemu dan mengenalnya secara dekat, meskipun mungkin dia tidak merasakan apa yang aku rasakan.”

“Aku mulai kenal akrab ketika dia menjadi anggota kelompok belajarku, waktu itu aku mengingatkan sikapnya ketika berkumpul dengan temen-temen cowok. Ada aurat yang sedikit (atau banyak mungkin...) yang kelihatan. Dia pun meresponnya dengan baik, dan akrab denganku, sering sms-an. Dan dari itu aku tahu banyak tentang dia, keluarganya, dan semacamnya, akupun merasa enjoy berteman dengan dia …”

Aku berhenti sejenak, membiarkan derap nafasku meluruh perlahan-lahan. Ada kekalutan yang terempas satu-satu.

“Jauh sebelum itu memang aku sering dijodoh-jodohkan dengannya, baik dalam kelas atau di Pesantren, entah itu dari apa saya juga gak begitu menghiraukan.”

“Aku sadar diriku sudah memiliki seseorang, dan hubungan ini memang kecil kemungkinan untuk lanjut. Umiku sangat tidak setuju hubunganku dengan dia, entah dengan alasan apa. Yang pasti, keinginan Umi dan keluargaku, aku hidup ditengah-tengah dunia pendidikan, dan aku pun tidak berani melangkah tanpa ada restu dari umi. Bagiku Umi adalah segalanya setelah Kai2 meninggal.”

“Disamping itu perasaanku terhadap dia berangkat dari sebuah menghargai ketulusan cintanya padaku, aku pun mencoba mencintainya dan memberikan cintaku padanya. Itulah pondasi yang tidak kokoh, bangunannya tidak akan bertahan lama tanpa penopang sesuatu apa pun.”

“Aku pun juga tahu kalau Icha sudah jadi milik orang lain, dia sudah mencintai orang lain, tapi inilah konsekuensi yang harus ku terima. Kenapa aku mencintai orang yang sudah mencintai orang lain. Akupun nggak faham kenapa aku bisa menyukainya, bahkan mau mencintainya. Padahal sebenarnya banyak hal yang tidak aku sukai darinya, tapi itulah cinta, seperti apa pun akan dikalahkan dengan cinta itu.”

Alif hanya diam terkesima dengan ceritaku. Ternyata ada hal besar dari diriku yang belum dia ketahui.

“Alif…, satu lagi yang belum kamu ketahui, aku sudah mengutarakan isi hatiku ini padanya. Itu keputusan yang sudah kupertimbangkan matang-matang. Meskipun itu harus berbanding dengan kekecewaan, setidaknya hatiku sudah siap atas segalanya.”
“Terus, bagaimana tanggapannya?” pertanyaan Alif memotong ceritaku.
Aku diam sebentar.

“Dia sih tidak menjawab langsung, waktu perjalanan pulang dari Bandung kemaren dia baru menaggapinya…”

Ku ulurkan Hp-ku setelah sejenak kutemukan File jawaban Zulfa padaku kemaren.


“Aq g tw gmN q hrs ngmg hrs nanggpi ap yg qm presntskn kmrn…. Sbnrny sjk awl q dh khwtrkn hl ne (sry cl kPDn) mky sjk awl q dh ngmg cl friendship, y just friendship. Tp trnyt t trjd, mMg sbuh prsaan sprt it slt untk d ntrlsr, slt tk d hlngkn q ngrt & fhm…

Q g nylhkn qm ttg smua ne trjd n m’f bgt cl Q dh gang knsntrs bljr qm ktngn hdp qm, q g da mksd t’bwt kyk gt…
Qm dh tw ttg drQ, ttg hbgnQ dg dy, n yg pst qm jg dh tw ap yg bkl qm trm stlh qm ngungkpn t smua…Q g bs nylhn qm tas pRsan it kRn t adlh ftrh, tp q jg g bs nrm prsan it….
Skrg trsrh qm mw gmN apkh qt te2p akrb, te2p qt perthnkn pRshbtn qt, yg jls itlh yg q ingnkn, q gmw pRshbtn qt rSk gr2 ne, ju2r Q nymn bRshbt dgn qm, t mnjd sbuh motVs trsndr bwtQ…

Mksh tas semua n m’fknQ… m’fkn cl tgGpn ne qm rs krg…Frienship is never die!!“.


Alif menarik nafas panjang.
Mataku berkilauan menahan air mata yang hampir tumpah.
Sekarang dia baru merasakan sakit, sakit yang benar-benar tak pernah kuinginkan, tapi ku tahu memang sebuah kemustahilan. Meraskan gundah yang merejam seluruh kesadaranku. Pedih yang mencabik-cabik ketakberdayaannku. Ngilu yang menusuk-nusuk kehampaanku.

Ah, hidup memang sinonim ketakberdayaan. Hidup memang serpihan luka. Hidup memang cabikan lara.

Udara kembali hening, hembusan angin terasa menusuk dan membuat sesak dada ini, entah ini adalah perasaan kecewa atau sedih. Aku tidak bisa mendefenisikannya.

“Aku bangga padamu telah berani jujur dan mengungkapkan semua itu. Sebagai seorang laki-laki aku belum punya keberanian seperti itu. Ingat, Ji, kegagalan bukan berarti sebuah kekalahan. Sekarang yang perlu dibicarakan adalah solusi dari permasalahanmu, dan kamu harus bangkit, ingat sebentar lagi ujian. Jangan terlena dengan keadaan seperti ini.”

Kata-kata itu ibarat penyejuk disaat haus dan panasnya suhu Surabaya. Dan support seperti inilah yang aku senangi dari karibku si Sunda ini. Ah, kau memang sahabatku paling baik, Al ...

