DI PUNCAK BROMO: MENGOKOHKAN SOLIDITAS DAN INTELEKTUAITAS




Ada banyak pesona keindahan yang terhampar di puncak Bromo. Alam yang sebagian besar masih perawan, menambah keelokan semesta raya, terlalu indah untuk dilupakan. Lautan kabut di sepanjang mata memandang, telah menghadirkan gerimis yang merinaikan sejuta kegalauan. Pucuk pinusan yang berjejer nun jauh di lereng bukit sana, seolah memendarkan nyala hati yang demikian biru.

Di sini, spektrum imajinasi kita akan terpompa untuk menorehkan penggal-penggal riwayat yang sempat terpatri dalam hati. Tempat paling kondusif untuk menghabiskan long wikend bersama sahabat-sahabat. Setidaknya, itulah yang mengilhami sahabat-sahabat Angkatan 2006 PMII Komisariat Tarbiyah Cabang Surabaya Selatan untuk mengadakan Pelatihan Term of Reference (ToR) dengan tema “Memupuk Intelektualitas, Merajut Soliditas, Demi Terwujudnya Kader Berkualitas, Profesional, dan Militan” yang dikemas dengan rihlah ilmiah di Camping Ground, Area Bumi Perkemahan Wisata Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Probolinggo 16-18 Mei beberapa minggu yang lalu. Sahabat Bahauddin, Pemimpin Redaksi Kejora dan Koordinator Devisi Perss Angkatan 2006, menuturkan pengalamannya selama tiga hari menghabiskan long weekend di sana.



Nyanyian Perjalanan; Sepenggal Episode yang melelahkan

Malam makil menggigil. Dingin yang menusuk-nusuk tulang sum-sum membuat liang-liang tubuh makin beku. Di luar sana, titik-titik kabut mulai merembes di helai dedaunan dan tangkai pepohonan. Truk TNI Angkatan Darat yang kami tumpangi masih meraung keras. Sudah lebih dari 6 jam berangkat dari Surabaya, tetapi masih belum ada tanda-tanda untuk berhenti sampai di tujuan. Sudah berapa kali sang pemandu jalan bertanya, tapi tetap saja tidak tahu sudah sampai di mana. Dasar Pemandu sial! (sorry, just kidding!). Begitu barangkali gerutu hati kecilku. Tapi, dasar orang yang belum pernah bertandang ke Bromo, kami diam saja menikmati dingin yang kian kencang. Melewati tikungan demi tikungan yang menanjak dengan dikelilingi jurang yang curam. Menatap pijar-pijar lampu jauh di bawah sana. Pendar yang menyejukkan. Apapun alasannya, kebersamaan memang terlalu indah untuk dilupakan.

Disepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kami tertawa dan bergurau. Mendendangkan nyanyian perjalanan, menghapus sketsa kegalauan. Ada sahabat Iwan yang lucu dan anti dingin. Ia hanya memakai kaos oblong ketika sahabat-sahabat yang lain memakai jaket, bahkan rangkap tiga sekalian. Ngennye’ banget! Begitu komentar salah seorang di antara kami. Ada sahabat Ghani sang ketua angkatan yang postur tubuhnya mirip dengan angkatan “beneran”, bahkan mengalahkan style body Pak Tri, yang juga sering dijadikan bahan ledekan. Sahabat Zen Cox yang mirip Ameng Extravaganza, menambah suasana semakin humoris-dramatis.

Dari saking terlena dengan gurauan dan orkestra perjalanan yang melelahkan, kami baru tahu bahwa Truk ”Angkatan” telah jauh kesasar sampai ke Penanjakan. Jarak yang sangat jauh dari Bromo. Maka, kami berhenti sejenak, menyalakan api penghangat, menunggu ”Jip Bromo” datang menjemput. Baru sekitar pukul 12.30 wib. kami sampai di Parkir Areal Camping Ground, Wisata Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Dingin berada pada puncak gigilnya. Nafas terasa kelu. Dan setelah selesai mendirikan tenda, kami terlelap dalam beku ...

