Akasahku : Risalah Sunyi Seorang Hany

Tulisan ini sebenarnya adalah tulisan sahabat saya, Hany Akasah, yang kemudian saya publiskan di blog ini. (Untuk Hany, mohon maaf atas kelancangannya karena memposting tanpa idzin). Bagi saya, tulisan ini bukan cuma pelajaran berharga, tetapi sudah menjadi rubaiyat hidup bagi mereka yang benar-benar ingin mencari dirinya sendiri. Ingin berontak pada waktu yang terus melaju. Tanpa memberikan sedetik waktu pun untuk masuk pada diri sendiri. Ada proses reidentifikasi, relokasi dan reorientasi yang menjadi awal dari sebuah perenungan di tengah persimpangan yang membingungkan. Toh, bukankah kita hanyalah memindah-mindah titik, tapi tidak pernah benar-benar memilih nasib, bukan? Selamat membaca...

Sang putri

Dibalik bayang-bayang rumah, dibawah cahaya matahari yang menimpa di atas rerumputan hijau, aku bermain lincah dengan ayahku. Cahaya terpancar dari mata hitamnya, dia bernyanyi dan mengajarkanku serta berbincang tentang manusia bijak.

Sudah cukup lama aku belajar tentang manusia bijak. Berpedarlah rasa bahagia di kening ayahku melihat kecerdasanku yang haus akan pengetahuan, aku mencintai segala perbuatan dan perkataan ayahku. Dia bagai dewa brahmana yang memberi petuah kebijakan, aku ingin berpengetahuan luas, berpikiran berapi-api, inspirasi yang agung, aku yakin jik aku jadi dewa aku ta’akan menjadi Brahmin yang biasa, aku tak ingin menjadi ritual yang malas, seorang yang rakus akan pesona, seorang pembicara yang menyampaikan hal yang kosong dan sia-sia, seorang intelektual yang hina dan tidak jujur dan aku yakin didalam kumpulanku aku tak akan menjadi kambing dungu dan menyesatkan.

Malam kabut, hujan turun lebat. Pikiranku mulai gelisah. Aku tak bahagia dengan hidupku yang selalu dipuji dan disayang ayahku. Mimpi-mimpi datang mengaliri tubuhku, gemerlapnya bintang malam yang luluh disinari matahari, keresahan menambang diantara dupa persembahan sang ayah dan hembusannya.

Aku merasakan cinta sang ayah dan sang ibu tidak akan membawa kebahagian yang abadi. Tidak akan membawakan kesenangan dan kepuasan dan tidak mampu memenuhi keinginanku menjadi seorang dewi brahmana yang luar biasa.

Aku meninggalkan rumah dengan tangisan sang ibu, aku tak ingin diam tertidur bersama nikmatnya sentuhan sang ayah dan ibu. Aku melangkah perlahan-lahan dengan kaki yang kaku menuju tempat persembunyian diri bergabung dengan para Gabriela. Menyatukan jiwa dengan nyanyian tuhannya.

Bersama para Gabriela

Aku memiliki satu tujuan ketika umurku 11 tahun, aku harus menjadi seorang. Entah seorang apa aku tak tau. Di pondok kaum Gabriela hatiku kosong, penuh kekosongan hati, kekosongan jiwa dan kekosongan hasrat. Mendengaar nyanyian arab yang sering dikumandangkan para Gabriela terkadang hidupku tenang terkadang pula muncul pertanyaan dalam diriku apa arti nyanyian arab yang dibaca para Gabriela itu.

Mengertikah kaum Gabriela dengan nyanyian yang mereka panjatkan kepada tuhannya, atau mereka hanya melakukan sesuatu yang sia-sia. Akupun mengikuti para Gabriela untuk melakukan sesembahan pada sesembahannya. Tiap senin dan kamis aku mengikuti ritual menahan lapar guna mendapatkan pahala dari yang agung. Tiap pagi aku membasuh seluruh tubuhku dengan air yang mengalir, memakai kain putih dan mendengarkan petuah sang pendeta. Sang pendeta bercerita kesana-kesini tentang alkitab-alkitab yang bahasa kerennya kitab kuning. Aku terlelap bertahun-tahun, hidupku berubah yang awalnya ego dengan kemanjaanku menjadi aku yang dalam keterasingan. Mungkinkan inti sari kehidupan adalah menjadi seorang Gabriela yang asing dengan dosa dan bertumpuk pahala menuju janji sang agung dalam surganya.

