ILMU NAHWU SEBAGAI “THE GRAMATICAL OF ARABIC LANGUAGE"


“Ilmu Nahwu adalah prioritas utama. Tanpanya, apalah makna sebuah rangkaian kata.”
Al-syaikh Syarifuddin Yahya Al-Imrithy.


A. Prolog

Setiap bahasa (language) pasti memiliki kaidah-kaidah tersendiri.. Hal tersebut juga kita temukan dalam bahasa arab yang diakui sebagai bahasa yang kaya akan kosakata. Selanjutnya tujuan dari bahasa adalah mengungkapkan tujuan sang pembicara (mutakaallim) melalui perantaraan suara yang keluar dari lisan sang mutakallim. Pada hakikatnya kata-kata terletak di dalam hati. Adapun lisan hanyalah sebagai dalil (petunjuk) ‘al-kalam an-nafsy’ yang terdapat dalam hati. Untuk itu tidak mudah mengungkapkan apa yang tersirat dalam hati (al-kalam an-nafsy), kecuali dengan kaidah-kaidah yang dapat menjaga dari kesalahan-kesalahan dalam penyampaian esensi maksud yang diharapkan mutakallim.

Para ahli bahasa telah berusaha keras untuk menyusun sejumlah kaidah-kaidah untuk dijadikan patokan bagi siapa saja yang akan menggunakan suatu bahasa. Bahasa arab sendiri memiliki banyak sekali kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh para ahli bahasa arab. Diantaranya adalah ilmu Nahwu (grammatika), shorof (morfologi), balaghoh (rethorika), isytiqaq (etimologi), dan sebagainya. Disini penulis akan mecoba mengkaji seputar bahasa arab beserta kaidah-kaidahnya, tapi yang ditekankan oleh penulis di sini adalah khusus mengenai ‘Nahwu’ sebagai salah satu kajian terpenting dalam bahasa arab. Karena Nahwu adalah tempat bergantung dan bersandarnya bahasa arab.

Selain daripada itu, Ilmu Nahwu juga mempunya peran yang sangat penting dalam dunia islam. Yaitu membantu memecahkan permasalahan-permasalahan mengenai syari’at-syari’at islam dari segi kebahasaan. Karena semua syari’at islam yang ada, adalah berupa teks-teks yang termaktub dalam buku-buku bernuansakan ‘arabiyah seperti; Al-qur’an, Al-hadist, Bahkan sampai Ijma’ dan Qiyas. Sehingga orang yang akan memahami islam terlebih dahulu harus mengenal bahasa Arab beserta gramatikalnya.


Untuk menindak lanjuti kajian ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan hubungan antara teks Al-qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum berupa syari’at islam dan bahasa arab sebagai pengantar untuk memahami pesan-pesan yang dikandung dalam kalamullah yang tidak mungkin bisa dipahami oleh manusia pada umumnya. Sebagai seorang muslim kita diperintahkan untuk mempelajari dan memahaminya sebagai pedoman hidup (way of life). Berikut adalah penjelasan sedikit mengenai tema yang akan kita bahas pada diskusi kali ini:

B. TEKS AL-QUR’AN DAN BAHASA ARAB

Allah berfirman dalam Al-qur’an yang artinya:

“Kami menurunkanya berupa Al-qur’an dengan berbahasa arab, supaya kamu memahaminya”.

Bertolak dari ayat di atas, telah kita ketahui bahwa bahasa arab adalah satu-satunya bahasa yang dipilih Tuhan untuk mengungkapkan kehendak-Nya kepada hamba-hamba yang tidak akan mampu memahami kalam an-nafsy Tuhan yang tidak berupa huruf maupun suara. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tujuan dari bahasa adalah untuk mengungkapkan apa yang dimaksud mutakallim (pembicara), maka jikalau Tuhan berkehendak mengungkapkan maksud-Nya dengan bahasa Dia sendiri, niscaya tidak ada satu makhluk pun yang dapat memahaminya. Kecuali hanya orang yang telah dibuka hijabnya oleh Allah.

