Abstrak: Konsep
wujud dan gerak merupakan term kunci yang menjadi bahan pertarungan filosofis
sejak zaman Yunani Kuno hingga postmodern. Dalam pergumulan filsafat Islam, kedua
terma ini menemukan momentumnya di tangan Mulla Sadra dengan konsep Trancendent
Theosophy-nya atau juga dikenal dengan sebuatan Hikmah Muta’a>liyah.
Konsep tersebut, secara ontologis didasarkan atas tiga hal: prinsip wujud,
gradasi wujud, dan gerak substansial, yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Kata kunci:
gradasi wujud, gerak substansi, trancendent theosophy.
Pendahuluan
Salah satu konsep kunci yang paling fundamental dalam
khazanah filsafat Islam adalah konsep wujud[1]. Perseteruan antara kaum peripatetik[2], iluminisme, dan
transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang dan pelik,
yang terus-menerus mewarnai ranah pemikiran
filsafat Islam yang teramat luas dan dalam. Terma wujud mempunyai
pengertian yang sangat beragam, hal ini tentu diilhami oleh latar belakang dan
model pemikiran yang dimiliki oleh para filusuf Islam. Selain menjadi kajian utama dari segala sesuatu, wujud juga menjelaskan
berbagai realitas. Wujud merupakan salah satu tema metafisika yang
banyak melahirkan kontroversi filosofis, karena hakikatnya sangat sulit untuk bisa dipahami.
Salah satu filsuf yang getol membahas persoalan wujud
adalah Mulla Sadra, yang oleh M.M.
Syarif dalam History of Muslim Philosophy-nya
disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama
pertama adalah mazhab Peripatetik dengan eksponen terbesarnya dalam dunia Islam
adalah Ibnu Sina[3], yang lainnya adalah
mazhab Illuminatif (al-Hikmah
al-Isyra<qiyah/al-Kha>lidah) yang dibangun oleh
Suhra>wardi
al-Maqtu>l.
Mulla Sadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari masing-masing mazhab,
seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi wujud dan pola-pola surga
(celestical archetyupes) dari mazhab illuminasi. Bahkan ia mengadopsi
prinsip-prinsip tertentu dari ajaran-ajaran sufi Ibnu Sina. Keselarasan dan
keteraturan substansi dunia yang sebelumnya tidak pernah nampak sebagai prinsip
beberap mazhab hikmat, dan tidak pernah dibangun secara sistemik dalam bahasa
yang logis oleh hikmawan sebelum Mulla Sadra. Oleh karenanya, ia layak disebut sebagai
pendiri hikmah yang orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim
dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah-nya yang berbeda dengan al-Hikmah al-Masya>’iyyah-peripatetik philosophy
serta al-Hikmah
al-Isyra>qiyyah-
illuminasionist theosophy.[4]
Persoalan
pertama yang digeluti oleh Mulla Sadra adalah persoalan metafisika yang didasari
oleh pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Persoalan esensi dan eksistensi
menjadi tema sentral dalam uraian filsafatnya. Filsafat Mulla Sadra dinilai
mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla
Sadra. Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan menjadi: (1) Aliran
paripatetik; (2) Filsafat iluminasionis; (3) Irfan (mistisisme islam); dan (4)
kalam (teologi). Pergelutan Mulla Sadra dengan esensi dan eksistensi Allah
melahirkan sebuah system filsafat yang tertata. Sadra menggunakan istilah al-Hikmah
al-Muta’a>liyyah (filsafat transendental) yang merupakan sinonim
dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan filsafat hikmah.[5]
Filsafat
hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau
intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan
argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan pada tiga hal: prinsipianitas
eksistensi (asha>lah al-wuju>d), gradasi wujud (tasyki>k
al-wuju>d),
dan gerak
substansial (al-harokah al-jauhariyyah)[6]. Tulisan
ini tidak hendak menjelaskan seluruh istilah kunci tersebut yang menjadi
konsentrasi pemikiran Sadra, melainkan
hanya coba menjabarkan dua istilah yang terakhir saja, yakni gradasi wujud dan
gerak substansi.
Biografi Singkat
Mulla Sadra
Mulla Shadra dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Ia
berguru kepada Mir Dama>d dan Mir Abu> Al-Qa>sim Findereski (w. 1640)
di Isfahan. Nama lengkapnya Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawani Syirazi, atau
sering disebut Shadr al-Din al-Syirazi atau Akhun Mulla Shadra. Diakalangan
murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Mtui’allihi>n. Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status
sosialnya tersebut dan sebagai anak tunggal, ia berkesempatan memperoleh
pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahiranya.
