Saat ini, sebagaimana diberitakan VIVAnews, Quick Count menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat yang ingin memantau hasil penghitungan suara secara instan. Quick count adalah metode verifikasi hasil pemilihan umum, yang datanya diperoleh dari sampel di lapangan. Berbeda dengan poling, sampel tidak diperoleh dari para responden yang ditanyai satu per satu, melainkan diperoleh dari hasil rekap resmi di lapangan.
Maka dengan tergesa-gesa saya berangkat ke TPS target, tepatnya di kelurahan Pakal, kec. Paka Surabaya Barat, untuk menjadi relawan pemantau dari Quick Count CIRUS Surveyors Group. Matahari masih belum sepenggalahan naik. Tapi semangat untuk tiba lebih awal di TPS 10 di balai RT 04 RW 04 sepertinya mengalahkan geliat matahari untuk menyinari jagat semesta.
Suasana jalan di Protokol memang agak sepi dibanding biasanya. Cukup lengang. Tidak banyak melintas mobil pribadi yang pada hari-hari biasa cukup menyesakkan nafas. Maka, saya pun leluasa meluncur ke TPS target. "Genjot, brow!!!"kataku pada sopir pribadiku, komandan Arif NAsution.
Menjadi peserta pemantau memang rada-rada asyik. Ya, namanya saja pemantau, kita seolah sedang melihat dengan jeli setiap jengkal peristiwa yang terjadi di tempat pemilihan, lalu mencatatanya untuk kemudian dijadikan bahan laporan. Untuk periode Pemilihan Pilpres 2009 ini kerja para relawan relatif mudah bila dibandingkan dengan tugas lapangan untuk Pemilu Legislatif pada hari Rabu, 9 April 2009 kemarin. Karena selain proses penghitungan hasil suara yang tidak ribet dan terbilang cepat, pada periode Pilpres ini relawan pemantau hanya melakukan Wawancara Exit Poll dan Quick Count saja tanpa proses pengamatan dan pemantauan yang teliti.
CIRUS Surveyors Group (CSG) telah berhasil melaksanakan Quick Count Pemilu Legislatif 2009 pada hari Rabu, 9 April 2009. Quick Count diselenggarakan di 33 provinsi, 77 dapil, dan 2000 TPS sampel yang dipilih secara acak dan proporsional dengan menggunakan metode stratified cluster random sampling. Diperkirakan tingkat kepercayaan quick count ini adalah +/- 95 persen dengan margin of error +/- 1 persen. Metode quick count ini sudah menggambarkan populasi dan karakteristik sampel TPS di seluruh Indonesia. Untuk melihat hasil Quick Count pemilu Legislatif kemarin, anda bisa mendownloadnya di sini.
SMS,Teknologi Idola untuk Proses Quick Count
Untuk proses Quick Count, setiap lembaga mungkin mempunyai trik yang berbeda. Namun, teknologi Short Message Service (SMS) cukup populer digunakan oleh lembaga-lembaga quick count, seperti halnya CIRUS Surveyors Group ini.
Menurut Ifa Fathurahman, staf teknologi informasi dari Cirus, 2000 relawan dari Cirus yang berada di lapangan akan mengirim SMS berisi hasil rekap suara ke SMS server. SMS yang masuk ke server hanya akan dibaca bila SMS tersebut berasal dari nomor yang teregister. "Bila SMS berasal dari nomer yang orang luar, hasilnya tidak akan mempengaruhi penghitungan quick count," ujar Ifa.
Namun, selain pelaporan dari SMS yang masuk, Cirus juga menyediakan sistem pelaporan secara manual, di mana data-data dimasukkan oleh petugas. Oleh software yang dibuat secara khusus, Kemudian, pelaporan manual akan dikombinasikan dengan hasil pelaporan SMS. Hanya saja, Cirus mengutamakan data-data yang dikirimkan lewat SMS. Ketika data SMS sampai di server, ia akan divalidasi secara otomatis, mulai dari nomor, isi, dan kemudian dibandingkan dengan data yang tersimpan di database.
Bila database ternyata telah menyimpan data yang dikirim dari entri manual terlebih dahulu, maka data dari SMS tidak akan digunakan lagi. Begitu pula bila data SMS yang masuk gagal karena dikirim dengan format penulisan yang salah, maka sistem akan menggunakan data dari entri manual. Setelah itu, kombinasi antara data SMS dan data entri manual, akan ditampilkan secara grafis, sehingga bisa ditampilkan, misalnya seperti yang ditampilkan pada portal VIVAnews.