Sudah semestinya Tuhan menggunakan bahasa manusia untuk mengungkapkan kehendak-Nya. Untuk itu, dipilihlah bahasa arab sebagai perantara untuk menjelaskan maksud-maksud-Nya. Hal ini, pasti mengundang suatu pertanyaan; Mengapa harus bahasa arab? dan bukan yang lainnya saja?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang definisi Al-qur’an itu sendiri. Meskipun tidak mungkin mendefinisikan Al-qur’an bi haqiqatihi (secara tepat).

Para ulama berusaha mencoba mendefinisikan Al-quran dengan suatu pengertian yang membedakan Al-qur’an dari teks-teks lain. Yaitu; “Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan lafadz dan ma’nanya yang mana dengan membacanya dinilai sebagai ibadah dan sekaligus untuk menentang argumen orang-orang kafir, sampai kepada kita secara mutawatir, tertulis di dalam mushaf-mushaf dan di awali dengan surat Al-fatihah dan di akhiri dengan surat An-naas”.

Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa Alqur’an adalah kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir yang berbangsa arab yaitu nabi Muhammad SAW. Dari situlah, kenapa Al-quran diturunkan berbahasa arab. Karena tidak rasioanal sekali, jika suatu kitab samawi diturunkan dengan bahasa selain bahasa orang yang menerimanya. Sehingga benar-benar terwujud tujuan dari diturunkannya Al-qur’an. Selain itu, juga telah kita ketahui bersama; bahwa bahasa arab adalah bahasa yang kaya akan kosakata dan sinonim. Luas akar katanya, mudah dipelajari dan dipahami.Itu semua menunjukan; bahwa hanya orang arablah yang pantas untuk menterjemahkan pengetahuan-pengetahuan islam kepada manusia.

Kemudian mengenai definisi bahasa arab itu sendiri, bisa kita uraikan sebagai berikut:“Bahasa adalah sejumlah suara yang digunakan setiap manusia untuk menerangkan tujuan mereka”. Sedangkan arab “adalah suatu komunitas manusia yang menduduki jazirah arab”. Kemudian suara ini dalam istilah orang arab disebut sebagai lafadz. Nah, lafadz ini dalam bahasa arab didefinisikan sebagai “Suara yang keluar dari mulut manusia yang mengandung salah satu dari hurf hijaiyyah yang diawali dengan huruf alif dan diakhiri dengan huruf ya”. Dari sini jelaslah bahwa bahasa arab adalah suara yang mengandung huruf hijaiyyah yang digunakan orang arab untuk menerangkan mereka.

Disadari ataupun tidak, bahasa adalah alat yang paling pokok dalam memahami dan meng-explore berbagai cabang keilmuan dan aturan-aturanya. Sebab bahasa adalah satu-satunya alat komunikasi yang paling mudah dimengerti. Berkaitan dengan itu, telah kita ketahui bersama bahwa Al-qur’an adalah sarana komunikasi antara kita dengan Tuhan. Oleh karena itu, Al-qur’an diturunkan dengan menggunkan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia yaitu bahasa arab (bahasa yang paling mudah dipelajari dan dipahami). Dalam sebuah hadist disebutkan: “Cintailah bahasa arab karena tiga: karena aku berbangsa arab, Al-qur’an berbahasa arab, dan kalam ahlu al-jannah (penduduk surga) adalah bahasa arab”. Disebutkan oleh ibnu ‘asakir dalam terjemah zahir ibn Muhammad ibn ya’qub.

Terlepas dari pendapat siapapun, yang pasti bahwa Al-qur’an adalah teks yang berbahasa arab. Oleh karena itu, sarana yang paling penting dalam mehamami teks yang berbahasa arab termasuk Al-qur’an, adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk bahasa arab. Adapun hukum mempelajari Al-qur’an adalah wajib, begitu juga hukum mempelajari sarana (washilah) untuk memahami Al-qur’an adalah wajib adanya. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan; “ Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun”.