Sebagai anak yang cerdas, ia mampu dengan cepat menguasai
berbagai ilmu pelajaran yang diajarkan kepadanya. Dalam usia muda, Mulla Shadra
melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia
Timur Islam pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha>’ al-Di>n al-A>mili> (w. 1031 H/1622 M), kemudian
kepada filsuf Peripatetik Mir Abu> al-Qa>sim Fendereski (w. 1050 H/1641).
Tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad
atau lebih dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1041 h/1631 M), yang merupakan
seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal
dengan “aliran Isfahan”. Guru inilah yang gembira dan berduka mempunyai murid
seperti Mulla Shadra, gembira karena mempunyai murid yang cerdas, berduka
karena beliau menyadari tulisan-tulisan Mulla Shadra mudah dipahami daripada
tulisan Mir Dama>d.
Teman-teman seperguruan Mulla Shadra kalah bersaing
sehingga kurang dikenal, akan tetapi setelah Mulla Shadra meninggalkan Isfahan
menuju Kahak. Mereka mulai dikenal. Kahak adalah sebuah desa dipedalaman dekat
Qum. Di Kahak ia menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan
latihan-latihan rohani untuk mencapai hikmat-Illahi (Rahasia Ilahi) atau
teosofi (theo = Tuhan, Sophia = cinta). Dia menjalani hidup zuhud selama
7 tahun, tapi ada riwayat yang menyebutnya selama 11 tahun. Jalan ini dikritik
oleh ulama zahir dan bahkan ada yang menuduhnya kafir. Padahal, ia orang shalih
yang tidak mengabaikan kewajibannya terhadap agamanya.
Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak,
diantaranya karya filsafat yang paling berpengaruh adalah Al-Masya>’ir (Keprihatinan), Kasr As}na>m al-Ja>hiliyah (Menghancurkan
Arca-arca Paganisme), dan “Empat Pengembaraan” (Al-Asfa>r Al-Arba’ah). Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku... dan dapat
menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”. Lambat laun, ia mulai sadar terikat kewajiban untuk
memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima sebagai hadiah dari
Tuhan. Hasil karya itu adalah hasil karya yang tadi. Jiwa dari penciptaan (al-khalq)
menuju realitas tertinggi (al-haqq), kemudian realitas melalui realitas,
dan dari realitas kembali ke penciptaan, dan akhirnya ke realitas sebagaimana
yang mengejawantah dalam penciptaan.
Atas desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas II
(1588-1629), dari dinasti Safawi. Mulla Shadra diminta menjadi guru di madrasah
Allah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur provinsi Fars di Syiraz. Di sini
pulalah ia banyak mengahsilkan karya. Hal ini di akui oleh Thomas Herbert,
pengembara abad 11 H/17 M yang pernah melawat ke Syiraz selama masa hidup
Shadra. Herbert menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan
filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang menyebabkannya
termasyhur di seluruh Persia. Kesibukan dalam mengajar dan menulis tidak
menghalanginya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan tujuh di antaranya,
dilakukan dengan berjalan kaki. Namun dalam perjalanan pulang hajinya yang ke-7
ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M. Makamnya
sangat termasyhur di kota itu.
Tampkanya,
ketika filosof yang
bernama Muhammad dan bergelar
Sharuddin dan lebih
dikenal dengan nama Mulla
Shadra atau hanya Shadra
ini muncul, filsafat
yang ada, dan
yang umumnya diajarkan,
adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn
Sina dan para
pengikutnya.
Pada abad ke 6 H/ke
12 M, Suhrawardi
telah melakukan kritik
terhadap beberapa ajaran
dasar parepatetisme. Dialah yang
meletakkan dasar-dasar bagi
filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyra>q)
yang kemudian memperoleh sejumlah pengikut. Dalam latar
belakang yang demikian
itulah sistem pemikiran
Mulla Shadra yang khas
tumbuh, yang kelihatannya
benar-benar berbeda dari
situasi intelektual dan spiritual
pada masanya.
