Pernikahan Dibawah Umur : Sebuah Catatan untuk Perkawinan Syeh fuji



Tampaknya, adagium terkenal "khaalif tu'raf" mampu menyedot perhatian masyarakat Indonesia untuk meraup popularitas. "Kalau ingin terkenal, anda harus berani untuk beda dengan yang lain! Anda harus berani menuai kontroversi, mampu mengelola konflik", begitu barangkali 'kasarannya'. Logika ini kemudian yang, menurut hemat saya, membuat Syeh Fuji, konglomerat asal Semarang itu berani "unjuk muka" untuk menggandeng Luthviana Ulfa sebagai pendamping hidupnya, penyejuk mata di masa tuanya, pembangkit energi dalam mengarungi usia senjanya yang kian renta.

Sosok pengusaha seni kaligrafi sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Semarang, Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji, beberapa minggu terakhir ini menjadi sorotan publik. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, tiada henti memberitakannya. Bukan karena kedermawanannya -- Ramadan lalu dia mengeluarkan zakat luar biasa besar Rp1,3 miliar -- melainkan karena pernikahannya dengan seorang gadis di bawah umur bernama Luthfiana Ulfa (12 th) yang pantas menjadi anaknya. Pernikahan tersebut dinilai melanggar UU Perlindungan Anak. Nama syekh puji, pengusaha kaya raya, yang sebelumnya "tak dikenal orang" tiba-tiba menjadi topik utama pemberitaan media di negeri ini. Langkahnya yang kontroversial dengan menikahi bocah berusia 12 tahun itu, mampu memercikkan api kecaman dan memuntahkan lahar cercahan dari berbagai elemen masyarakat hingga komnas perlindungan anak.

Pria 43 tahun itu juga berencana menikahi 2 bocah lainnya yang usianya lebih muda dari Ulfa. Namun apa yang dilakukannya ini bukan tanpa alasan. Syekh Puji beralasan punya dasar agama untuk menikahi Ulfa dan dua bocah ingusan yang masih duduk di sekolah dasar itu.

"Saya punya dasar agama. Nggak ngawur," kata Syekh Puji seperti dirilis detikcom.

Syekh Puji mengatakan, hanya mengikuti ajaran Rasulullah SAW yang menikahi Aisyah saat berumur 7 tahun. Namun Rasulullah tidak ‘mencampuri’ Aisyah hingga si gadis akil baliq. Syekh Puji pun tidak akan ‘mencampuri’ istri-istrinya yang belum akil baliq.

Luthviana Ulfa yang belum genap usia 12 tahun itu, menurut kacamata saya, terlalmpau cantik untuk seukuran Syeh Fuji. Dan, di hati kecil saya sempat terbersit semacam asumsi ; cewek sebelia itu sepertinya lebih cocok berdampingan dengan saya ....sengihnampakgigi celebrate Namun apa boleh buat, penuturannya dimedia massa, Ulfa memang tidak pernah merasa dipaksa menikah dengan Pengasuh Ponpes Miftahul Jannah tersebut, dia mau menikah atas dasar perasaan cinta. Ah, kalau sudah masuk wilayah cinta, saya angkat tangan saja!
takbolesembah

Ya, saya tidak akan membahas lebih detail tentang kebenaran kisah asmara mereka berdua. Sebab, cinta adalah prekara yang sakral. Dan saya tidak berhak melarang seseorang untuk mencintai dan menyayangi orang lain, seberapa pantas, seberapa kufu' orang itu bagi pasangannya. Tidak, sama sekali tidak. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengemukakan "kegelian hati" saya ketika berusaha untuk mengamati berbagai fenomena yang terjadi di negeri ini, salah satunya adalah pernikahan Syaeh Fuji ini. Terlepas dari motif yang melatar belakangi pernikahan mereka, ada berbagai hipotesa yang bermunculan, bahkan yang tidak setuju menuduh Syekh puji mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur, dan motif ekonomi dari pihak Ulfa. Namun semua itu hanyalah hipotesa belaka, yang bisa saja berpretensi benar dan juga salah.

Ditelisik dari perspektif syari'ah, pernikahan tersebut sah secara formal, namun MUI memfatwakan haram tindakan syekh puji ini. Di sinilah konfrontasi antara Hukum Legal Formal Syari'ah (Fiqih) dengan Hukum Positif Kenegaraan mendapatkan ruang yang "kondusif". Dan, dari sinilah kedewasaan seseorang dalam beragama, berbangsa dan bernegara, mampu mempertimbangkan aspek maslahat dan mafsadat yang dapat ditimbulkan dari sebuah pilihan yang diambilnya. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dan reorientasi pemahaman keberagamaan dan kebangsaan seseprang kepada masyarakat Muslim, bahwa Pernikahan tidak hanya memandang aspek hukum syar'i melainkan juga kerangka Fikih dala konteks Indonesia.

Sebenarnya, pernikahan di bawah umur tidak hanya pada syekh puji, di daerah pelosok pulau Madura, praktek menikah dibawah umur sudah jamak terjadi, namun tidak pernah ada perhatian baik dari kalangan ulama' maupun pemerintah setempat. Pola pemahaman yang dimiliki oleh mayoritas kaum muslim adalah menafikan sebuah undang-undang hukum positif yang berlaku di Negeri ini, legitimasi Fikh dan Pernikahan Nabi dengan Aisyah cukup menjadi dalil kuat pernikahan dibawah umur.