C. DILEMATIKA PELETAKAN GRAMATIKA BAHASA ARAB

SEJARAH PELETAKAN ILMU NAHWU

Bahasa arab berkembang di tengah-tengah jazirah arab secara murni (orisinil) semenjak bahasa itu lahir. Bersih dan terjaga dari segala sesuatu yang dapat menjadikan ia cacat. Misalnya, dengan adanya asimilasi dari bahasa lain; seperti bahasa paris, rum, ataupun lainnya. Sehingga membuat bahasa arab kacau balau serta bercampur dengan bahasa-bahasa tersebut. Ada dua faktor yang melatar belakangi peletakan ilmu Nahwu yaitu:

PERTAMA: Faktor agama

Yaitu karena keinginan keras untuk mendatangkan teks Al-qur’an dalam bentuknya yang asli (fasih dan terjaga), Khususnya setelah munculnya berbagai kekeliruan dalam pengucapan bahasa arab. Kejadian ini sudah mucul semenjak nabi masih hidup. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa pernah ada seorang yang keliru bicara didepan rasulullah SAW, dia berkata “ " أرشدوا أخاكم فإنه قد ضل. Dia berbicara dihadapan nabi SAW dengan menggunakan dlomir jamak pada lafadz "ارشدوا أخاكم" , padahal yang ia maksud adalah Nabi. Ya jelaslah salah dengan menggunakan dlomir ‘jamak’ untuk ‘mufrod’ (satu orang).

Itu salah satu contoh kekeliruan yang terjadi pada zaman ketika Nabi masih hidup, namun kekeliruan-kekeliruan seperti di atas masih terhitung sedikit sekali bahkan jarang. Kemudian seiring waktu berjalan kekeliruan-kekeliruan tersebut mulai melebar dan meluas, khususnya pada saat terjadi arabisasi suku-suku yang kalah dalam perang yang mana mereka sangat menjaga sekali kebiasaan-kebiasaan mereka yang bersifat lughowiyah. Artinya meskipun mereka diharuskan mengikuti dan menggunakan bahasa arab, mereka tidak bisa lepas dari dialek bahasa mereka sendiri. Nah, dari sinilah bahasa arab mulai bercampur dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa arab) sampai pada akhirnya bahasa arab mengalami kemerosotan yang sangat drastis, bahkan orang-orang yang diakui ahli dalam balaghoh dan khutbah juga ikut terkena virus-virus yang terdapat pada bahasa lain.

KEDUA: Faktor non agama

faktor non agama ini juga ada dua yaitu; pertama dari kaum arab sendiri dan yang kedua dari suku-suku lain yang berinteraksi dengan orang arab. Orang-orang arab sangat mengagung-agungkan bahasa mereka, sehingga mereka takut apabila bahasa yang mereka agung-agungkan itu musnah begitu saja. Hal itulah yang memicu semangat mereka untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa arab, karena takut bahasa mereka akan hilang dan larut dalam bahasa-bahasa lain. Yang kedua ini juga bisa disebut bawa’its ijtima’iyah (faktor masyarakat). Mereka (suku-suku yang berinteraksi dengan orang arab), merasa sangat mengharapkan sekali lahirnya kaidah-kaidah bahasa arab. Sehingga kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan contoh sekaligus pedoman bagi mereka.

Faktor-faktor inilah yang menyebabkan munculnya ilmu nahwu sebagai solusi dari berbagai macam problem seputar bahasa arab. Sampai pada akhirnya peran ilmu ini juga sangat membantu sekali dalam memahami teks-teks Al-qur’an. Meskipun ilmu nahwu saja, belum cukup untuk memahami Al-qur’an secara keseluruhan, tapi paling tidak ilmu ini menduduki posisi yang penting dalam menggali makna-makna Al-qur’an.

KAPAN DAN DIMANA PELETAKAN ILMU NAHWU?

Di atas sudah kita singgung bahwa pada masa awal-awal islam; yaitu pada saat Nabi SAW masih hidup sudah diperhatikan betul masalah kekeliruan-kekeliruan dalam pengucapan bahasa arab. Sehingga ilmu Nahwu seperti halnya dengan qonun-qonun (pedoman) yang lain, dituntut dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar.

