Kala Nafas Cinta Terenggut Tanpa Daya*


“Menikah adalah satu perkara, dan djodohkan adalah perkara yang lain. Menikah adalah sunnah Rasulullah, tetapi dijodohkan bukan sunnah siapa-siapa.”

–ooOoo–

Apa yang terbersit dan tiba-tiba muncul dalam benak kesadaran kita tentang penggal-penggal kalimat di atas?

Adalah Irsyad Maulana, seorang Gus atau Lora, Putra KH. Maulana Irsyad, seorang Kiai di Jati Sarana. Ia baru menyelesaikan pendidikan Sarjananya di Mesir. Ia tak habis pikir, mengapa orang tuanya tiba-tiba menjodohkan dirinya dengan Aisyah, putri KH. Bustaman Al-Banjari, ulama’ terkemuka di Banjarnegara. Dan ia tidak dapat membayangkan, bagaimana kelak ia harus tidur sekamar dengan gadis asing yang sama sekali tak dicintainya itu. Ah, dunia memang telah kembali pada titik nadir. Dunia telah ditentukan kembali oleh orang tua. Dunia telah kembali pada era 20-an, millenium kemarin. Dunia tidak modern lagi. Dunia sudah kembali ke alam ortodoks, konvensional, dan tradisional. Sejarah tidak lagi progresif, tapi regresif dan mundur ke belakang.

Stiti Aisyah, kata Abah, kau adalah gadis yang baik. Dunia akan menyanyikan simfoni kebahagiaan bila aku dan kamu saling bersanding membina rumah tangga.
Dunia yang mana?
Duniakukah? Dunia inikah? Dunia merekakah?
Bagaimana mungkin simfoni indah terdengar ketika yang melagukannya adalah orang yang tidak suka terhadapnya?

–♣ ♣ ♣ ♣ ♣–

Deskripsi di atas hanyalah penggalan episode Irsayad Maulana, salah seorang tokoh utama dalam novel Meminang Bidadari-nya Muhammad Muhyidin. Novel yang memotret realitas yang pincang dan paradigma yang bengkok tentang cinta dan perjodohan. Ya, Irsyad Maulana lebih memilih “menentang” orang tuanya sendiri. Lebih memilih Niken Hapsari ketimbang Aisyah, lantaran ia sadara sesadar-sadarnya, bahwa cinta dan kebahagiaan adalah mutlak milik dirinya, milik jiwa raganya. Bukan orang tuanya. Dan, menikah dalam baying-bayang kemunafikan adalah benar-benar penindasan. Dan penindasan, atas dasar apa pun sama sekali tidak dibenarkan. Sebuah usaha yang sulit dan jarang kita jumpai; tentang frontalitas cinta dan perjodohan dalam komunitas para “pemegang otoritas tunggal”.

Jika seorang Irsayad Maulana mampu “berontak” dan tidak bersikap naïf atas konstruksi sosial yang coba mengungkung dirinya, itu karena ia ada dalam dunia fiksi dan dikisahkan dengan terma patriarki. Tapi, bukankah karya fiksi adalah hasil proses reflektif-imajinatif seorang penulis dalam merepresentasikan realita obyektif dalam masyarakat? Dan bukankah petuah dan nasihat yang diramu dan dikemas dalam bahasa fiktif-sastra akan terasa lebih santun dan manusiawi, karena tidak melalui proses indoktrinasi, melainkan melalui proses berfikir, merenung dan kemudian menyimpulkan bahwa cerita yang ditulis dan dibaca ada korelasinya dengan kehidupan nyata?

Sekali lagi, Irsyad Maulana mampu berparadigma “kesadaran kritis”, critical conciousness__ meminjam istilah Paulo Freire dalam konsepnya tentang hierarki kesadaran __ karena ia terejawantah dalam dunia imajinasi dengan karakter “patriarki” dan superioritas maskulinisme.