SUT

Di kota Pisang Agung, setiap anak pasti mengenal SUT, sebuah sekolah favorit, elit, dan lumayan sulit. Favorit karena bertahun-tahun cewek-cowoknya masuk jadi ajang kecantikan dan ketampanan, elit karena yang sekolah disana hanya kaum yang berduit, sulit karena masuk dengan ujian yang cukup rumit, begitu yang aku rasakan. Setiap orang tua pastilah menginginkan putra-putrinya menjadi golongan dari SUT.

Ketika matahari terbit aku bergegas menutup kitab kuningku melangkah menelusuri lorong-lorang jalan perkampungan, sawah nan hijau yang para buruh taninya selalu menyapaku. Mereka menyaksikan dengan kagum betapa pandai, aku bisa menjadi golongan SUT dan kumpulan kaum Gabriela. Jarang sekali para kaum di SUT bisa membagi ritualnya, yang mereka hafal hanya kamus piytagoras, Einstein, sokrates, Plato, Saussure dll. Sedangkan aku di pondok Gabriela aku hafalkan al-kitab kuning yang sebagian orang anggap hal yang tak empiris.

Disepanjang jalan menuju SUT, sesama golongan menyapa. Di bawah pohon beringin yang konon katanya ada penghuninya, disana-sini duduk dengan canda dan terlihat pembicraan yang romantis dua insan memadu kasih. Ingin aku juga merasa romantisme itu, tapi sayang dogma pendetaku untuk menjaga ilmu tak boleh aku langgar.

Lonceng berbunyi, SUT menuntut para golonganya masuk dalam ruang yang akan dibimbing oleh sang guru. Aku tak begitu mengerti apa yang disampaikan sang guru. Karena tiap pagi kerjaanku ngantuk dan pastinya aku terlelap diatas meja. Pagi-pagi aku harus bangun jam 3 mengikuti ritual pondok Gabriela, jadi tak bisa disalahkan kalo aku ngantuk saat guru di SUT mengoceh dogma-dogma. Aku memang bukan tipe orang rajin membaca dan rajin mengerjakan tugas dari sang guru, aku bukan manusia yang bisa dipaksa akan inginku, bagiku lebih baik aku dibenci daripada aku hidup dalam hegemoni yang menyiksa batinku. Tak ada pelajaran yang aku suka selain pelajaranya pak pytagoras dan katolik diin. Bukan karena aku pandai tapi karena sang guru keren dan kalo ujian aku tinggal nyontoh rumusnya aja setelah itu aku berpikir sandiri. Beda banget dengan pelajaran sosial yang kalo ujian nyontoh kalimatnya panjang berbaris-baris membuat pikiranku tambah rumit aja.

Lonceng siang selesai aku berlari menuju ruang aktivitas kerohanian, sejenis organisasi sekolahlah. Aku bangga di sekian banyak golongan aku menjadi seorang pemimpin disana. Di pondok Gabriela, aku adalah Garbiela yang dipercaya untuk menjaga Gabriela yang lain. Setiap ujian berakhir aku selau mendapat kitab baru untuk semester depan itu hadiah bagiku yang selalu meraih pertama di antara Gabriela yang lain. Aku pernah sedikit memberikan pengertian pada Gabriela yang lain “Kitab itu ndak perlu dihafal tapi dipahami”, tapi dogma dan system para Gabriela-gabriela tetap aja menghapal arti setiap kata dalam kitab. Sedangkan waktu ujian yang ditanyakan makna bukan kata. Tapi syukurlah karena bodohnya mereka aku jadi g pernah beli kitab baru. Uang dari ayah aku buat jajan dengan teman-temanku di SUT, bolos ke Jember sekedar beli baju dan jalan-jalan kepasir putih atau mendaki gunung semeru tapi sebelumnya aku harus minta izin ke pendeta dengan alasan pulang terlambat karena ada acara sekolah.

Metropolis

Ketika aku meninggalkan SUT dan Pondok Gabriela aku bingung, kemana langkahku selanjudnya. Aku merasa jiwaku masih tertinggal di kampong Gabriel. Aku berlari kencang menuju kota ramai, bebas dan panas. Aku menjadi pelajar di universitas negeri di metropolis ini. Aku belum menemukan pemberhentian, tapi aku terperangkap oleh pemikiran dari pemikiran inilah timbul sesuatu yang merekah, sesuatu pemikiran baru, yaitu bahwa aku tidak mengetahui apapun tentang diriku dan hidup.