Artinya, karena terjadinya kekeliruan-keliruan itulah yang menuntut dan mendorong akan lahirnya ilmu ini. Sebelum islam tidak ada permasalan seperti diatas, kalau pun ada juga orang-orang sebelum islam (kaum jahily) tidak memerdulikan hal-hal seperti itu. Mereka berbicara semau mereka sendiri tanpa berbuat dan berfikir. Ilmu nahwu pertama digagas yaitu semenjak awal-awal pemerintahan islam. Adapun tempat lahir dan berkembangnya adalah di negara iraq, tepatnya di kota bashroh oleh Abul Aswad Ad-dualy.

D. NAHWU SEBAGAI SOLUSI MEMAHAMI TEKS ARAB

DEFINISI NAHWU


Ilmu Nahwu secara etimologi mempunyai banyak arti, diantaranya sebagai berikut:

1. Maksud dan jalan
Contoh: "نحوت نحوك" artinya:“Saya bermaksud seperti maksudmu/melewati jalanmu”.
2. Arah
Contoh: "توجهت نحو البيت" artinya: “Saya menghadap ke arah rumah”.
3. Ukuran
Contoh: "له عندي نحو مائة" artinya: “Saya berhutang ke dia kira-kira seratus”.

Adapun Ilmu Nahwu secara terminologi adalah Ilmu yang membahas tentang keadaan akhir suatu kalimat dari segi I’rob dan Bina-nya. Yakni mengetahui kalimat dari segi rofa’, nashob, khofadh, jazam dan kemudian mengetahui kalimat-kalimat yang terdapat harakat-harakat i’robnya dan kalimat-kalimat yang harakat akhrinya tetap (mabni). Itu semua termasuk dalam pembahasan Ilmu Nahwu. Dan Ilmu Nahwu ini juga memiliki orientasi penting yaitu untuk membantu dalam memahami teks-teks arab, menjaga lisan dari kesalahan dalam berbicara, dan khususnya untuk memahami Al-qur’an dan hadits.

PERAN RIIL NAHWU DALAM MENGGALI MAKNA AL-QUR’AN

Terdapat banyak sekali dalam Al-qur’an ayat-ayat yang membutuhkan campur tangan Nahwu didalamnya, seperti pada ayat "إذا أراد شيأ أن يقول له كن فيكون" kita dapatkan disana arti dari lafadz "كن فيكون" . Apabila kalimat ini kita terjemahkan secara sederhana, “Jadi! Maka jadilah,…; langsung terbayang dalam benak kita bahwa ketika Allah Swt menghendaki sesuatu dan lalu mengatakan “Jadilah! ; maka sesuatu itu dengan serta merta terjadi langsung.

Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat apabila kita melihatnya dari sudut yang lebih umum dan hal-hal yang berkaitan dengan sunnatullah. Bahkan makna sepintas itu menggambarkan tidak adanya proses. Padahal ayat itu berada dalam kontek umum dan mencakup semua kejadian termasuk yang ada proses padanya. Itulah rahasia yang terkandung dengan menggunakan "ف" sebagai jawab syarat, bukan dengan kata "يكن" dengan dijadikan berstatus Jazm. Sedangkan relasi antara syarat yakni kata Kun dan jawab syarat yakni "فيكون" mengandung makna kepastian.

kedua, baru-baru saja saya temukan, yaitu sebuah makalah yang ditulis di situs swaramuslim. Makalah tersebut berbicara tentang jimat dan hal-hal yang berbau klenik dan bagaimana hukumnya menurut pandangan Islam. Ada satu hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi, "من تعلق تمامة فلا أتمه الله" Kalimat hadis ini diterjemahkan oleh penulisnya dengan “Barangsiapa menggantungkan jimat, maka semoga tidak disempurnakan oleh Allah (hajatnya).…; Secara sederhana, kita memang bisa mengerti makna hadis ini dan apa kandungan yang dimaksud. Namun saya mencoba memberikan perbandingan dengan terjemahan yang mencermati kaidah ilmu Sharaf, yaitu dasar kita memahami dalam level ini.