# # #


Lalu, bagaimana jika kisah Irsyad terjadi pada seorang “Neng”, misalnya?
Maka izinkan saya bercerita tentang teman saya sebangku kuliah, seorang gadis bernasib “malang” yang tak kunjung reda didera nestapa. Baginya, derap hari-hari yang dilalui teramat durja. Indahnya Puncak Claket Mojokerto dengan kabut yang pelan-pelan menipis saat matahari mulai meningkahi awan, tak lagi merinaikan gelora nista yang menghunjam dalam jiwanya. Hamparan padang pinus nun jauh di atas bukit yang membiru, tak lagi membuat matanya sejuk. Sesejuk kalbunya ketika ia masih bersama dengan lelaki yang membuatnya merasa hidup, damai, tenang. Hanya penat yang tersisa. Lelah yang merenta. Gelisah yang mencadas lara. Hanya kalut yang menggelayut. Beraduk menjadi satu, menyusun hidupnya yang tak mampu untuk sejenak bernafas, sekedar mengajukan alasan dalam menentukan pasangan hidupnya.

“Aku tidak ingin punya suami yang menikahiku hanya untuk menggantikan kedudukan Abahku, meneruskan almamaterku. Aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang menikahiku karena kehendak orang tuanya, bukan kehendak hatinya,” begitu ia pernah berkata saat saya mencoba menengahinya, bahwa cinta itu bisa dipelajari. Bahwa kita bisa belajar mencintai. Cinta itu butuh proses. Bahwa “cinta pertama” adalah nafsu, bukan cinta kasih sayang.

Ah, tahu apa saya soal cinta? Sela hatiku waktu itu.
“Aku tak pernah mengerti, kenapa Abah tega menjodohkanku dengan lelaki yang tak ku kenal, kenapa Abah tidak pernah berfikir bahwa aku sudah dewasa, aku sudah bisa memilih takdirku sendiri,” tangisnya pilu.

“Haruskah aku pura-pura mencintainya, menerimanya sepenuh hatiku, pura-pura merasa bahagia hidup dengannya? Padahal aku ingin menjdi diriku sendiri. Padahal aku ingin Abah memahamiku, mengerti keinginanku,” tambahnya. Mengambang. Pertanyaan yang tak butuh jawaban. Saya hanya diam.

Dan tiba-tiba saya teringat sebuah potongan paragraph, entah di mana saya pernah membacanya, bahwa untuk terlihat bijak, seseorang kadang memang harus bersikap hipokrit. Tapi sampai kapan ia harus hidup dalam bayang-bayang kemunafikan? Haruskah ia dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung sendiri di dalam hatinya, di dalam batinnya? Haruskah ia berkeyakinan bahwa sikap nrimo pada “sabda” orang tuanya, meski jiwanya meronta-ronta, niscaya akan ada balasannya yang lebih baik di akhirat kelak?

Ya, harusnya kita jujur pada diri sendiri. Harusnya kita adalah diri kita sendiri.
Tapi akan selalu ada, meskipun sedikit, meskipun kau pikir mustahil, meskipun kau tak merasa kehadirannya__ tapi akan selalu ada orang yang berfikir sepertimu, bisa memahamimu, dan bisa menyayangimu. Tak seorang pun benar-benar sebatang kara. Kita tidak pernah benar-benar sendirian. Kata saya waktu itu, tapi hanya dalam hati, seperti kata Marina pada Elly dalam Area X Hymne Angkasa Raya-nya Eliza V. Handayani

Tapi jodoh bukan karena cinta, melainkan karena takdir. Begitu salah seorang karibku berujar.
Sampai di kontrakan saya masih termangu sendiri. Merenung dalam malam yang panjang, dalam ketidakmengertian. Dunia terasa penuh ambiguitas dan absurditas yang akut. Seolah berada pada labirin sunyi tanpa ujung, saya terus berusaha mencari-cari celah untuk menguak jawaban yang tak kunjung datang. Entahlah …

Kadang saya berfikir, barangkali kebahagiaan yang kita mimpi-mimpikan dalam hidup adalah fatamorgana. Semu. Hanya sebuah ilusi dan fantasi. Bahwa idealisme dan realisme selalu berdiri tegak secara diametris. Pada ranah ini, vitalisme dan nihilisme ala Nietzche, sang filsuf proklamator kematian Tuhan itu, membuka ruang kesdaran kita untuk kemudian merenungkannya dalam-dalam. Bahwa kita tidak benar-benar ada. Bahwa kehidupan adalah kematian. Biasanya, pada situasi seperti ini, saya kemudian teringat pada heroisme sang Samurai dalam film The Last Samurai, meski pada akhirnya apa yang ia imipikan hanyalah utopia belaka.

