Entah dengan alasan apa Tuhan menciptakan makhluk dengan rasa ketertarikan pada lawan jenisnya. Entah dengan cara apa kemudian Tuhan menentukan garis damarkasi antara cinta yang sebenarnya dengan cinta-cintaan, dan mungkin dengan cinta-cinta yang lain...
Inilah barangkali anomali sebuah rasa. Ia begitu absurd dan tak terdefenisikan, karena ia memang ada pada wilayah intersubjektif. Tapi toh rasa tetap memberikan maknanya yang sempurna, satu getaran yang aneh yang tiba-tiba membentur dinding-dinding kesadaran sang perasa. Ya, "rasa" sepertinya bisa menjelma badai bandang yang siap meluluhtantakkan dimensi keimanan seseorang.
Itulah setidaknya yang pernah dialami sang Dosen Muda di salah satu PTN di Surabaya, tepat ketika ia mampu menguraikan satu titik terang tentang dinamika akademis-biologisnnya. Ia bahkan hampir tidak mampu membedakan apakah ia sedang mentransfer pengetahuannya atau sedang terjangkit "demam bokong". Ia sering menggerutu dengan kondisi mahasiswinya yang cental-centil. Entah benar-benar menggerutu atau hanya pura-pura menggerutu, saya kurang tahu. "Tiap kali mengisi kuliah, saya mesti disuguhi panorama yang menggetarkan...", akunya kala itu.
Maka jika dosen muda ini mengeluh karena ulah mahasiswinya yang terlalu mengumbar dada dan pahanya yang mulus, dosen tua mengeluh jika mahasiswi barunya tidak ada yang cantik. "Bagaimana dengan kelas anda, Pak, banyak yang cantik nggak?" ujar sang dosen muda menirukan dialek sang dosen tua. "Biasa, Pak, tua-tua kalau tidak melihat daun muda kan tambah layu, gak semangat...", tambahnya. Dan beruntunglah seorang wanita yang memiliki tubuh indah, meski sebanding dengan konsekuensi logis yang mengiringinya. Jangan takut jika anda bolos kuliah, karena hanya dengan kerlingan senyummu, sang dosen akan luluh dan berlutut di hadapanmu. Begitulah mungkin logika yang dimainkan sang dosen.
Fenomena porno-seksi memang bukan produk baru. Malah mungkin sangat niscaya manakala ditarik pada ranah dialektika hitam-putih. Terlebih dalam kontek nalar dosen-mahasiswa dengan berjuta argumentasi yang kadang menjemukan. Tapi inilah dunia yang sesungguhnya, kata mereka. Biarlah dunia memantulkan gelap dan terangnya sesuai dengan kodrat yang ditentukan. Untuk apa kode etik mahasiswa jika tidak untuk dilanggar, untuk apa tercipta para da'i jika bukan sebagai pembimbing spitual. Toh kecantikan tubuh juga bagian dari anugerah, meski kadang juga musibah. Janganlah sekali-kali kita meringkus kompleksitas hidup dalam satu wadah. Dengan ini, lahirlah Epicureanisme-Hedonisme dalam ranah epistemologi dan Sastra Madzhab Selangkangan (SMS), Gerakan Syahwat Merdeka, Komunitas Dadaisme dalam dunia sastra, tanpa memasung kreativitas, membelenggu kebebasan berpikir, serta menciutkan imajinasi.
Maka polemik RUU Anti Pornografi-Pornoaksi adalah sesuatu yang manusiawi. Tidak usah terlalu dirisaukan, kata mereka yang menolak. Perempuan itu indah, maka biarkan keindahan itu kita nikmati. Dan kebebasan adalah hak setiap individu. Tapi keindahan yang berlebihan akan membinasakan, sanggah golongan yang mendukung. Dan hak kita hanyalah sebatas merentangkan kedua tangan. Sebuah dialektika hidup yang maha absurd. Seumpama sungai, gamericik air kehidupan yang memantulkan warna-warni nasib manusia dan takdir dunia, biarlah berjalan ke muaranya...
14/09/2009
Post a Comment