Hadis tersebut menggunakan kata ta’allaqa’ yang mengandung beberapa makna selain kata dasarnya. Beberapa makna yang relevan adalah ; مطاوعة, دلا لةعلي اتخاذ
معانة, والتكلف Makna-makna ini menunjukkan kandungan intransitif. Bisa dilihat terjemahan di atas menggunakan makna transitif yang sebenarnya lebih tepat jika digukana kata ;allaqa. Satu makna yang sedikit mengena dengan terjemahan tersebut adalah makna دلا لةعلي اتخاذ; yakni makna menjadikan sesuatu yang terkandung dalam kata dasar. Misalnya kata وسادة adalah bantal, maka tawassada-hu berarti menjadikan sesuatu itu sebagai bantal, atau kata ibnun adalah anak, maka تيني adalah menjadikannya sebagai anak. Jika hadis di atas kita terjemahkan sesuai dengan makna ini, maka secara literal adalah “Barangsiapa menjadikan jimat sebagai gantungan.

Bisa kita lihat sendiri, terjemahan tersebut hanya mengena pada sedikit dari kandungan yang dimaksud. Makna lain yang menurut saya lebih tepat adalah مطاوعة yakni jika kita menggantungkan sesuatu, maka sesuatu itu tergantung. Dengan makna ini, hadis di atas tidak sekadar menggantungkan jimat, tetapi siapa saja yang bergantung dengan jimat walau jimat itu sendiri hanya disimpan. Seharusnya kata ta’allaqa dalam hadis itu intransitif, tetapi digunakan secara transitif karena rahasia bahasa tertentu yang menjadi pembahasan level selanjutnya, yaitu level gramatikal.

Maksud hadis itu menjadi lebih tegas, bukan jimatnya yang tergantung, tetapi adalah oknum yang tergantung dengan jimat. Dan karena oknum, maka makna menjadi bergantung. Dan karena makna ketergantungan inilah, maka hal itu dilarang karena bagi seorang muslim, prilaku yang benar adalah berusaha dan menyerahkan semuanya yakni bergantung kepada Allah, bukan kepada benda-benda dengan membuatnya sebagai jimat-jimat.

E. Epilog

Tidak bisa kita pungkiri bahwa Ilmu Nahwu telah memberikan sumbang yang sangat besar kepada islam, khususnya dalam menyingkapkan makna-makna yang terkandung dalam rangkaian kata penuh makna yaitu Al-qur’an, hadist, dan teks-teks arab lainnya. Kalau setiap hari kita memabaca Al-qur’an, membaca buku-buku yang berbaha-sa arab, mendengarkan pengajian di TV, atau apa saja lah yang menggunakan bahasa arab kita akan membutuhkan apa yang disebut dengan Ilmu Nahwu. Orang yang sadar akan kebutuhan hidupnya, maka ia akan berupaya untuk mendapatkannya.

Tapi, tujuan yang paling utama dalam kita mempelajari Ilmu Nahwu ini adalah untuk berupaya memahami makna-makna yang terkandung dalam teks-teks Al-qur’an dan Hadis. Di atas sudah kita ketahui betapa erat sekali hubungan antara teks Al-qur’an dan bahasa arab, kemudian sejarah peletakan Ilmu Nahwu sampai pada Nahwu sebagai solusi untuk memahami Al-qur’an. Dari sini penulis sangat berharap sekali akan tumbuhnya kecintaan kita dalam mempelajari Ilmu Nahwu. Marilah kita dasari hidup kita dengan CINTA....!. Akhirnya, tiada tempat untuk bersandar dan bergantung dari segala permasalan selain Allah SWT.
Wallahu A’lamu Bi As-Showaab.....
* Artikel ini disadur dari Forum Studi Mahasiswa Kebumen "Egypt"

5 Comments

  1. Hahaha...
    Dasar orang pondokan, postingannya berbau arabis gitu ...

    Update terus, ha'...

    ReplyDelete
  2. Trim,s, kawan-kawan atas komentarnya ....=))

    ReplyDelete
  3. Ya... Setuju banget. Dulu aku juga orang pondokan kok! ~x(

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post