Tak jauh berbeda dengan Cirus, Lembaga Survei Indonesia juga menggunakan teknologi SMS untuk melancarkan penghitungan quick countnya. Menurut peneliti LSI Adam Kamil, 2100 relawan LSI yang tersebar di 33 provinsi mengirimkan hasil di lapangan melalui SMS ke SMS gateway. Kemudian, data SMS tersebut kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan variabel-variabel yang dibutuhkan quick count. Setelah data tersebut divalidasi, data tersebut bisa ditampilkan.
Berbeda dengan Cirus dan LSI, lembaga survei LP3ES tidak menggunakan sistem SMS. Lembaga tersebut mengumpulkan data-data dari lapangan melalui sambungan telepon.
Menurut peneliti LP3ES, Marini, 2000 relawannya menghubungi pusat penghitungan quick count LSI yang diperkuat oleh 50 petugas penerima telepon. "Para relawan baru akan menyerahkan laporan dalam bentuk hard copy, belakangan," ujar Marini.
Menurut Eko Prasetyo Galan T, Manajer Data Cirus Surveyor Group, SMS digunakan karena teknologi itu memberikan hasil suara yang cepat. "SMS dapat mempersingkat jeda waktu yang banyak terbuang bila dilakukan dengan bicara lewat telepon," kata Eko. SMS, menurutnya, bisa memotong jalur penyampaian data dari hulu ke hilir secara efisien. Selain itu, SMS adalah teknologi yang mudah, telah diakses luas oleh banyak orang, serta proses coding yang relatif mudah.
Begitulah kira-kira proses Quick Count yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei. "Apalagi seperti CIRUS SG yang bekerja sama dengan Telkomsel dalam proses Quick Count ini, sehingga para pemantau diharap untuk mengganti no HP-nya untuk sementara", kata Eko Prasetyo Galan T, pemateri Briefing Quick Count Pilpres 2009, 25 Juni lalun di Hotel Delta Permai Waru Sidoarjo.
Membangun Relasi, Menemukan Pengalaman
Di luar itu semua, bagai saya, yang lebih substansial dari proses keikutsertaan dalam Quick Count ini adalah bagaimana membangun relasi dan link-link yang efekstif, sehingga mampu terjalin intensitas komunikasi, yang pada akhirnya juga membuahkan peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.
Bagitupun dengan proses penambahan wawasan atau referensi lapangan, baik berupa nilai-nilai sosio kultural masyarakat setempat maupun internalisasi proses pendewasaan yang mampu menyumbangkan kesadaran baru di tubuh kita, entah apapun kesadaran itu. Ini penting untuk kita pertimbangkan, karena bagaimanapun proses interaksi masyarakat begitu kompleks, dinamis dan kadang menggelikan.
Seperti pengalaman saya di lapangan. Begitu sampai di tempat pencontrengan, saya langsung diintrogasi oleh seorang warga. Dia tiba-tiba memandang sinis dengan tatapan seolah mengitrogasi. Lalu tanpa "sopan-santun" dia menarik ID Card Quick Count CIRUS SG yang saya kalungkan di leher saya, melihatnya dengan jeli. "Sampeyan orangnya SBY ta, Mas? Kalau orangnya SBY, akan saya sikat", sergahnya tiba-tiba. Saya masih tenang dan waspada.
"Bukan, Pak. Saya dari Quick Count CIRUS. Relawan Pemantau, dan kebetulan ditugsakan di TPS 10 ini", jawabku santai. Bagaimana pun saya tetap berusaha tenang, karena saya membawa surat tugas lengkap, sertifikat KPU tentang legalitas CIRUS SG.
"Oh, maaf, Mas....Tak kirain sampeyan orangnya SBY, soalnya kaosnya juga warna ungu", katanya kemudian.
Dalam hati saya hanya tersenyum. Aneh banget bapak ini. "Bapak sudah nyontreng?" saya berusaha untuk karab dengannya. Dia mengangguk dengan tegas.
Maka mengalirlah pertanyan demi pertanyaan dari mulut saya. Wawancara exit poll pun dimulai. Dan dugaan saya benar, ternyata dia adalah pendukung fanatik Mega-Parabowo, meskipun dia mengaku pernah menjadi aktivis partai Golkar di kecamatan. Karena dari gaya retorisnya, dia sangat ideologis dan cenderung berapi-api. Seolah memilih selain pilihanyya adalah haram dan mesti disikat. "Harus merah yang memimpin, Mas. karena merah adalah simbol keberanian dan pro-rakyat", katanya berkobar-kobar.
Ya. Penggalan kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai paradigma yang terbangun di tubuh masyarakat tentang kemimpinan, tentang fanatisme buta dan mungkin masih banyak "tentang-tentang" lainnya. Dan ketika proses penghitungan suara selesai, saya tidak melihat "orang aneh" tadi. Entah apakah karena dia pesimis pilihannya akan kalah atau tidak, saya kurang tahu. Dan pilihannya terbukti benar-benar kalah.....
