Perempuan Berkalung Sorban ; Sebuah Upaya Mendobrak Hegemoni Patriarkhi



KITA ADALAH PEREMPUAN YANG HIDUP DALAM KONDISI YANG TIDAK SEIMBANG



“Islam tidak adil sama perempuan…”
“Perempuan sudah mendapatkan sorganya tanpa harus berpendapat…”
“Kodrat bahwa perempuan harus berlindung dibawah ketiak suami….”


Penggalan dialog di atas sengaja saya kutip untuk menggambarkan substansi dari film “Perempuan Berkalung Sorban” karya Hanung Bramantyo. Pertama kali membaca promosi film ini di harian Jawa Pos, saya pernah berspekulasi bahwa garapan temanya sengaja diformat untuk mereview fragmentasi sosial yang bias gender. Ini terlihat dari pemilihan judulnya yang bernada feminis-metaforik. Diksi “sorban” yang selama ini dikenal sebagai atribut kaum laki-laki, dalam film ini malah dijadikan “kata kunci” untuk memahami keseluruhan ide yang diangkat, yakni dijadikan kalung seorang perempuan.

Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang menurut hemat saya berpretensi mendobrak ketimpangan kultur yang selama ini mengungkung wilayah matriarki. Dulu, di blog ini saya pernah menulis tentang konstruksi social “hegemoni patriarki” yang merupakan “jawaban” atas permintaan teman saya, Mustafa Afif, untuk mengulas masalahnya dari sudut pandang agama dan sosial. Dan ternyata beberapa hari yang lalu, saat nonton film karya Hanung ini, fakta sejarah yang menimpa teman saya itu tergambar lebar di layar bioskop City of Tomorrow Surabaya, dengan grand design yang menawan, penggarapan alur cerita yang piawai, penggambaran karakter yang kuat, setting - latar yang menghipnotis dan konflik yang tajam, membuat film ini terlalu indah untuk diabaikan.

Ketika Perempuan Hidup dalam Kondisi yang tidak Seimbang
Maka tak ada yang bisa dilakukan seorang perempuan dalam himpitan tradisi yang menganggap dirinya sebagai sub-ordinat, harus selalu berlutut dalam ketiak suami, wajib tunduk pada produk hukum yang mengekang, memasung kreatifitas yang sebenarnya sangat potensial. Ya, fakta inilah yang acap terjadi di tengah hegemoni kultur patriarki, yang meski sering kita sadari sebagai sesuatu yang tak bernurani, tetapi tetap saja kita anggap sebagai warisan tardisi.




Tapi tidak bagi Annisa (Revalina S. Temat), seorang perempuan dengan pendirian kuat, cantik dan cerdas, yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Ia adalah anak kyai sekaligus seorang ibu dan isteri. Dalam lingkungan keluarga pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif, ia sempat beramsumsi bahwa islam selalu membela kaum laki-laki, merendahkan harkat perempuan yang diangap lemah dan tidak seimbang. Sejak kecil Annisa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari sang Kyai. Dua orang kakaknya boleh belajar berkuda, sementara Annisa tidak boleh hanya karena dirinya perempuan. Hanya untuk belajar naik kuda, sudah dianggap hal yang tabu dan tidak pantas baginya. Ia selalu berontak, protes terhadap realitas yang selalu memarginalkan dirinya.

“Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?” Tanya Annisa kepada ayahnya. “Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.” Tapi protes Annisa selalu dianggap rengekan anak kecil. Annisa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali mengajarkan kitab Ahlkaqul Nisaa, Bulughul Maram dan Bidayatul Mujtahid, yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. “Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri kekeuh mempertahankan rumah tangga?” Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. “Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?”

Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu mengerti, menemani Anissa bermain di antara jilatan ombak yang mencium pantai. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. Bersama guruh gelombang berkejaran, lambat laun Khudori telah menumbuhkan sebait hati di jantung Anissa yang terasing dan sunyi. Namun, cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), Abah Annisa, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo.

