PENDEWASAAN ”POLITIK KAMPUS” ; SEBUAH PERGESERAN PARADIGMA


Tulisan ini sebenarnya pernah dimuat di Buletin Kejora edisi perdana. Semula tulisan ini sangat singkat dan amburadul, kiriman karib saya Maltuful Anam dan Riri, yang akhirnya saya benahi sana-sini.


–ooOoo–




Konon, akhir-akhir ini ada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa pergeseran paradigma yang terjadi dalam tubuh para aktivis mahasiswa semakin hari semakin riskan. Dunia kampus, yang sejatinya harus tumbuh dan berkembang di dalamnya tradisi intelektualisme, ternyata hanyalah omong kosong belaka. Demi meraup kekuasan sektarian, kebohongan demi kebohongan mereka lontarkan seirama dengan umbaran janji-janji palsu yang menjijikkan. Mereka tidak menyadari, atau pura-pura tidak tahu-manahu perihal implikasi logis yang diakibatkan dari keculasan mereka.

Lihatlah, begitu banyak para aktivis yang sering menyalahgunakan organisasi dan sering memanfaatkan kader yang masih bau kencur untuk memenuhi kepentingan “perut” mereka. Padahal dalam dataran idealitas, kader seharusnya tidak dijadikan tunggangan dan kemudian ditinggalkan ketika “kepuasan” telah digenggam, melainkan diberdayakan dan selalu diupayakan menuju kematangan-kematangan dan penyempurnaan-peneyempurnaan, baik secara intelektualitas maupun emosionalitas.

Barangkali karena mereka, para aktivis “kacangan” itu terlalu ahli dalam manajemen isu, sehingga mereka lupa dan terjerat ke dalam jurang oportunisme dan pragmatisme buta. Contoh yang sangat riil dapat kita temukan di kampus kita. Ketika pesta pemilu raya digelar, disadari atau tidak, muncul dan berkembang istilah yang disebut dengan bad campaign dan back campaign. Trem yang pertama adalah kampanye politik yang dimaksudkan untuk mengkritik lawan politik dan mengungkap segala kelemahan-kelemahannya. Term yang kedua diistilahkan sebagai kampanye politik dengan menjelek-jelekkan, bahkan memfitnah lawan politik demi membunuh karakter lawan politiknya.

Sesungguhnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Karenanya, dalam politik ada ”aturan main” dan etika yang harus didindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam perspektif Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner dari India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan tata cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”, sebagaimana yang pernah dikatakan Plato bahwa politik adalah seni mempegaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan.

Tetapi, antara idelitas dengan realitas memang cenderung berdiri secara diametris. Kerja-kerja politik yang idelanya selalu bersih dari ”kelicikan-kelicikan” dan ”keculasan-keculasan” ternyata banyak menuai kendala. Sehingga tidak heran jika kemudian ada ”justifikasi publik” bahwa politik itu memang kotor, tidak pernah bersih. Kalau jujur dan bersih itu bukan politik. Begitu mungkin kilah mereka. Hal ini terjadi, karena selama ini kerangka pikir mereka dalam ranah politik sudah terpola oleh asumsi umum bahwa politik memang harus oportunis, sporadis, pragmatis, bahkan anarkis. Sederhananya, politik sama dengan kebohongan dan kelicikan. Sehingga, apapun cara dan metode yang dilakukan dianggap sah-sah belaka selama dipandang akan memuluskan jalan menju ”tujuan”. Inilah yang dimaksud dengan pergeseran paradigma itu.

Mentalitas mahasiswa, khusunya para aktivis kacangan itu, pada kenyataanya memang belum siap untuk memegang kendali bangsa, karena nurani kejujuran dan integritas keilmuan belum tertanam dalam jiwa mereka. Dan parahnya, sebagian kita terjebak pada distorsi pemahaman, bahwa aktivis selalu dididentikkan dengan mahasiswa yang sering berkoar-koar ketika demonstrasi, ”molor” sampai menjadi ”mahasiswa abadi”, sering bolos (karena kesibukan organisasi), dekil dan lain sebagainya. Padahal, aktivis sejatinya adalah mereka yang berkutat dalam wacana keilmuan, aktif berorganisasi tapi tidak melalaikan kuliah, serta memiliki tekad kuat dalam memperjuangkan idealismenya.

Dari paparan singkat di atas, terdapat benang merah yang dapat dijadikan pijakan reflektif-otokritik bahwa ketika tradisi intelektualisme dalam aktivisme kampus mulai tergerus dan melemah, maka yang menguat kemudian adalah tardisi politik praktis. Dengan kondisi demikian, dunia kampus tidak lagi menjadi muara berkembangnya wacana keilmuan, melainkan menjadi pabrik penghasil poli(tikus)-poli(tikus) ulung yang terjerat dalam oportunisme buta. Aktivitas dan gerakan politik kampus tidak lagi diperjuangkan dengan mengusung idealitas yang sakral, tetapi cenderung pada perebutan kekuasaan artifisial semata.

2 Comments

  1. kalo mahasiswa sekarang belajar politik dan ingin menjadi politikus,bagus 2.asal jadi politikus beneran.jangan jadi politikus boong boongan.beda lho politisi dan politikus.pokoknya jangan jadi poly(rumah)tikus(tikus yang sering curi barang di dalam rumah).kalo kayak g2 ane gak setuju banget.jadilah politikus yang mampu membunuh atau memusnahkan tikus yang kedua.

    ReplyDelete
  2. Hahaha...:)) Dari dulu kamu emmang paling piter memunculkan diksi baru, bro...jangan-jangan kamu yang ingin jadi politikus? So, bahasamu kan cenderung retoris gitu...~x( ~x(

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post