Refleksi Angkatan; Antara Konflik dan Auto Kritik
Di semburat pagi yang cerah. Sabtu, 17 Mei 2008. Pijar matahari tidak begitu terik ketika sahabat Nailul Faroq, pemandu acara memulai evaluasi angkatan dengan semangat yang menggebu-gebu. Di tengah hamparan rumput yang luas menghijau, ditingkahi derai semilir yang menyisir, membuat acara ini sungguh memberikan nuansa yang benar-benar estetik- reflektif. Segala persoalan yang menyangkut internal angkatan, uneg-uneg yang mengganjal, di lontarkan tanpa ada kata ”sungkan” dan ”tidak nayaman”. Layaknya sebuah ”negara kecil” yang menjungjung tinggi konsep good governent, prinsip tarnsparansi benar-benar diterapkan di sini. ”Seluruh permasalahan yang berkaitan dengan angkatan, atau persoalan yang berhubungan dengan saya secara pribadi, saat ini harap diungkapkan secara gamblang dan tanpa ada komentar (tanpa ada tanggapan atau pembelaan-red)”, begitu tegas ketua Angkatan, sahabat Abd. Ghani Mura’ie sebelum pemandu acara memasrahkan persidangan kepada Pindang (meski tidak boleh ada tanggapan), sahabat Isnaine el-Jihad.

Berbicara angkatan, secara hierarkis dan struktural akan berimplikasi pada pemetaan wilayah dengan format ”peradaban kecil” yang jelas-jelas berbeda pada masing-masing angkatan. Sebab, matrik dari setiap peradaban adalah wordview (pandangan hidup) yang kemudian membentuk kerangka berfikir dan pola sikap. Dan pola pikir, sangat persepsional karena setiap persepsi dan interpretasi selalu dipengaruhi oleh al-thawabi’ al-nafsiyyah (karakteristik individual) dan al-’ushuur al-mutamaayizah (differensiasi historis). Begitu pula yang terjadi di internal angkatan 2006. ”Setiap angkatan itu berbeda-beda. Ada yang yang didesain guyonan (cengengesan-red). Istilahnya sersan, serius tapi santai. Kalau angkatan 2006 itu cenderung keras”, begitu kira-kira simpul sahabat Arif Masyrufi, ketua Komisariat Tarbiyah Surabaya Selatan.

”Harusnya setiap angkatan tidak mengedepankan egoisme-nya masing-masing”, sahabat Fuad, bukan atas nama komisariat, mencoba menawarkan sebuah hipotesis bahwa salah satu sumber konflik antar angkatan adalah karena spirit ego-nya tidak diramu secara sistematis dan orientatif. Karena jika tidak, konflik yang semestinya dapat menjadi batu loncatan dan bahan auto kritik, akan menjadi malapetaka yang dapat menghancurkan eksistensi angkatan secara khusus, dan berimbas pada kondisi internal PMII Surabaya Selatan secara keseluruhan. Maka, konflik yang tidak sehat seperti itu harus segera dienyahkan dari tubuh angkatan, karena lebih cenderung destruktif daripada konstruktif. Begitu Sahabat Amien, mantan Sekjen Komisariat Tarbiyah berkonklusi.

Sejatinya, konflik adalah hal yang niscaya dalam konstelasi kehidupan. Di telisik dari perspektif psikologis, kebutuhan paling mendasar pada diri manusia adalah ”pengakuan”. Dan sebuah pengakuan dapat termanifestasikan melalui konflik dan persaingan. Abraham H. Maslow dan Carl Rogers, tokoh psikologi humanistik membenarkan teori kebutuhan manusia tersebut dalam bukunya The Hierrarkie of Needs. Bahkan, seorang Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History menjelaskan bahwa substansi dari sejarah dan peperangan adalah pengakuan eksistensi. Hanya saja, persaingan kerap tidak mengindahkan prinsip sportifitas. Padahal, sportifitas akan menempatkan kompetisi sebagai ajang untuk saling memberikan pengakuan, bukan malah saling mengingkari. Itulah kemudian mengapa setiap ”peserta” membutuhkan offisial, strategi dan taktik, atau bahkan hidden strategi serta grand goal yang jelas dan terarah.

Terlepas dari elemen konflik di internal dan eksternal angkatan, ada sekitar 18 catatan yang harus dijadikan bahan koreksi untuk menapaki kepengurusan selanjutnya. Catatan yang harus dijadikan cermin untuk berkaca, menjadi bahan refleksi bersama. Dan, dengan penuh kerendah hatian kita bertanya, apa sebenarnya yang kita inginkan dan telah kita lakukan, kemudian menyesali apa yang memang pantas untuk disesali. Tetapi bukan sekedar melankoli dan berapologi dengan berusaha meyakinkan diri bahwa katun yang kita pakai adalah sutera, melainkan dengan mengajak semuanya untuk sama-sama berpikir guna mencari solusi permasalahan mengapa yang kita pakai adalah katun. Dengan demikian, tardisi dialog akan terbentuk di tubuh angkatan, yang pada akhirnya berimplikasi pada pematangan diri, baik segi konseptual, intelektual dan emosional.