Maka, untuk menetralisir perasaannya, secara diam-diam, selain karena dukungan Khudori agar Annisa selalu terus belajar, kalau perlu sampai ke luar negeri, Anissa mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima, tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Anissa merengek dan protes dengan alasan ayahnya. Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga, demi kelangsungan keluarga dan pesantren al-Huda.

Kehidupan baru Annisa bagaikan dalam nereka saja. Karena selain memang tidak didasari cinta, ternyata Samsudin berperangai buruk, suka menyiksa, memaksa “melayani” nafsunya dengan buas. Samsudin adalah tipe seorang laki-laki pengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif, kasar. Tapi ketika Annisa berniat meninggalkannya, Samsudin akan berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun kepada Annisa. Biduk keluarga Annisa berlangsung bagai kelam malam jahannam. Puncaknya, Samsuddin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda), Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai anak. Takdir memang selalu menyisakan tanda tanya besar, dan cenderung tak terjawab. Kehancuran barangkali sudah menjadi keniscayaan. Maka, harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa runtuh seketika.
Jalan itu terputus setelah kamu pergi…

Dalam gelombang keputusasaaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Annisa seperti mendapatkan secercah harapan yang seolah telah lama hilang. Tapi Khudori bukan seorang anak Kyai seperti Samsudin. Apalah arti seorang Khudori bagi keselamatan Annisa. Tapi Annisa tidak peduli. Dia ingin cepat keluar dari pusarana labirin yang menghunjam jiwanya. Dia ingin bebas! Dia tumpahkan segala keluh kesah ke dada Khudori.

Suatu ketika, Annisa meminta Khudori pergi ke pantai, tempat masa kecil mereka bermain, belajar menunggang kuda. Ombak tetap setia seperti dahulu, melampaui semburat resah yang menikam dada. Romantisme jingga masa lalu kini terhampar kembali di batas senja. Membias berarak di tepi cakrawala. Keduanya saling menumpahkan kedalaman hati yang sebelumnya terpendam. Ada geletar kerinduan yang parau.
……..
“Kenapa dulu kamu nggak bilang gitu aja, Le’..”
“Hubungan kita jauh berbeda Nisa’…Bapak kamu mana mungkin mau sama aku yang bukan anak kiai, Nis….”
……
“Kamu telah memilih jalan yang tepat, Nis.…”
“Dan jalan itu terputus setelah kamu pergi…..”


Angin terasa hampa. Dan takdir Annisa terlanjur berbalut luka…

Annisa meminta Khudori membawanya pergi. Annisa rela dianggap anak durhaka asal dirinya bisa keluar dari kemelut keluarganya. Tapi Khudori bukan lelaki gegabah. Khudori mencoba meredam ‘bara’ Annisa. Dalam kegusarannya itu, Khudori memeluk Annisa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang bergelimang resah.

Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki kedunya. Samsudin berteriak “Lonte!‘Zinah! Rajam! Rajam!” yang kemudian membawa Annisa dan Khudori kedalam kemelut fitnah. Annisa tidak bisa berbuat apa-apa karena orang-orang sudah terlanjur terbakar api fitnah. Kejadian itu membuat Kyai Hanan malu dan sakit hingga kemudian meninggal. Khudori diusir dari kelangan keluarga pesantren Al Huda, sementara Annisa pergi ke Jogja untuk melanjutkan niatannya kuliah.

Tampuk Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza, kakak Annisa untuk dikelola. Akibat peristiwa itu, hubungan keluarga Samsudin dan Annisa menjadi buruk. Tapi Reza mencoba memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga Samsudin demi kepentingan pesantren. Hal itu membuat hubungan Reza dan Annisa renggang. Dimata Reza, Annisa adalah seorang perusak stabilitas keluarga. Perilaku Annisa buka cerminan anak kyai yang baik. Sementara itu Annisa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Annisa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang Barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Annisa yang memotret hak perempuan dalam Islam.