Banyak kalangan yang mengomentari langkah kontroversi ala Syekh Fuji ini. Di Banjarmasin Post, sebagaimana dirilis Siti Hamsiah, Jumat, 07-11-2008, pengurus Pusat Studi Gender (PSG) IAIN Antasari Banjarmasin, Dra Siti Faridah MAg, mengatakan apa yang dilakukan Rasulullah menikahi Aisyah ra tidak bisa dijadikan pembenar atas tindakan Syekh Puji. Sebab, ada kekhususan yang dimiliki seorang Nabi. Segala tindakan Rasulullah berdasar wahyu, termasuk ketika menikahi Aisyah yang ketika itu berusia 9 tahun.

"Menurut ulama, Rasulullah menikahi Aisyah berdasar perintah Allah, Nabi tidak mengumbar napsu," kata Siti Faridah.

Syiar Islam
Pernikahan Rasulullah tidak lepas dari syiar Islam. Termasuk dengan Aisyah, menurut Siti Faridah, besar manfaatnya bagi kehidupan umat. Aisyah dipersiapkan untuk mendampingi Rasulullah.

Berbeda dengan istri-istri Rasulullah yang lain, Aisyah meriwayatkan banyak hadis utamanya kehidupan berumah tangga, komunikasi antara suami istri.

"Aisyah ra merupakan sosok yang cerdas, hapalannya kuat, dan kehidupannya sejak belia dengan Rasul sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Karenanya istri sahabat atau Muslimah kala itu, bila ada masalah bisa langsung bertanya dan mendapat jawaban dari Aisyah berdasar sunah Rasul," bebernya.

Dikatakan Dr Abdullah Karim MAg, Aisyah mendampingi Rasulullah dari usia 9-16 tahun. Selama kurun waktu 7 tahun itu, Aisyah banyak meriwayatkan hadis.

"Meski tetap dengan penjelasan Nabi, sebab ada kata-kata tertentu dalam hadis yang perlu penjelasan dan tidak bisa dipahami secara tekstual," imbuhnya.

Kurma Mentah
Menurut Drs Arni, berdasar hadis, ketika menyerahkan Aisyah kepada Rasulullah, Abubakar Ash Shiddiq (ayah Aisyah) kemudian juga menyerahkan beberapa biji kurma mentah.

"Ketika menerima kurma mentah tersebut Rasulullah tersenyum, beliau mengerti kalau pertumbuhan Aisyah belum sempurna. Makanya Rasulullah menikah dengan Aisyah, tapi tidak langsung digauli," kata Arni.

Padahal, lanjutnya, secara fisik orang-orang di jazirah Arab perawakannya lebih besar dibanding orang Asia seperti Indonesia. Sehingga sudah siap memasuki kehidupan berumah tangga.

Namun bukan hanya faktor fisik yang jadi pertimbangan, juga akalnya. Anak seusia itu pemikirannya masih terbatas, perkembangan akalnya belum sempurna, bahkan untuk memutuskan sesuatu tentu dengan pertimbangan orang lain.

"Kalau mengikuti Rasulullah, contohlah masalah yang berhubungan dengan Tuhan, jangan soal budaya. Mengawini anak di bawah umur, kawin muda, itu budaya, dan patut dipertimbangkan. Sebagai warga negara yang hidup di Indonesia maka taatilah hukum yang berlaku," tandas Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari ini.

Benang Merah
Dari fenomena yang terjadi ini, ada semacam "benang merah" yang perlu kita perhatikan bersama-sama, bahwa fikih Ke Indonesiaan perlu ditanamkan kuat-kuat dalam pemahaman masyarakat, pernikahan dengan batas minimal umur, pencatatan perkawinan, poligami dan semacamnya harus menjadi perhatian serius para tokoh terutama KUA yang paling berperan untuk mensosialisasikan hal ini.

Tetapi, nasi telah menjadi bubur, kasus telah terjadi. Mau tidak mau, hanya hikmah dibalik kontroversialnya langkah syekh puji inilah yang harus kita jadikan pijakan, harus sedikit banyak memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menikah tidak hanya melihat aspek fikih saja, tetapi juga harus memeperhatikan aspek sosial serta dampak yang ditimbulkannya. Asas maslahah tetap harus menjadi acuan utama. Harapan saya, kejadian ini akan memberikan pelajaran paling berharga bagi para orang tua, gadis-gadis di abwah umur dan masyarakat lainnya.

2 Comments

  1. Sebnrnya tindakan sekh puji itu sah sah saja, tapi jika masalah ini menjadi konsumsi publik dalam kata lain di publikasika maka masalahnya akan menjadi berbeda. Soalnya ini akan menjadi figur publik. Yang akan menjadi ikutan orang banyak terutama bagi mereka yang beduit (laki-laki) dan akan mengikuti jejak langkah sekh puji ini. Dan korbannya sudah tentu orang-orang yang sangat kurang mampu ekoniminya. Bisa bisa menjadi obyekan tertentu,dan akan berdampak sangat buruk sekali.

    ReplyDelete
  2. minta donk alamatnya sekh puji? Bgi yang tau alamat sekh puji tolong kirimkan ke alamat imel saya "yadisurya@gmail.com" atas infonya terimakasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post