Suatu ketika, pada suatu babak akhir “perjuangan” di medan pertempuran, ketika ia hanya tinggal berdua dengan temannya, ia melihat dengan pandangan nanar betapa prajurit-prajurit bergelimpangan merenggang nyawa. Darah merah tumpah ruah. Jauh di keliling mereka, pasukan musuh telah mengepung dengan bendera berkibar. Api telah meninggalkan arang. Perang selalu menyisakan lara. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa perjuangan tetaplah perjuangan, bahwa kehidupan adalah ketiadaan. “Apakah kau yakin manusia mampu mengalahkan takdirnya?,” Tanya temannya putus asa.

“Manusia harus tetap selalu berusaha semampunya, hingga ia tahu takdirnya sendiri,” sang Samurai menjawab mantap sekaligus nyiyir.
♣ ♣ ♣ ♣ ♣

Seperti jamak terjadi, perjodohan dalam keluarga Kiai adalah hal lumrah dan seolah-olah manusiawi belaka. Bahkan juga lazim berlaku dalam masyarakat dengan tingkat strata sosial yang lain, tingkat yang lebih “rendah”. Apalagi ketika perihal perjodohan ini ditopang dengan pikiran-pikiran keagamaan, lebih-lebih disampaikan oleh mereka yang dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Lebih kesulitan lagi manakala pikiran-pikiran tersebut telah menjadi keyakinan atau diyakini sebagai agama itu sendiri. Inilah barangkali salah satu aspek penyokong kekuasaan dan alat legitimasi bagi supremasi dan hegemoni diktatoriannya “sang pemilik otoritas kebenaran”.

Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan dalam perspektif fiqih Islam tidak memiliki otoritas penuh dalam menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Dalam perspektif ini, yang paling berhak menjatuhkan “keputusan” adalah ayah atau kakeknya. Maka implikasi logis yang kemudian muncul adalah adanya asumsi umum, bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatar belakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dalam legal-formal fiqih Islam dikenal dengan hak ijbar dan wali mujbir. Hak ijbar dipahami sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain, dalam hal ini adalah ayahnya.

Jika ditelaah lebih jauh tentang terminologi ijbar dalam tata bahasa Arab, maka akan ditemukan beberapa kata yang memiliki konotasi yang sama dengannya, yakni ikrah dan taklif. Dalam bahasa Indonesia, ketiga kata tersebut diartikan sebagai paksaan atau memaksa. Dan untuk memberikan pemahaman dalam kajian ini, maka perlu dikemukakan adanya defferensiasi makna yang signifikan di antara ketiganya, sehingga mampu menghapus distorsi pemahaman keagamaan yang kerap mendudukan perempuan pada wilayah subordinat, posisi inferior, bahkan menjadi “korban pemaksaan” dengan kedok legitimasi agama.

Ikrah adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang membahayakan jiwa atau tubuhnya, tanpa dia sendiri mampu melawannya. Sementara bagi orang yang dipaksa, perbuatan tersebut sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nurani atau pikirannya.

Berbeda dengan ikrah, taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Akan tetapi, pekerjaan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis semata-mata dari penerimaannya terhadap suatu keyakinan. Jadi, pekerjaan tersebut lebih bersifat kewajiban karena ia telah menjadi mukallaf, karena telah dengan sadar menjatuhkan pilihannya untuk mengikuti sebuah keyakinan.