Dalam mazhab Isfahan, Mulla Sadra tercatat sebagai tokoh,
filosof yang sangat tersohor, kepopulerannya ditandai
oleh kepiawaiannya dalam
menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam
rentang waktu 900 tahun dengan
pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi
Islam (alam). Bertumpu pada
ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah, ucapaan-ucapan para
penguasa sebelumnya, termasuk
filsafat peripatetik, iluminatif,
kalam Sunni dan
Syi’i serta mazhab Gnosis, Mulla
Sadra membuat sistesis secara menyeluruh yang
selanjutnya dikenal dengna
teosofi transedenden. Mulla Sadra
merasa yakin bahwa ada tiga jalan
terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan
intelektual (‘Aql) dan
visi batin atau
pencerahan (kasyf). Dia
berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’
sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut[7].
Definisi Wujud ("ada")
Dalam bahasa Arab, wuju>d
sering dipakai untuk arti being dan existence, sebab tidak ada
padanannya, berbeda dengan ka>na yang bentuk mas}dar (kata dasar)-nya bisa berarti lain.[8]
Kata wuju>d adalah
bentuk mas}dar dari wajada atau wujida, yang berasal dari
akar w j d (وجد).
Akan tetapi tidak terdapat dalam Al-Qur’an bentuk mas}dar dari akar yang
sama, yang ada yaitu mas}dar wujd
dalam ayat:
Ø£َسْÙƒِÙ†ُÙˆْاهُÙ†َّ Ù…ِÙ†ْ ØَÙŠْØ«ُ سَÙƒَÙ†ْتُÙ…ْ
Ù…ِÙ†ْ ÙˆُجْدِÙƒُÙ…ْ Ùˆَلاَ تُضَآرُّÙˆْÙ‡ُÙ†َّ Ù„ِتُضَÙŠِّÙ‚ُÙˆْا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ†َّ.
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka.”(QS:5:66)
Adapun bentuk fi‘il dari
akar yang sama banyak terdapat dalam Al-Qur’an, misalnya QS. 3:37, 18:86,
27:23, 93:7, 4:43,18:69, dan 7:157.[9]
Menurut
Al-Ghazali, wujud merupakan konsep dasar yang paling umum meliputi semua mauju>d (yang ada).
Mengetahui makna wujud termasuk pengetahuan a priori (awwaliyya>t), seperti
semua awwaliyya>t lain yang berupa makna simpel dan esensinya sudah
diketahui akal secara a priori, tak dapat dan tak perlu didefinisikan. Mencari
esensi sesuatu yang a priori dengan definisi sama dengan mencari argumen atas
fakta bahwa satu lebih sedikit dari pada dua. Dengan demikian, meragukan wujud
sama mustahilnya dengan meragukan eksistensi diri sendiri.
Dalam
analisa terminologi dapat diungkapkan
bahwa wujud berarti keberadaan yang mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi.
Dengan demikian dapat dibedakan menurut dimensi
masing-masing, bahwa wujud sarat dengaan pergumulan tasawuf,
sementara wujud merupakan titik tolak dari filsafat yang sering dibahas
dalam diskursus kalam dan filsafat Islam
sebagai mazhab
Wuju>diyah (existensialism).[10]
Gradasi Wujud (Tasykik
al-Wujud)
Seperti filosof-filosof muslim sebelumnya, Sadra berusaha
menjawab masalah ma>hiyyah (kuiditas/esensi), dan wujud (eksistensi).
Perbandingan antara eksistensi-esensi sadra menyatakan eksistensi bersifat
positif, pasti, tertentu dan nyata. Sedangkan esensi bersifat samar, gelap,
tidak tertentu, negatif, dan tidak nyata. Esensi tidak memiliki dirinya sendiri
dan apapun yang ada pada-Nya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang
eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungannya dengan eksistensi
mutlak, yakni Tuhan. Bagi Sadra, Tuhan adalah wujud mutlak dan apa yang disebut
sebagai akal terpisah oleh para filosof atau ide-ide tetap (a’ya>n al-tha>bitah)
oleh Ibnu ‘Arabi, tidak mempunyai wujud eksternal tetapi hanya merupakan
kandungan dalam fikiran Tuhan, yakni ide-idenya. Selanjutnya jenis-jenis wujud
atau eksistensi ini memperlihatkan karakteristik esensial tertentu dalam
fikiran. Ini persis dengan matahari yang sebagai sumber cahaya, identik dengan
cahaya yang dipancarkan, tetapi cahaya tersebut bisa memunculkan karakteristik
yang berbeda seperti yang tampak dalam prisma.
