Surabaya dan Banjir Musiman

Bukan Surabaya Kalau Musim Hujan Tidak Banjir

"Ternyata banjir tak mungkin teratasi
hanya dengan kata-kata dan janji
... .... "

(Sobron Aidit :BANJIR)


Sudah beberapa hari saya tidak meng-update blog yang paling saya cintai ini. Tugas kuliah menumpuk. PR di HMJ-PBA masih banyak yang belum tertselesaikan. Beberapa agenda terbengkalai. Dan, saat-saat seperti inilah biasanya saya kembali teringat nasehat Hasan Al-Banna ; "al-waajibaatu aktsrau min al-awqaat" (kewajiban yang harus kita kerjakan adalah lebih banyak daripada waktu yang kita miliki). Ya, begitu sedikit waktu yang kita miliki dan begitu banyak kewajiban yang belum tercapaikan. Betapa hidup benar-benar tidak semudah dan sesederhana yang pernah saya bayangkan...

Hujan selalu turun lebat di sore hari, dan Surabaya akan menyisakan desah kegetiran dalam dada. Banjir akan meluap dan menziarahi emperan rumah-rumah warga kamar-kamar kos mahasiswa. Ah, bukan Surabaya namanya kalau musim hujan tidak pernah banjir, seloroh salah seorang teman saya. Sebagai "penjaga" warnet (Smart Net), saya selalu menyaksikan riak-riak air hujan menganak sungai lalu menghantam depan serambi warnet. Hampir menjilati bibir pintu, terlebih ketika motor dan mobil melintas. Maka bersipalah untuk merangkul percik-percik kecil yang menggigil. Ah, masih lumayan baik bila melihat peristiwa banjir yang marak melanda sebagaian besar kota di negeri ini, bahkan dengan korban jiwa yang sudah tak terhitung.




Bagi warga "miskin kota", banjir adalah kiamat kecil yang selalu menyesakkan dada; rutinitas tahunan yang hampir tak pernah ada solusi permasalahannya. Kepedihan yang telah terbiasa mereka nikmati, dan bahkan telah mereka anggap sebagai proses alami.

"Itu kan salah mereka sendiri ..."
"Mereka kerap tidak mematuhi aturan ..."
"Siapa suruh tidak menjaga kebersiahan ..."
"Makhluk-makhluk kumuh ..."
"siapa suruh miskin..."
Dan masih banyak lagi stigma-stigma negatif yang ditujukan pada mereka.

Ya, mereka memang msikin. Dan, kemiskinan, saya yakin tidak pernah mereka inginkan. Rumah mereka kumuh. Tata letak lingungan yang amburadul. Tapi, pernahkah kita bayangkan bahwa hanya untuk memikirkan perut kenyang, mereka hampir selalu menjerit? Jerit yang acap hanya bisikan perih yang tak terdengarkan. Di sinilah barangkali letak persoalannya. Kita hidup dalam negara yang struktur sistemnya hanya menguntungkan para konglomerat kapitalis.

Saya sering membayangkan, tukang sampah yang setiap malam berjalan keliling kampung. Mengangkuti sampah-sampah busuk bau comberan dengan gerobak dorongnya. Selalu, ketika subuh hampir menjelang, ia akan datang ke depan warnet tempat saya, mengambil sampah dalam bak, lalu memasukkannya ke gerobak. Ia akan terus menyusuri jalan demi jalan demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Dan, pernahkan kita bayangkan, bagaimana seandainya selama seminggu saja ia tidak bekerja dengan gerobak sampahnya?




Banjir dan sampah adalah dua entitas yang niscaya di negeri ini. Ya, banjir dan sampah adalah dua entitas yang saling berkait kelindan. Maka, tugas terberat bagi kita adalah merubah sistem bobrok yang telah mengakar di negeri ini...

2 Comments

  1. Lama gak mampir neh....makasih sudah naruh link saya di blog lits.

    Mengenai banjir dan kemiskinan, saya sepakat bahwa kedua harus diberantas hingga ke tataran akar-akarnya. Dan, sepertinya karakteristik sistem itulah yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan sulit diberantas ...

    ReplyDelete
  2. Makasih kembali....
    Ya, di blog list, blog kamu juga saya masukkan. Biar tambah ajeg ...

    Jangan lupa kunjungi lagi ya...

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post