–ooOoo–


Selama ini, sebagian masyarakat kita cenderung apatis terhadap hal-hal yang berbau gender dan kebebasan. Ada anggapan umum di benak masyarakat bahwa differensiasi antara lelaki dan perempuan adalah mutlak, taken for granted, tanpa memilah mana yang memang nature (alamiah) dan mana yang merupakan hasil konstruk hegemoni sosial.

Persoalan gender sebenranya bukan persoalan yang baru. A. Khudori Soleh dalam artikelnya “Gender in Philosophy and Sufism Perspective” menyebutkan bahwa dalam kajian filsafat Barat, manusia perempuan secara umum dianggap sebagai makhluk yang lemah dan cacat, sehingga ia harus ditempatkan sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Mulai dari Plato (427-347 SM) yang idealis dan Aristoteles (384-322 SM) yang empirik sampai Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) yang eksistensialis, hampir semuanya menganggap demikian (salah satu alasannya biasanya adalah mentruasi selain anggapan bahwa perempuan kurang nalarnya). Paling-paling hanya John Stuart Mill (1806-1873 M) yang ahli psikologi yang menganggap perempuan mempunyai kemampuan setara dengan laki-laki.

Sementara itu, dalam kajian filsafat Islam, meski ia dibangun di atas dasar pemikiran Plato dan Aristoteles, tetapi sangat berbeda dengan pendahulunya dan juga saudaranya di Barat. Maka, Islam sesungguhnya sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan, bahkan tidak ada perbedaan di antara keduanya di mata Allah, kecuali niliai takwanya.

Dari sedikit paparan di atas, maka saya dapat menyimpulkan bahwa film yang dia ngkatan dari karya Abidah el-Kholidy ini sangat perlu untuk diapresiasi, karena beberapa hal, yakni:
a. Film ini diangkat untuk menyuguhkan nilai reflektif-kontemplatif bahwa seorang perempuan memiliki hak dan harkat yang sama dalam Islam, yakni yang hal-hal berhubungan dengan produk sosial seperti profesi atau karir, hak menyuarakan pendapat dan sebagainya.
b. Melalui film ini, sudah saatnya kaum laki-laki terutama seorang suami untuk berisakap arif bijksana terhadap istrinya, sehingga tidak perlu lagi ada UU KRDT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang selama ini marak diberitakan media.
c. Selain film ini disetting dengan latar yang kuat dan garapan tema yang mendobrak dan cenderung tak terpkirkan (unthinkable)- meminjam istilah Arkoun – referensi film ini lumayan “berbobot”. Banyak kutipan-kutipan yang sarat hikmah, seperti ‘puisi Jalaludin Rumi’, ‘Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer dan lain sebagainya.

Akhirnya, jika selama ini anda merasa “hanya” menjadi seorang perempuan yang “termarginalkan” atau anda seorang laki-laki yang terlalu possesif dan “sedikit buas”, ada baiknya anda belajar banyak dari film ini. Salam…

Note : Bagi anda yang ingin melihat trailer film ini, silahkan nikmati dan hayati dengan seksama …


Trailer Film Perempuan Berkalung Sorban:




9 Comments

  1. menarik sekali ulasannya, eh templatenya mirip punya om ya :D

    ReplyDelete
  2. @ Suhu OOM-Ramadhani ;

    Alhamdulillah...suatu kebahagiaan bagi saya atas kunjungan Suhu OOM ke blog ini. Dalam dunia maya, OOM adalah guru saya yang paling pinter, kanuragannya sangat tinggi.. :D

    Ya, templetnya emang hampir sama, tapi kontennya kalah jauh sama OOM Guru..bagaikan langit dengan sumur...=))

    Sukses selalu untuk OOM Guru...

    ReplyDelete
  3. ulasan yg kumplit plit plit banget
    dua poin yg saya catat dan setuju banget

    1. Ada anggapan umum di benak masyarakat bahwa differensiasi antara lelaki dan perempuan adalah mutlak, taken for granted, tanpa memilah mana yang memang nature (alamiah) dan mana yang merupakan hasil konstruk hegemoni sosial.

    berakibat pada feminisme yg kebablasan dan penjajahan perempuan


    2. Akhirnya, jika selama ini anda merasa “hanya” menjadi seorang perempuan yang “termarginalkan” atau anda seorang laki-laki yang terlalu possesif dan “sedikit buas”, ada baiknya anda belajar banyak dari film ini.