Dengan demikian pandangan Shadra di atas bahwa eksistensi
sendiri yang menciptakan esensi. Karena itu Tuhan sebagai yang maha sempurna
dan mutlak tidak mempunyai esensi dan sama sekali tidak dapat dinisbatkan pada
pemikiran konseptual.[11]
Jika para filosof peripatetik itu menganggap wujud setiap
benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipial dalam hubungannya
dengan mahiyah, maka bagi Mulla Shadra wujud adalah realitas tunggal yang
muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari Suhrawardi, kita dapat
membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu, ada
cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda artinya.
Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada binatang, ada batu. Semuanya satu
wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan
manifestasi. Gradasi ini bekan pada mahiyah, tetapi pada wujud, bukan pada
kuiditas, tetapi pada eksistensi. Tahap paling tinggi dalam hierarki wujud ini
adalah Tuhan yang Mahatinggi dan tahap yang paling rendah adalah Materi Awal,
yang menjadi bahan segala bahan (ma>ddah al mawa>dd atau hayula
atau hyle).
Gerak Substansi
(al-Harakah al-Jauhariyah)
Menurut para filosof sebelum Sadra, gerak membutuhkan
dasar pendukung berupa sesuatu yang diam sekaligus bergerak, yakni wujud
potensial sekaligus aktual, sebab aktualitas terjadi dalam gerak. Karena itu,
bagi mereka, gerak tidak mengenai substansi tetapi hanya terjadi dalam aksiden,
yakni kuantitas, kualitas, posisi, dan tempat.
Sadra tidak bisa menerima pendapat seperti itu.
Menurutnya, gerak tidak bisa disebabkan oleh sesuatu yang diam, karena ia hanya
mengerti dirinya sebagai sesuatu yang tetap dan kenyataan saat ini. Entitas
semacam ini bisa mempunyai essensi yang tetap tetapi bukan eksistensi tetap
yang hanya ada dalam perubahan dan perpindahan. Karena itu, menurutnya, mesti
ada perubahan atau gerak lain di samping gerak aksiden, gerak yang lebih
fundamental, yakni gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah), di mana
gerak aksiden pada akhirnya bisa dilacak.[12]
Dengan kata lain, Mulla Shadra berpendapat bahwa gerak
tidak hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas, kualitas, posisi
dan tempat. Akan tetapi gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat dalam
dunia eksternal perubahan benda material dari keadaan yang satu ke keadaan yang
lain. Buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, kemudian merah. Ukuran,
rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena keberadaan aksiden
bergantung pada keberadaan substansi[13], maka
perubahan aksiden terkait dengan perubahan substansi juga. Semua benda material
berubah. Dalam hubungan ini Shadra mempertahankan sifat hudu>th (kebaharuan)
dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi
materi keempat (yakni, sebagai satuan ukuran kuantitas gerak).[14]
Dengan menerima gagasan gerakan substansial (harakah
jauhari) maka kita harus menerima bahwa keseluruhan semesta secara serentak dan
seiring-sejalan berjalan menuju kesempurnaan. Dalam pandangan ini, gerakan
menuju kepada kesempurnaan merupakan bagian dari fitrah dan alam natural dan
seseorang yang menerima realitas ini, dengan mudah ia akan menemukan dirinya
seiring sejalan dengan fitrah asli alam ini. Adapun orang yang belum mencapai
pemahaman dan makrifat terhadap realitas ini maka ia akan memandang bahwa
seluruh alam natural merupakan sekumpulan benda yang tidak berjiwa, tidak
bergerak, tidak memiliki arah dan tujuan tertentu. Dan boleh jadi terkait
dengan lintasan gerakannya dalam menuju kepada kesempurnaan mengikut pandangan
kelirunya diabaikan dan dilupakan begitu saja.
Demikian juga, sesuai dengan pandangan ini, alam natural
detik demi detik senatiasa mengalami dekonstruksi (khal'e) dan
konstruksi (lubs). Wujudnya detik demi detik akan sirna dan kembali akan
maujud dan emanasi wujud dari sisi Allah Swt detik demi detik akan muncul.
Orang yang menerima pandangan ini akan menyaksikan kehadiran Sang Pemberi Wujud
pada segala sesuatu dan tidak memandangnya sebagai sebab asumtif yang sekali
saja menciptakan alam semesta kemudian membiarkan alam semesta begitu saja.
