Karena dengan Buku Aku Bebas!

”Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!”

Adagium di atas saya dengar pertama kali ketika sedang nonton film Sang Pemimpi, sepenggal kalimat yang pernah dilontarkan oleh salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, yang digemakan kembali oleh Zakiah Nurmala dalam film Sang Pemimpi garapan Riri Riza dan Mira Lesmana.


Benar, bahwa tak ada seorangpun yang membantah kedahsyatan falsafah iqro' dalam kehidupan sehari-hari yang sangat menentukan perjalanan kesuksesan seseorang. Membaca adalah wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., jauh sebelum perintah-perintah yang lain. Ini mengindikasikan bahwa membaca adalah gerbang awal untuk berproses dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa membaca, seseorang layaknya pejalan yang tak tahu arah peta.

Maka kehadiran buku menjadi sesuatu paling krusial dalam diskursus kehidupan. Ia bisa melambungkan pikiran-pikiran liar seseorang melintasi antero dunia, tanpa mengenal batas-batas teritorial dan waktu. Buku adalah jembatan yang menghubungkan sejarah masa purba hingga zaman postmodern. Buku telah menjentikkan riak-riak imaji menjadi setajam belati, tanpa tepi.

Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia kebiasaan ini belum tampak.

Berbicara buku, saya jadi teringat perkataan Jostein Guarder dan Klaus Hagerup,
Aku tahu, setiap kali aku membuka sebuah buku, aku akan bisa menguak sepetak langit. Dan jika aku membaca setiap kalimat baru, aku akan sedikit lebih banyak tahu dibanding sebelumnya. Dan segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku menjadi lebih besar dan luas..

Nah, sedikit paparan di atas sengaja saya tulis sebagai prolog untuk membalas tag book dari sahabat Rizky Cah tulungangung. Buku-buku di bawah ini alhamdulilah sebagian sudah saya khatamkan, kecuali kitab Tahafut al-Falsifah karya al-Ghazali, karena banyak memakai istilah filsafat. Jangankan pakai bahasa Arab, term-term filsafat yang berbahsa Indonesia saja saya banyak kwalahan dan seringkali membuat dahi berkerut saat membacanya.

Untuk sobat sekalian, dipersilahkan menikmati sajian buku-bukunya.

1. Tahafut al-Falasifah
Judul: Tahafut al-Falasifah
Penulis: Al-Ghazali
Penerbit: Dar al-Ma'arif
Cetakan: VI, Juli 1972
Bahasa: Arab
Tebal: 271 halaman

Bagi sobat yang suka menu filsafat, apalagi filsafat Islam, kurang sah sepertinya jika belum membaca kitab karya Hujjatul Islam Al-Ghazali ini. Secara analitis, kitab ini mencoba mengkritisi pemikiran para filsuf islam pra al-Ghazali yang dianggap "melenceng" dari jalur pemikiran keislaman. Al-Ghazali berusaha menyerang dan meruntuhkan buah pemikiran Al-Kindi, Ibnu Sina dan Al-Farabi tentang sepuluh item pemikiran, dimana tiga diantaranya dapat menyebabkan kekufuran, yakni tentang keqadiman alam, Tuhan tidak mengetahui yang juz'iyyat (partikular) dan bahwa yang dibangkitkan kembali kelak hari kiamat bukan dalam bentuk jasad, melainkan hanya ruh manusia saja.

Buku ini kelak dikritisi oleh Ibnu Rusyd, generasi pasca Al-Ghazali dengan buku tandingannya Tahafut Al-Tahafut, yang sangat monumental dan menjadi polemik dalam diskursus filsafat Islam. Di dunia Barat, Ibnu Rusyd memiliki banyak pengikut sampai saat ini yang dikenal dengan Averoisme, terutama di Eropa, yang kelak menjadi cikal bakal pertumbuhan renaissance dan aufklarung yang memicu abad modern dan psotmodernisme.

2. Epistemologi Kiri
Judul: Epistemologi Kiri
Penulis: Listiyon Santoso, dkk.
Penerbit: Ar-Ruuzz Media, Jogjakarta
Cetakan: V, Desember 2007
Bahasa: Indonesia
Tebal: 360 halaman

Satu term yang sampai saat ini saya catat ketika membaca buku bunga rampai yang dieditori oleh Cak Listiyono Santoso ini, yakni tentang hegemoni bahasa. Bahasa adalah satu kegiatan sosial, yang terikat, dikonstruksi, direkonstruksi dalam kondisi khusus dan setting sosial tertentu. Keterlibatan bahasa dalam politik kekuasaan merupakan suatu bentuk rekayasa (sosial) untuk kepentingan hegemoni ide-ide yang dilakukan sebagai bentuk dominasi.