Sedangkan ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab. Nah, dalam kasus perjodohan ini, pemaknaan ijbar sebagai pemaksaan kehendak sang ayah untuk menentukan pilihannya sendiri, jelas menafikan unsur kerelaan yang menjadi asas dalam setiap akad atau transaksi, termasuk akad nikah. Pemaksaan kehendak dalam menentukan pilihan dapat dikatakan sebagai ikrah. Dalam kacamata Fuqaha, pemaksaan secara ikrah mengakibatkan ketikabsahan suatu perkawinan.
☺☺☺☺

Berkait-erat dengan ketimpangan-ketimpangan realitas di atas, mungkin sebagian kita sepakat, mungkin juga menolak. Sah-sah saja. Bergantung dari mana kita membidik sebuah perspektif. Bagi “para korban” yang terjebak dalam kondisi yang memberangus kebebasan dirinya dalam memilih pasangan hidup, barangkali hanya jeritan-jeritan panjang yang mengalun bertalu-talu. Hanya nyanyian sembilu yang meranggas duka dalam liang-liang jiwa.Ya, hidup dan luka adalah dua entitas yang teramat niscaya. Dan, memilih pasangan juga bagian dari kehidupan. Maka, mengapa harus hegemoni otoritatif yang menjadi asas pijakan?

Ya, persoalan-persoalan kasuistik di atas memang bukan tanpa preseden. Dan tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam, apalagi membuat stigma dan justifikasi. Tulisan ini hanya sekedar berusaha untuk mencipratkan spirit baru sejauh yang saya ketahui dan bisa saya lakukan, untuk sampai pada pemahaman reflektif akal budi, dan kemudian diharapkan munculnya kesadaran baru pada pembaca, entah apa pun kesadaran itu.

Maka ketika nafas cinta terenggut tanpa daya, ketika konstruksi nalar kemanusiaan kita teralienasi oleh faktor hegemoni yang “menindas”, dan ketika kita tak kuasa untuk hanya menyatakan pilihan hidup dan hanya ketakberdayaan-ketakberdayaan yang menanti dihari-hari yang muram, sejatinya kita tak lagi menjadi manusia. Kita hidup dalam ruang dominasi yang menistakan dan menafikan harkat kemanusiaan kita. Dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu”, submerged in the culture of silence. Kita dilarang untuk ambil bagian secara kreatif dalam upaya aktualisasi diri, dan oleh karenanya pada wilayah yang lebih ekstrem, kita dilarang untuk hidup.

Pada kasus perjodohan Neng di atas, ruang komunikasi yang seharusnya bebas dari unsur peksaan telah terberangus oleh “kepentingan-kepentingan parsial” belaka untuk melestarikan “status quo”. Dalam konteks komunikasi ini, perbincangan rasional di mana argument-argumen rasional berperan sebagai unsur emansipatoris tidak lagi berorientasi untuk mencapai ‘demokrasi radikal’__ meminjam istilah Jurgen Habermas__, sehingga paradigma komunikatif ini tidak lagi melahirkan kesadaran kemanusiaan yang bebas dari dominasi.

“Bukankah pernikahan itu tidak hanya menyatukan dua orang? Pernikahan juga menyatukan hati, sifat, kebiasaan dan perasaan dua orang yang berbeda tiap sisinya …,” begitu sergah Aida, pemeran utama dalam cerpen Suami Rahasia-nya Ikho S. Sulaikho, yang terkumpul dalam antologi cerpenya, SetengahTobat. Maka, di sinilah urgensitas komunikasi yang berhubungan dengan kognitif-teknis dan moral-prkatis, menemukan ruh relevansinya. Karena jika tidak, pernikahan yang bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, mustahil terejawantahkan dan tak lebih hanya sebagai omong kosong belaka. Bullshit. Dan pada titik inilah, “sang wali mujbir” telah dengan sengaja menjerumuskan anak gadisnya sendiri ke dalam kubangan penderitaan batin yang teramat panjang dan menyakitkan. Dengan bahasa yang agak “nakal”, sejatinya sang wali telah dengan tega “menjual” anak gadisnya sendiri demi setampuk kekuasaan. Sorry, there are no lowly intention to insult or humiliate.

Maka, sampai kapan “Siti Nurbaya” akan tetap ada dalam relung-relung sejarah kemanusiaan kita? Sampai kapan nafas cinta akan bebas dari keterjajahan tanpa daya? Saya kurang tahu.
Salam …

Surabaya, 09 Maret 2008



* oleh :Bahauddin Amyasi (bahauddin_amyasi@hotbox.ru). Tulisan ini pernah dimuat di Buletin “BINTANG” PP. Mambaul Ulum Bata-bata, Pamekasan, Madura

3 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post