MADURA PASCA SENGKETA PILGUB JATIM



Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan kasus sengketa pilgub Jatim itu, sebagaimana diberitakan Jawa Pos, Rabu, 03 Desember 2008 kemarin mengambil keputusan mengejutkan. Yakni, memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim melakukan coblosan ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang serta melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan. Ketiga kabupaten tersebut berada di Pulau Madura.

Untuk menjamin keamanan, Mabes Polri meminta jajarannya siaga penuh untuk menjamin keamanan di Madura terkait putusan MK soal pilkada Jatim. Kapolres Pamekasan, Sampang, dan Kapolres Bangkalan diminta menjaga keamanan di wilayah mereka masing-maisng. Berbagai media di negeri ini, banyak yang menjadikan berita mengejutkan ini sebagai warta hangat dan headline beritanya, salah sataunya, Liputan 6 SCTV.



Hati kecil saya bergeletar hebat. Ada semacam penyesalan dan bantahan yang menghujam benak kesadaran ini. Sudah sedemikian parahkah perspektif “orang luar” terhadap kultur Madura? Ah, Madura … terlalu banyak stereotype negative yang telah dicapkan kepadamu …


Begitu kira-kira poin penting yang dapat saya tangkap setelah membaca dan menyaksikan berita yang paling ditunggu oleh warga Jatim. Tulisan ini saya tidak akan membahas secara detail tentang riak-riak politik yang sedang bergumul dan kian menghangat ini, tetapi lebih mengarah pada sisi normativitas warga Madura pasca sengketa pilgub Jatim 2008, yang menurut hemat saya sangat signifikan untuk meng-counter berbagai perspektif dan pembacaan kebanyakan orang yang selama ini memang kontrapoduktif.

Sebagai bagian dari orang Madura, saya ikut teriris menyaksikan fenomena yang sedang terjadi. Pernahkah kita bayangkan, bahwa dengan kecerobohan, kelicikan, persekongkolan yang dilakukan para “aktvis” pilgub, para tim sukses dan keronco-keronconya, kembali mengorbankan dana milyaran rupiah. “Coblosan Ulang Sedot Anggaran hingga Rp 20 M”, begitu yang dikabarkan Koran Jawa Pos, Rabu, 03 Desember 2008.

Ditelisik dari kacamata teori politik, segala sesuatu harus dipandang dari sisi motif kepentingan. Begitupun barangkali yang terjadi dengan orang Madura itu. Mereka yang kebanyakan tidak mengenyam pendidikan, akan mudah terhasut dan teriming-imingi sesuatu yang menggiurkan. Mereka hanya tahu, bahwa untuk mendapatkan uang sekian rupiah bukanlah perkara yang mudah. Butuh cucuran kjeringat dan air mata untuk meraup nominal tersebut. Maka, dengan memakai logika ini, sangat wajar jika para politikus ulung pandai memafaatkan situasi, dengan menjalankan many politic, mislanya.

Ah, betapa gampangnya para pemegang kekuasaan menghabiskan Anggaran Negara hanya untuk hal-hal yang belum tentu membawa kebaikan dan perubahan radikal untuk Jawa Timur ke depan ….

2 Comments

  1. Ya, semuanya tergantung dari mana kita memandang. Toh, Asumsi orang Madura berwatak keras pernah dibantah oleh antropolog asal Belanda, Dr Huub de Jonge, karena anggapan tersebut terkadang hanya untuk kepentingan lain. Kalau tidak percaya silahkan buka http://www.antara.co.id.

    Dan, hal ini bukan karena saya juga orang Madura lho ya...=)) =))

    ReplyDelete
  2. yA...Saya sepakat, tergantung dari mana kita memandang...

    Kalau pakai kaca mata minus, ya hasilnya juga min...hehe...8-}

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post