Maka tidak berlebihan bila Jean Francis Loytard memahami kekuasan sebagai permainan bahasa (language games). Di dalamnya (baca: ruang kekuasaan), berkelindan berbagai bentuk permainan bahasa yang saling menghegemoni dan men-counter hegemoni. Setiap hegemoni bahasa selalu memunculkan perlawanan atas proses tersebut, sehingga struktur bahasa mengalami pergeseran makna mendasar yang semakin lama semakin mengukuhkan bahasa sebagai simbol kekuasaan baru. Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara sewenang-wenang menunjuk pada realitas monolitik, tetapi ia adalah representasi dari realitas sosial, bahkan reaitas itu sendiri.

Logika bahasa sebagimana disebutkan di atas sejatinya bisa kita paralelkan dan kontektualisasikan dengan kondisi sosial politik saat ini, di mana para penguasa selalu menciptakan bahasa sebagai pertarungan ide-ide untuk mengelabui rakyat kecil.

3. Hermenetika Filosofis Hans Goerge Gadamer
Judul: Hermenetika Filosofis Hans George Gadamer
Penulis: Inyiak Ridwan Muzir
Penerbit: Ar-Ruzz Media, Jogjakarta
Cetaan: I, Maret 2008
Bahasa: Indonesia
Tebal: 280 halaman

Bagi para pemerhati bahasa, wacana tentang hermeneutika tampaknya selalu menarik untuk diamati dan dianalisis lebih dalam. Hermeneutika sebagai seperangkat teori dalam memperbincangkan bahasa selalu memunculkan perdebatan panjang, sengit dan berarut-larut, padahal yang dipermasalahkan hanyalah satu kata saja. Namun, perdebatan itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari kehidupan berfilsafat, karena yang dicari adalah kebenaran hakiki, yang tentu harus melibatkan banyak proses aksi-reaksi, tesis-antitesis, konstruksi-rekonstruksi-dekonstruksi, dan bergerak melampaui ruang dan waktu. Dan kebenaran yang hakiki itulah yang akan menjadi ulasan buku ini.

4. Berdamai dengan Kematian
Judul: Berdamai dengan Kematian
Penulis: Komaruddin Hidayat
Penerbit: Hikmah, Jakarta
Cetakan: September 2009
Bahasa: Indonesia
Tebal: 236 halaman

Seperti buku yang sebelumnya, “Psikologi Kematian”, Komaruddin Hidayat mengajak pembaca untuk menjadikan kematian sebagai pendorong munculnya optimisme. Nah, ajakan tersebut kembali diperkuat melalui buku terbarunya, “Berdamai dengan Kematian”. Bila ketakutan diganti dengan optimisme, maka kematian akan mampu kita tempatkan seperti teman dalam kehidupan. Untuk itu, kita perlu berdamai dengan kematian dan ajal pun bisa kita songsong dengan senyuman, seraya kita bisa mengucap “assalamu ‘alaikum ya Izrail. Silahkan engkau ambil nyawaku” ketika malaikat pencabut nyawa menyapa kita.

5. Psikologi Ibadah
Judul: Psikologi Ibadah Menyibak Arti Menjadi Hamba Allah di Bumi
Penulis: Komaruddin Hidayat
Penerbit: Serambi, Jakarta
Ceatakan: I, Juli 2008
Bahasa: Indonesia
Tebal: 153

Dalam tradisi kaum sufi dikenal postulat: Man 'araf nafsahu 'araf rabbahu-- Siapa yang mengenal dirinya maka ia (akan mudah) menganal Tuhannya. Jadi, mengenal diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan. Agama hadir, tutur buku ini, untuk mendampingi manusia agar meraka tidak salah dalam mengembangkan fitrah (bakat bawaan)-nya itu. Rangkaian ibadah merupakan kurikulum suci yang sengaja dirancang Tuhan Yang Mahakasih untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani kita.

Nah, buku ini hadir untuk mengulas secara renyah dan mendalam, tiga tahapan seorang mukmin dalam mendekatkan kepada Allah: ta'alluq (berusaha mengingat dan mengaitkan kesadaran hati dan pikiran kepada Allah); takhalluq, secara sadar meneladani sifat-sifat-Nya; dan tahaqquq, tumbuh menjadi transmitter (pemancar) sifat-sifat-Nya yang mulia.

6. Re-Code Your Change DNA
Judul:RE-CODE YOUR CHANGE DNA
Penulis: Renald Kasali
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: 2007
Bahasa: Indonesia
Tebal: 270 halaman

Satu kata yang terpenting adalah, Change!
Dua kata terindah di hati manusia, Terima Kasih.
Tiga kata yang menghimpit di hati, Negeriku Sulit Berubah.
Empat kata yang membunuh, Negeriku Tidak Bisa Berubah.
Lima kata yang memanggil, Negeriku Butuh Aku untuk Berubah.
Banyak kata yang perlu diwaspadai,...Mereka yang Berubah-ubah Terus dan yang Tak Mau Berubah Sama Sekali.

Sobat ingin berubah? Jangan banyak tanya, baca saja di Berubah, Atau Mati!

7. Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Judul: Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis: Rijal Mumazziq Zionis dkk.
Penerbit: Muara Progresif, Surabaya
Tahun: I, 2009
Bahasa: Indonesia
Tebal: xii + 224 halaman

"Jika umurmu tak sepanjang kehidupan, maka sambunglah dengan tulisan", begitu yang pernah diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, penulis Tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Maka, kehadiran buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis adalah bukti tak terbantahkan bahwa kreativitas santri tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan karena saya juga seorang santri, maka membacanya seperti menemukan energi positif yang melecut saya untuk terus menulis, entah bagaimana pun bentuknya, yang penting saya akan menulis!

Untuk merangsang dan terus-menerus memupuk potensi kepenulisan kita, ada baiknya kita membacanya di Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis.

8. Holocaust Fakta Atau Fiksi?
Judul: Holocaust: Fakta Atau Fiksi?
Penulis: Stephane Downing
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Cetakan: 2007
Bahasa: Indonesia
Alih Bahasa: Dwi Ekasari Aryani
Tebal: 172 halaman

"Sekarang, mereka (bangsa Eropa) telah menciptakan sebuah dongeng dengan nama Holocaust dan menganggapnya melebihi Tuhan, agama dan ramala.." begitu kutipan pidato Ahmdinejad, Presiden Iran, di hadapan ribuan rakyat di kota Zahedan.

Buku ini berusaha mengungkapkan fakta tentang konspirasi Holocaust, yaitu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan genocide (pemusnahan secara terencana) kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan Afrika Utara pada Perang Dunia II oleh Adolf Hitler dan Nazi. Orang-orang Yahudi diyakini telah menjadi korban terbanyak dari peristiwa Holocaust ini.

Paham diskriminasi ras telah membawa Hitler menempatkan ras-ras lain berada di bawah ras Arya. Kelompok-kelompok bangsa yang dianggap ras bawah seperti Yahudi, Polandia, Rusia, Belarusia-Serbia, Afrika dan Asia dicap sebagai golongan untermensch (manusia rendahan) dan menjadi target utama aksi “pembersihan” Nazi.

Nah, jika sobat gemar membaca sejarah, tidak ada salahnya bila meluangkan waktu untuk membaca buku ini.

9. Digital Fortress
Judul: Digital Fortress - Benteng Digital
Penulis: Dan Brown
Penerbit: Serambi
Cetakan: Juli 2006
Bahasa: Indonesia
Tebal: 600 halaman

Salah satu diktum menarik yang saya dapatkan dari novel ini, dan sampai sekarang saya masih hafal luar kepala, adalah pertanyaan Ensei Tankado "Quis qustodit ipsos qustodet" yang artinya kira-kira "siapa yang mengawasi sang pengawas?". Pertanyaan kritis ini sangat klop bila kita kaitkan dengan realitas sosial pemerintahan di negara Inonesia ini. Jika pemerintah adalah pengawas, maka siapa yang akan mengawasi sang pengawas? Ensei Tankado, kriptografer Jepang mantan anggota NSA itu, yang tidak senang dengan cara-cara NSA memata-matai privasi masyarakat akhirnya ditemukan terbunuh di Sevila, Spanyol secara misterius.

Untuk mendownload, lihat di Download Digital Fortress

10. Miskin kok Mau Sekolah? Sekolah dari Hongkong!!
Judul buku: Miskin kok Mau Sekolah…?!Sekolah dari Hongkong!!!
Penulis: Wiwid Prasetyo
Penerbit: Diva Press (Anggota IKAPI)
Cetakan: I, Oktober 2009

“Betapa nikmatnya ya bisa sekolah seperti anak-anak itu, di balik pagar tinggi itu ya… Betapa enaknya ya bisa bermain seperti mereka berlarian ke sana-kemari, naik turun tangga, ketawa-ketawa penuh girang? Kalau lapar, tinggal jajan di kantin sekolah atau buka bekal dari rumah..?”

Nun, ia tetaplah bocah mungil nan lugu yang miskin, kere lutung, yang hanya kuasa meraba erat pintu pagar yang tinggi, angkuh, dan dingin itu. Badan dan pakaiannya tetaplah kumal, lecek, sangat dekil, sebab emak dan bapaknya tak pernah mampu parfum wangi dan pakaian necis mentereng, tidak seperti mama dan papa anak-anak itu.

Begitulah narasi besar yang hendak dipotret novel ini, dengan amat mengenaskan, mengangkat lebih detail dan menggigit parodi ketidakadilan dunia pendidikan dan sosial kita, dalam rangkaian kisah Orang Miskin Dilarang Sekolah! Ah, saya jadi ingat tentang Anak-anak Koran dan Pengamen Jalanan.

Note: Untuk sahabat RIzky, jangan nagih lagi ya. Udah lunas lho balasan tag-nya. Dan bagi sobat yang merasa nge-tag ke blog sejenak-kemudian, tapi belum saya psoting, silahkan konfirmasikan di kotak komentar. Insya Allah masih banyak buku-buku saya yang masih belum dipajang. Jangan khawatir lah... 05 Maret 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post