Membaca judul di atas, pesan saya hanya satu : JANGAN terburu-buru untuk menilai bahwa tulisan ini ngeres, amoral, bejat, brengsek dan segala titel-titel buruk lainnya. Jangan terlalu tergesa untuk kemudian berasumsi, apalagi menjustifikasi bahwa saya sengaja menciptakan stigma negatif atas berbagai realitas yang paradoks di tengah himpitan kesadaran kolektif kita. Tulisan tak berarti ini, sebenarnya tidak lebih hanyalah letupan-letupan imaji yang tiba-tiba jenaka. Meloncat dari ruang kebekuan pikiran yang sesak oleh aporia hidup. Dari cipratan bahasa, lalu masuk pada dunia semantik yang kadang memang membingungkan.
Diksi buaya darat memang marak dan hampir menjadi trend ideologi kaum maskulin belakangan ini. Buaya darat bahkan hampir menjelma dogma dan ajaran yang menakutkan, terlebih bagi mereka yang pernah menjadi korban kebuasan dan kebiadaban sang buaya. Semacam dejavu dan bayang-bayang masa lalu yang kemudian menghantui setiap jengkal perjalanan yang mereka tempuh. Ya, buaya darat adalah metafor yang diciptakan kaum hawa untuk memercikkan kobaran kekecewaan dan pengkhianatan cinta.
Bearawal dari perjalanan wisata ke pulau Bali beberapa minggu yang lalu, sebuah catatan kecil telah membuat saya berfikir bahwa kekuatan hidup adalah bahasa. Bahasa mampu mempengaruhi kesadaran kognitif-interpretatif kesehartian kita. Maka, tidak berlebihan bila kemudian Jean Francois Loytard memahami kekuasaan sebagai ’sebuah permainan bahasa’ (language games). Di dalamnya berkelindan berbagai bentuk permainan bahasa yang saling menghegemoni dan men-counter-hegemoni. Setiap hegemoni bahasa selalu memunculkan perlawanan atas proses tersebut, sehingga struktur bahasa mengalami pergeseran makna mendasar yang semakin lama semakin mengukuhkan bahasa sebagai simbol kekuasaan tadi. Bahasa bukan semat-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk pada realitas monolitik, tetapi ia adalah representasi dari realitas sosial, bahkan realitas itu sendiri.
Kasus ”Buaya Darat” dan ”Lubang Buaya” barangkali dapat dijadikan contoh konkret, dimana sebuah stigma dan citra-citra negatif memang selalu diciptakan untuk membentuk opini umum yang pada gilirannya akan menyeruak ke dalam kesadaran kita, lalu menjadi pola yang saling men-counter dan cenderung tarik-menarik antara buaya darat vis-a-vis lubang buaya.
Maka, adalah kejenakaan yang ”wajar” bila kemudian salah satu teman saya berujar : ”mengapa kaum laki-laki dainggap buaya darat”, lalu yang lain menanggapi, ”karena perempuan adalah lubang buaya”.
Template kang rohman dah ganti,apa in jadi penerusnya ya :)
ReplyDeleteSalam kenal!
Post a Comment