Ah, kasihan banget sampeyan, Pak....
Maka dengan tergesa-gesa saya berangkat ke TPS target, tepatnya di kelurahan Pakal, kec. Paka Surabaya Barat, untuk menjadi relawan pemantau dari Quick Count CIRUS Surveyors Group. Matahari masih belum sepenggalahan naik. Tapi semangat untuk tiba lebih awal di TPS 10 di balai RT 04 RW 04 sepertinya mengalahkan geliat matahari untuk menyinari jagat semesta.
Suasana jalan di Protokol memang agak sepi dibanding biasanya. Cukup lengang. Tidak banyak melintas mobil pribadi yang pada hari-hari biasa cukup menyesakkan nafas. Maka, saya pun leluasa meluncur ke TPS target. "Genjot, brow!!!"kataku pada sopir pribadiku, komandan Arif NAsution.
Menjadi peserta pemantau memang rada-rada asyik. Ya, namanya saja pemantau, kita seolah sedang melihat dengan jeli setiap jengkal peristiwa yang terjadi di tempat pemilihan, lalu mencatatanya untuk kemudian dijadikan bahan laporan. Untuk periode Pemilihan Pilpres 2009 ini kerja para relawan relatif mudah bila dibandingkan dengan tugas lapangan untuk Pemilu Legislatif pada hari Rabu, 9 April 2009 kemarin. Karena selain proses penghitungan hasil suara yang tidak ribet dan terbilang cepat, pada periode Pilpres ini relawan pemantau hanya melakukan Wawancara Exit Poll dan Quick Count saja tanpa proses pengamatan dan pemantauan yang teliti.
CIRUS Surveyors Group (CSG) telah berhasil melaksanakan Quick Count Pemilu Legislatif 2009 pada hari Rabu, 9 April 2009. Quick Count diselenggarakan di 33 provinsi, 77 dapil, dan 2000 TPS sampel yang dipilih secara acak dan proporsional dengan menggunakan metode stratified cluster random sampling. Diperkirakan tingkat kepercayaan quick count ini adalah +/- 95 persen dengan margin of error +/- 1 persen. Metode quick count ini sudah menggambarkan populasi dan karakteristik sampel TPS di seluruh Indonesia. Untuk melihat hasil Quick Count pemilu Legislatif kemarin, anda bisa mendownloadnya di sini.
SMS,Teknologi Idola untuk Proses Quick Count
Untuk proses Quick Count, setiap lembaga mungkin mempunyai trik yang berbeda. Namun, teknologi Short Message Service (SMS) cukup populer digunakan oleh lembaga-lembaga quick count, seperti halnya CIRUS Surveyors Group ini.
Menurut Ifa Fathurahman, staf teknologi informasi dari Cirus, 2000 relawan dari Cirus yang berada di lapangan akan mengirim SMS berisi hasil rekap suara ke SMS server. SMS yang masuk ke server hanya akan dibaca bila SMS tersebut berasal dari nomor yang teregister. "Bila SMS berasal dari nomer yang orang luar, hasilnya tidak akan mempengaruhi penghitungan quick count," ujar Ifa.
Namun, selain pelaporan dari SMS yang masuk, Cirus juga menyediakan sistem pelaporan secara manual, di mana data-data dimasukkan oleh petugas. Oleh software yang dibuat secara khusus, Kemudian, pelaporan manual akan dikombinasikan dengan hasil pelaporan SMS. Hanya saja, Cirus mengutamakan data-data yang dikirimkan lewat SMS. Ketika data SMS sampai di server, ia akan divalidasi secara otomatis, mulai dari nomor, isi, dan kemudian dibandingkan dengan data yang tersimpan di database.
Bila database ternyata telah menyimpan data yang dikirim dari entri manual terlebih dahulu, maka data dari SMS tidak akan digunakan lagi. Begitu pula bila data SMS yang masuk gagal karena dikirim dengan format penulisan yang salah, maka sistem akan menggunakan data dari entri manual. Setelah itu, kombinasi antara data SMS dan data entri manual, akan ditampilkan secara grafis, sehingga bisa ditampilkan, misalnya seperti yang ditampilkan pada portal VIVAnews.
Tak jauh berbeda dengan Cirus, Lembaga Survei Indonesia juga menggunakan teknologi SMS untuk melancarkan penghitungan quick countnya. Menurut peneliti LSI Adam Kamil, 2100 relawan LSI yang tersebar di 33 provinsi mengirimkan hasil di lapangan melalui SMS ke SMS gateway. Kemudian, data SMS tersebut kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan variabel-variabel yang dibutuhkan quick count. Setelah data tersebut divalidasi, data tersebut bisa ditampilkan.