Aku mebuka mata dan menatap sekelingku. Aku melihat ada senyuman datang menghampiriku. Ada sebuah sensasi yang sangat besar akan kesadaran sebuah mimpi panjang menguasai jari-jari kakiku. Aku memandang dunia seolah aku memandangnya pertama kali. Dunia begitu indah, penuh warna, aneh dan membingungkan. Ada yang biru, ada yang kuning, ada yang merah langit sedang berkarya begitu pula dengan manusia-manusianya. Aku begitu takjub, aku bukan lagi seorang Gabriel, bukan lagi seorang golongan SUT atau bukan sang putri yang manja dengan ayahnya. Belajar? Menyanyikan lagu tuhan? Itu sudah lewat. Hal itu sudah tidak berada dihadapanku lagi.

Malam larut, tapi lampu metropolis masih warna-warni dengan karya yang mengesankan. Teman-temanku mengajak melewati lorong lantai enam, berdetak kencang jantungku menemukan ruang dengan gemerlap lampu kuning, merah , hijau, biru. Segelas bintang awal perkenalanku setelah itu aku meneguk sedikit pil yang membuat kepalaku berputar-putar. Luar biasa dalam batinku, aku belum pernah menikmati keindahan dunia. Dulu aku pernah mencela kaum yang onani di ruang gemerlapan ini. Tapi aku sekarang rasakan gemerlap ini yang aku cari. Hari-hariku ditemani samporna milk, seminggu 3-4 kali aku berireksi di ruang yang peruh warna-warni. Cahaya dan bayang –bayang malam menjadi bagian yang tak terpisahkan. Pesona pusaran dunia muncul, ada pelajaran berharga” bagiku dunia indah ketika seorang melihat apa adanya, bukan mencari sesuatu yang hanya rekayasa”.

Diantara orang-orang intelektual

Aku pergi mengunjungi kontrakan teman kakak kelasku, Mursyad namanya. Dia mengajak aku ikut pelatihan. Dia memang lumayan cukup dekat denganku, setiap kali aku ada masalah di kampus dan teman-teman dia orang pertama yang aku ajak curhat. Dia melihatku seperti seorang yang kecewa, saat aku bertanya alasan mengapa dia sedih melihatku. Hani seorang yang lepas control jawabnya.

Aku tak sadar aku masuk di organisasi yang Ayahku mengharuskan aku berada disana. Aku merasa sang ayah dan sang Gabriela ada dalam tubuhku lagi. Rutinan pembacaan kitab malam jum’at aku ikuti tapi aku juga harus menetukan pilihan keluar dengan teman-teman untuk menikmati cahaya malam atau menyanyikan pujian pada tuhan. Akhirnya jadwal manggungku berkurang satu hari. Banyak anggota, terutama yang seumuran denganku tidak setuju dengan adanya aku di organisasi itu. Alasanya karena awal kuliah yang aku berjilbab tiba-tiba aku membukanya dan tiap hari tidak pernah sadar. Aku tersambar petir ketika aku harus duduk bersama mereka, keputusan sepihak yang dilihat mereka aku tak bermoral. Aku mencari ruang yang bisa membuat aku bergerak bebas, seperti aku bergerak bebas di sudut cahaya gemerlap. Walau sendiri bagiku indah, nikmatnya hingga merusuk dalam dada dan nafasku.

Aku tak tahu mengapa aku sangat mengagungkan para sahabatku di kaum intektual itu. Mungkinkan mereka sudah mengajarkanku tolak ukur akan moral dan kebenaran. Atau mereka yang mengajarkanku untuk professional dalam setiap keputusan yang aku ambil. Bagaikan cadar, bagaikan sebuah tirai tipis, kepenatan menyelubungi diriku, perlahan kepenatan itu menjadi tebal dan berat. Layaknya sebuah pakaian yang mulai memudar jika tidak di beri pewarna dan tidak dirawat pengetahuan apapun akan mudah hilang. Perlu rangsangan yang membuat terus baru dan muda.

Aku tinggal dalam kehidupan duniawi, hidup dalam kesenangan. Namun demikian, dalam hatiku aku merasa tetap sebagai seorang Gabriela. Sahabat-sahabat di kaum intelektual sebagian masih banyak yang merangkulku. Aku masih besyukur pada diriku karena aku mempunyai teman yang cukup mencintai aku.