    ReplyDelete
  4. @ Cebong Ipiet ;

    Ya, saya juga sepakat sama kamu, bro...
    Salam akrab..

    ReplyDelete
  5. Film+novel ini menyesatkan
    saya lihat ada unsur agama Nasraninya yang ditonjolkan

    ReplyDelete
  6. Film ini adalah sebuah refleksi dari ketidakfahaman si pembuat film (baik produser, sutradara maupun para pemainnya) atas hakikat dari Salafiyyah sendiri, serta kebodohan mereka atas Al Qur'an dan As Sunnah. Salafiyyah adalah golongan yang merujuk kepada Al Qur'an dan As Sunnah dan betul-betul komitmen untuk menghidupkannya, serperti yang kita lihat pada kerajaan Arab Saudi modern kini. Dalam kenyataannya saat ini warga Nahdiyyin yang sebagian besar mengamalkan amalan-amalan Sufiyah yang bid'ah/heretik berasal dari luar Islam dan nyata2 musyrik sendiri banyak yang membenci mereka dan mencap mereka sebagai kaum Wahabbi karena mereka menisbahkan manhaj ini kepada As Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahab Rahimahullah. Para aktivis pergerakan (hizbiyyun) saat ini baik dari kalangan Ikhwani, Hizbut Tahrir, JT, Sururi dsb memang telah bahu-membahu dalam melawan dakwah Salafiyyah. Dalam film ini Islam digambarkan sebagai agama yang keras dan merendahkan kaum wanita, benar Islam memang keras terhadap kaum yang kufur terhadap ni'mat Allah dan Islam meninggikan kaum wanita, lihat saja pembagian harta dalam ilmu Waris, atau yang paling gampang sajalah kita lihat kondisi perempuan2 barat saat ini sangat bangga dengan kebobrokkan akhlak mereka. Iman dan Sunnah itu memang hanya terasa indah untuk orang2 yang Allah kehendaki.

    ReplyDelete
  7. Film ini lahir dari penghinaan terhadap Allah Tabarraka Wata'ala dan Rasulnya SAW yang berlandaskan kepada kejahiliyahan, kemunafikkan dan kekufuran para bidannya. Maka tunggulah saat-saat dimana Yang Maha Kuasa memegang ubun2 kalian semua. Wahai ahlul batil.

    ReplyDelete
  8. @ Tanpa Identitas ;

    Untuk kasus film Perempuan Berkalung Sorban ini, saya sangat berbeda dengan anda. Pertama, saya melihat bahwa film ini justru ingin meluruskan ajaran Islam yang seelama ini (menurut kacamata sutradara) telah banyak dibelokkan oleh oknum-oknum yang "kurang bertanggungjawab", para pemegang otoritas yang sering menafsirkan agama dengan kepentingannya sendiri. Katakanlah karena ingin mempertahankan status quo-nya.

    Justru karena Islam sangat mengangkat harkat perempuanlah, maka film ini dibuat untuk me-review paradigma mainstream yang selam ini pincang. Itulah kemudian mengapa dalam film ini digambarkan, bahwa posisi perempuan-laki2 adalah setara. Maka ketika terjadi intimidasi dan upaya sub-ordinasi terhadap kaum hawa, itu tidak lain karena adanya konstruksi soaial yang kerap memarginalkan kaum perempuan, yang justru bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri.

    Kedua, mengenai gelombang pro-kontra terhadap film ini, saya pikir adalah hal yang wajar dan lumrah belaka. apalagi jika kita melihat bahwa selama ini, kita cenderung hipokrit dan mengklaim kelompok lain kafir, bejat, amoral dan segala atribut-atribut buruk lainnya. Wallahu a'lamu bi ash-shawab..

    Salam...

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post