Berbeda dengan Cirus dan LSI, lembaga survei LP3ES tidak menggunakan sistem SMS. Lembaga tersebut mengumpulkan data-data dari lapangan melalui sambungan telepon.
Menurut peneliti LP3ES, Marini, 2000 relawannya menghubungi pusat penghitungan quick count LSI yang diperkuat oleh 50 petugas penerima telepon. "Para relawan baru akan menyerahkan laporan dalam bentuk hard copy, belakangan," ujar Marini.
Menurut Eko Prasetyo Galan T, Manajer Data Cirus Surveyor Group, SMS digunakan karena teknologi itu memberikan hasil suara yang cepat. "SMS dapat mempersingkat jeda waktu yang banyak terbuang bila dilakukan dengan bicara lewat telepon," kata Eko. SMS, menurutnya, bisa memotong jalur penyampaian data dari hulu ke hilir secara efisien. Selain itu, SMS adalah teknologi yang mudah, telah diakses luas oleh banyak orang, serta proses coding yang relatif mudah.
Begitulah kira-kira proses Quick Count yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei. "Apalagi seperti CIRUS SG yang bekerja sama dengan Telkomsel dalam proses Quick Count ini, sehingga para pemantau diharap untuk mengganti no HP-nya untuk sementara", kata Eko Prasetyo Galan T, pemateri Briefing Quick Count Pilpres 2009, 25 Juni lalun di Hotel Delta Permai Waru Sidoarjo.
Membangun Relasi, Menemukan Pengalaman
Di luar itu semua, bagai saya, yang lebih substansial dari proses keikutsertaan dalam Quick Count ini adalah bagaimana membangun relasi dan link-link yang efekstif, sehingga mampu terjalin intensitas komunikasi, yang pada akhirnya juga membuahkan peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.
Bagitupun dengan proses penambahan wawasan atau referensi lapangan, baik berupa nilai-nilai sosio kultural masyarakat setempat maupun internalisasi proses pendewasaan yang mampu menyumbangkan kesadaran baru di tubuh kita, entah apapun kesadaran itu. Ini penting untuk kita pertimbangkan, karena bagaimanapun proses interaksi masyarakat begitu kompleks, dinamis dan kadang menggelikan.
Seperti pengalaman saya di lapangan. Begitu sampai di tempat pencontrengan, saya langsung diintrogasi oleh seorang warga. Dia tiba-tiba memandang sinis dengan tatapan seolah mengitrogasi. Lalu tanpa "sopan-santun" dia menarik ID Card Quick Count CIRUS SG yang saya kalungkan di leher saya, melihatnya dengan jeli. "Sampeyan orangnya SBY ta, Mas? Kalau orangnya SBY, akan saya sikat", sergahnya tiba-tiba. Saya masih tenang dan waspada.
"Bukan, Pak. Saya dari Quick Count CIRUS. Relawan Pemantau, dan kebetulan ditugsakan di TPS 10 ini", jawabku santai. Bagaimana pun saya tetap berusaha tenang, karena saya membawa surat tugas lengkap, sertifikat KPU tentang legalitas CIRUS SG.
"Oh, maaf, Mas....Tak kirain sampeyan orangnya SBY, soalnya kaosnya juga warna ungu", katanya kemudian.
Dalam hati saya hanya tersenyum. Aneh banget bapak ini. "Bapak sudah nyontreng?" saya berusaha untuk karab dengannya. Dia mengangguk dengan tegas.
Maka mengalirlah pertanyan demi pertanyaan dari mulut saya. Wawancara exit poll pun dimulai. Dan dugaan saya benar, ternyata dia adalah pendukung fanatik Mega-Parabowo, meskipun dia mengaku pernah menjadi aktivis partai Golkar di kecamatan. Karena dari gaya retorisnya, dia sangat ideologis dan cenderung berapi-api. Seolah memilih selain pilihanyya adalah haram dan mesti disikat. "Harus merah yang memimpin, Mas. karena merah adalah simbol keberanian dan pro-rakyat", katanya berkobar-kobar.
Ya. Penggalan kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai paradigma yang terbangun di tubuh masyarakat tentang kemimpinan, tentang fanatisme buta dan mungkin masih banyak "tentang-tentang" lainnya. Dan ketika proses penghitungan suara selesai, saya tidak melihat "orang aneh" tadi. Entah apakah karena dia pesimis pilihannya akan kalah atau tidak, saya kurang tahu. Dan pilihannya terbukti benar-benar kalah.....
Ah, kasihan banget sampeyan, Pak....