Melainkan memandang-Nya sebagai Tuhan yang kepelakuan-Nya detik demi detik dan
secara berketerusan hadir dan tampak nyata pada jantung setiap makhluk-Nya dan
pada gerakan esensial tabiat.
Penutup
Dari paparan singkat dia atas dapat disimpulakn beberapa
hal. Pertama, semesta ini, menurut Sadra, bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, ia tidak
menyimpulkan sebagai wahdatul wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai
solusinya, yakni bahwa eksistensi ini mempunyai gradasi yang kontinu.
Kedua, berbeda dengan para filosof sebelumnya yang menganggap
spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangan Sadra, justru terjadi
perubahan terus-menerus, sehingga sebuah batu dimungkinkan menjadi tanaman,
tanaman menjadi hewan dan seterusnya, yang sekarang dikenal dengan teori
evolusionisme.
BIBLIOGRAFI
Anwar,
Saeful, 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi.
Bandung: Pustaka Setia, I.
Bagus, Lorens, 2002. Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, cet-3
Bagus Takwin, 2003. Filsafat Timur. Yogyakarta:
Jalasutra.
Bagir, Haidar, 2005. Buku
Saku Filsafat Islam. Bandung:Mizan.
Drajat, Amroeni, 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LkiS, cet-1.
Gie,The
Liang. 2004. Pengantar
Filsasat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty.
Hammud, Kamil, 1990. Dira>sa>t fi> Ta>ri>kh al-Falsafah
al-‘Arabiyyah, Beirut: Da>r al-Fikr.
Khalif, Fathullah. 1982. Al-Madkhal ila >al-Falsafah, Mesir: Da>r
al-Ja>miat al-Mishriyyah.
M.M. Sharif, 1966. A Hsitory of Mulsim Philosophy.
Wiesbaden : Otto Harrassowitz.
Noer, Kautsar Azhari, 1995. Ibn al-‘Arabi>: Wah}dat al-Wuju>d dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, I.
Rahman, Fazlur, 2000. Filsafat Shadra, terj.
Munir Muin. Bandung: Pustaka Setia.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana
Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, I.
Tafsir, Ahmad. 1993. Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan
James, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. I
[1] Pengetahuan tentang wujud
bahkan diintrodusir oleh Al-Farabi sebagai distingsi dari filsafat. Dalam
bukunya Al-Jam’u baina Ra’yai al-Haki>main ia mengatakan: “idz al-falsafah
hadduha> wa ma>hiyatuha> innaha>
al-ilmu bi al-mauju>dati bima> h}iya mauju>dah”. Lihat Ka>mil
Hammu>d, Dira>sa>t fi> Ta>ri>kh al-Falsafah al-‘Arabiyyah,
(beirut: Dar al-Fikr, 1990), cet-1, 15.
[2]
Istilah paripatetik muncul sebagai sebutan bagi pengikut Aristoteles.
Selengkapnya, baca Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta:
LkiS, 2005), cet-1, 75
[3] Ibnu Sina menganggap
pengetahuan tentang wujud sebagai al-falsafah al-u>la >atau al-ilmu
al-ila>hi>, yakni Realitas Absolut. Selengkapnya, baca Fathullah
Khalif, Al-Madkhal ila >al-Falsafah, (Mesir: Dar al-Jamiat
al-Mishriyyah, 1982), 209- 272
[4] M.M. Sharif, 1966. A Hsitory
of Mulsim Philosophy, Wiesbaden : Otto Harrassowitz hlm.940
[5] Bagus Takwin. 2003. Filsafat
Timur. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.hlm 132-133.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum.
Akal & hati Sejak Thales Dan James,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993),
cet. I, 192
[8] Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. (Bandung:
Pustaka Setia, 2007) 123.
[9] Kautsar
Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi>: Wah}dat al-Wuju>d dalam Perdebatan,
(Jakarta: Paramadina, I/1995), 42.
[11] A. Khudhori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), 163-164
[12] Fazlur Rahman, Filsafat
Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), 127
[13] Hubungan substansi dengan
aksiden, serta bagaimana pandangan para filsuf tentang kedua istilah tersebut,
bisa dibaca di Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), cet-3, 1051-1055
[14] Haidar Bagir, Buku Saku... 174-179
Wah, lama tak saling menyapa. Apa Kabar?
ReplyDeleteAlhamdulillah baik, mas. Lama juga sy tidak bersua dengan teman2 blogger. Agak lama vakum. Hehehe.
ReplyDeletePost a Comment