“Memang benar, cinta itu melampaui raung batas dan waktu,” imbuhnya.
Obrolanku berlanjut tanpa terasa jam sudah menunjukan pukul 23.50 wib. Aku pun beranjak dan segera menuju Warnet, sedangkan Alif menuju asrama. Malam selarut ini aku masih harus ngcek keadaan warnet yang sedang ku kelola di samping kampus.
***
Sebuah dilema bagi diriku, mungkin juga bagi Icha, meskipun itu dalam konteks berbeda. Aku harus jatuh cinta pada teman karibku yang sudah memiliki dambaan hati, ingin menyayanginya, memilikinya tapi tidak punya daya, hanya sebuah upaya.

Imajinasiku mulai berkeliaran, menorobos ruang-ruang celah pikiranku, menatap tanpa pandangan, menghadap tanpa arah dan berfikir tanpa batas, sebuah kegiatan tanpa sadar sangat kunikmati.

Kalau pun Icha menerima cintaku, rasa-rasanya aku harus berfikir keras cara mengatur hidup antara kuliah, dia, teman, dan Smart Net, warnet yang kukelola akhir-akhir ini sangat menyita waktu, tenaga dan fikiranku. Satu sisi aku tidak setuju dan tidak ingin pacaran, tapi di sisi yang lain aku mencintainya dan ingin memilikinya. Belum lagi berfikir pada tujuan awalku menginjakkan kaki di Surabaya, kuliah harus jadi prioritas utama bagiku, pesan Umi yang selalu mewanti-wanti setiap kali aku berangkat juga sering terngiang-ngiang dalam hatiku.

Aku hanya mencintainya, Tuhan. Tanpa tujuan ingin menjadikannya pacar, apalagi sekedar pelarian. Hatiku masih terus berapologi. Jiwaku masih terus mencari-cari sesuatu yang barangkali telah pergi. Di benakku, berjejal kembali sederetan puisi yang pernah ku baca, dan masih melekat dalam memoriku …


Cinta adalah ketika kamu menitikkan air mata, tetapi masih peduli terhadapnya
Cinta adalah ketika dia tidak mempedulikanmu, kamu masih menunggunya dengan setia
Cinta adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum sambil berkata ," Aku turut berbahagia untukmu "
Apabila cintamu tidak berhasil, bebaskanlah dirimu
Biarkanlah hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas lagi
Ingatlah, kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya.
Tetapi saat cinta itu dimatikan, kamu tidak perlu mati bersamanya…
Orang yang terkuat bukanlah orang yang selalu menang dalam segala hal
Tetapi mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Entah bagaimana, dalam perjalanan kehidupanmu,
Kamu akan belajar tentang dirimu sendiri dan suatu saat kamu akan menyadari
Bahwa penyesalan tidak seharusnya ada di dalam hidupmu
Hanyalah penghargaan abadi atas pilihan-pilihan kehidupan yang telah kau buat
Yang seharusnya ada di dalam hidupmu.


Ya, aku memang tidak pernah memilikinya. Tapi aku masih punya puisi ini. Puisi yang menjadi inspirasiku untuk terus bangkit, dan berusaha tegar menghadapi segala apa yang aku alami, termasuk hal ini, aku harus megikhlaskan hembus nafas-nafas cintaku terbang berkelana, mencari sebuah jati diri, menunggu apa yang akan terjadi, mencoba menikmati apa yang telah terjadi.

Kebahagiaan kadang terasa hanya beberapa helai dari usiaku. Usia yang tak lagi dihitung oleh perjalanan tahun tetapi oleh kedalaman rasa. Beragam riwayat telah ku torehkan diatas kanvas hidup yang bising, sangatlah mustahil kalau tak ada pertautan rasa dan persentuhan raga, ada tetesan harapan dan titian kenyataan, ada tuntutan batin dan tantangan lahir, boleh jadi sebagian atau bahkan keseluruhan tak tergapaikan.

Ku gelayutkan denyar-denyar nafasku pada reriak kata-kata, pada tiap jengkal kalimat yang sesekali menjelma makna yang menyentak-nyentak naluri. Ku hempaskan lelahku pada bait-bait malam, lalu ku hamparkan serajut riwayat yang tercecer di belantara rasa. Ada beragam absurditas yang menghunjam imajiku, ada kedalaman makna yang tak dapat ku selami.

Tapi, tak akan ku ceritakan tentang pahitnya sebuah pengorbanan, tentang perihnya sebuah kehilangan yang berarak di batas temaram dan menyisakan ngilu menikam di dada. Tak akan. Dalam debur kekalutan tak terkirakan, aku masih tegak berdiri, walau idealisme, hiperbolisme, cita dan cintaku hanyalah sepercik buih di tengah samudera, tapi AKUlah karang itu!

Kebahgiaanku, barangkali hanyalah uforia dalam labirin dingin tak bertepi. Tapi akan tetap ku gapai, meski sepertinya mustahil, meski dengan nafas yang terengah-engah, selamanya …
Surabaya, 14 Januari 2008


*Cerita ini terinspirasi oleh kisah nyata teman saya, Abduh Smart, yang kemudian saya perbaiki kalimat-kalimatnya.
Cerpen ini sengaja dia cipta untuk kado ulang tahun "temannya", sebelum saya edit setting danlatar ceritanya. "Ku persembahkan untuk Ita Rahmania Hidayati, ”Met Ulang Tahun ya, Cha ..”, begitu dia bergeletar.

Catatan :
1. kamu marah ya?
2. panggilan untuk ayah

1 Comments

  1. Seru...seru banget! Kalo ada cerpen baru, tolong konfirmasi ke emailku arifin_syaiful@ymail.com. Hehe...=))

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post