Yudha

Aku selalu belajar dari setiap langkah yang aku tempuh. Ketika melakukan perjalan ke kampus yang masih terlihat hutan belantara. Gersang dan panas itulah kampusku. Lima juta aku harus memenuhi syarat menjadi pelajar di kampus ini, cukup mahal bagiku karena aku belum bisa mencari uang sebanyak itu, tapi kalau menghabiskan untuk menikmati cahaya malam bagitu asyik dan nikmat. Seorang lelaki senyum kecil padaku. Aku tak mengenalnya, tiba-tiba ia menghampiriku. Mengenalkan dirinya padaku, Yudha. Itulah namanya. Aku seorang Gabriela yang belum pernah merasakan sentuhan tangan sang lelaki hatiku bergetar dan malamnya aku terngiang-ngiang. Aku mencium rasanya aroma bunga, ternyata mbak kosku menyemprot wewangian di kamarku. Lebih duapuluh kali dia sms aku tiap hari sampai dia berganti kartu sama dengan aku agar kita lebih mudah berkomunikasi.

Sang putri terlalu bodoh, dogma sang pendeta masih membuat sempit otak-otak para Gabriela. Aku menghianati ayahku. Aku mencari kebebasan yang tak tentu arah. Sangat tipis beda antara kebingungan dan kebebasan. Satu tahun di metropolis aku harus meninggalkan ayahku dengan berhijab tanpa sang ayah. Ketika beliau tahu mata hitamnya yang berbinar melihatku pastinya meneteskan air mata. Sang ayah dan sang ibu pasti menjerit kecewa. Aku telah menghianatinya. Aku bukan miliknya lagi.

Lelaki itu menembus jantungku paling dalam. Dia membiarkan diriku ditelan rindu, asmara, kebahagiaan dan penghianatan. Tersenyum, dia menemani hari-hariku dia memperlakukan aku bak seorang putri yang menggantikan ayahku di kejahuan. Dia tak pernah menuntut padaku, dia hanya inginkan aku bisa selalu menemaninya. Selama satu tahun aku bersamanya aku belum pernah disentuh olehnya. Aku pernah bertanya dengannya, tidakkah dia menginginakan lebih dariku. “Aku tulus mencintaimu” jawabnya padaku. Aku terharu mungkinkan ada lelaki yang tidak meminta apa-apa pada kekasihnya?

Saat menjelang malam tahun baru, aku terlelap dipeluknya, aku terbangun disampingnya. Disana dia menjagaku, aku dielus kening dan ditata rambutku. Ada romantika penasaran dalam jiwaku yang belum pernah aku rasa. Aku melihat wajahnya dan bibirnya begitu manis. Aku dan dia saling memandang. Jalinan yang lama terikat belum pernah tersentuh romansa kehangatan. Aku mencobanya, aku belum pernah berciuman dia membimbingku dengan sedikit ciuman manis. Aku memanas, darahku naik serasa keubun-ubun. Rangkulanya menghentakkan setiap denyutan jantungku. Dia sedikit merayuku dan sedikit mencoba mebuka kain dalam tubuhku. Aku ingin menolah tapi hasyat penasaranku tak terelakkan. Aku belum pernah merasa apa yang dirasa tema-temanku. Sebenarnya aku malu tapi hasrat dan nafsuku begitu besar. Dia sedikit membungkukkan tubuhnya ke arah tubuku menjilat putting kecoklatan buah dadaku dengan bibirnya. Saat menatap keatas dia tersenyum padaku. Matanya seakan memohon dengan kerinduan. Dengan lembut dia membelai pipiku.

Kesadaran

Aku tersesat dalam metropolis. Aku menyesal pernah menghianati sang ayah. Aku melumuri tubuhku dengan sebuah penghianatan. Aku belum tiba pada jawaban. Sang Ayah, Gabriela, pendeta, teman, sahabat-sahabat dan Yudha mengantarkankan aku dalam kebenaran kehidupan. Mereka sudah berubah, aku tidak tau, berjalannya waktu yuda berubah. Aku merasa tak ada yang memahamiku. Aku bingung persimpangan mana yang harus aku lalui, debu dan pasir masih belum hilang ditanganku. Aku masih mengejar mimpiku yang hancur ditengah gurun. Metropolis dan universitasnya belum bisa membuatku bangga dan besar dengan seluruh darah ilmunya. Aku tak tahu berakhir dimana dan bagaimana...?

Catatan ini aku persembahkan untuk sahabat baruku, berbagi pengalaman hidup sebuah sedikit ungkapan hati, penyesalan dan kebahagian. Semoga bisa memberi pencerahan buatku menelusuri keterasingan yang aku lalui.


Surabaya, 1 Mei’09 (19.00-21.00)

Post a Comment

Previous Post Next Post