Seteguh Puncak Bromo; Mengokohkan Soliditas-Idealitas

Setelah acara makan “lesehan”, seluruh kader angkatan 06 kembali ke aktifitas masing-masing. Ada yang “ndlosor” santai menikmati sapuan semilir dari p uncak pepohonan, ada yang iseng kenalan dengan para turis, cari muka. Ada yang “cangkruk bareng”, menikmati isap demi isap asap rokok yang dihirup dalam-dalam, di tepi jurang yang curam menatap lautan kabut yang berarak bagaikan istana di atas kayangan dalam film Mahabarata. Baru sekitar jam 14.30 kami berangkat menuju medan “peperangan” yang sangat terjal dan menguras keringat: Puncak Bromo. Melihat danau kawah yang menyengat dan melewati perjalanan yang menguras keringat. Dari arena camping, puncak itu kelihatan tegar dan kokoh, berwarna putih keperak-perakan. Menyemburatkan kepulan asap tebal dari sumber kawah yang entah sampai kapan akan berhenti “beroperasi”.

Di sepanjang perjalanan di padang pasir, soliditas itu kian kentara. Soliditas yang terlampau mesra untuk terceraikan. Melewati Pura di kaki gunug Tengger, kami berpose bersama, sebelum naik ke areal kawah. Perjuangan yang benar-benar teramat melelahkan. Sampai di pinggiran kawah, tepat di puncak Bromo, denyutan nafas serasa terhenti. Tenggorokan kering, konstelasi udara terasa sesak. Tetapi, jangankan detak nafas yang terhenti, aliran darah sekalipun tak akan mampu mengalahkan desiran rasa yang terlampau bahagia. Sebahagia para manusia yang telah melewati padang Mahsyar yang tak terkirakan. Sebuah sejarah kelak akan menjadi saksi, bahwa kami juga bisa kokoh, tegar, setegar Puncak Bromo dalam hempasan badai.

Malam Api Unggun, Fragmen Semangat yang Berkobar


Sebuah organisasi, sebagaimana analogi Fahri dalam ”Ayat-Ayat Cinta”, memang ibarat api unggun yang selalu membutuhkan kayu-kayu bakar baru untuk menjadikan sang api terus menyala dan berkobar. Sebuah organisasi, sesungguhnya tidak selalu membutuhkan berjuta-juta ide baru, meskipun yang brilian sekalipun, tanpa adanya komitmen dan intensitas perjuangan untuk merealisasikannya dari setiap komponen di dalamnya. Tidak berlebihan barangkali ketika Thomas Alfa Edison mengatakan, “Satu ide cerdas dan sembilan puluh sembilan kerja keras” untuk menjadikan sebuah organisasi mampu menggapai cita-citanya, meraih mimpi-mimpinya.

Ya, mimpi memang sebuah entitas yang tak dapat kita pisahkan dari denyut perjuangan suatu organisasi. Lantaran mimpilah sebuah organisasi senantiasa tegak bertahan, dulu, sekarang dan yang akan datang. Sebab, mimpi adalah harapan yang berdiri menyongsong di ujung sana. Maka, malam terakhir bagi kami adalah malam sejuta kenangan, tempat muara mimpi-mimpi dan cita-cita terpatri bersama kobaran api unggun, fragmen semangat yang berkobar-kobar dan menyala-nyala. Di malam inilah kertas dengan “catatan merah” yang menjadi hasil refleksi dan evaluasi angkatan dibakar, sebagai bukti bahwa lembar sejarah baru dengan grand layout yang berbeda dengan sebelumnya telah dibuka.

Malam makin berselimut kabut. Tetapi suasannya berbeda dengan malam sebelumnya, lebih ramai dengan banyaknya para wisatawan yang menikmati malam akhir pekan di Areal Camping Ground. Mebangun tenda-tenda kecil dengan kapasitas dua sampai tiga orang. Malam minggu yang menyenangkan. Di sekeliling Api unggun, penampilan delegasi masing-masing rayon menambah kebersamaan itu makin lekat dan erat. Dari rayon al-Ghozali yang menampilkan pantomim “ngeres”, rayon Asy’ari dengan balada musiknya yang estetik, dan rayon-rayon lainnya yang tak kalah menarik, terlebih delegasi komisariat dengan menampilkan adegan “carok” yang membuat jantung berdegup kencang. Dan, ketika Sahabat Aminullah, calon Presiden BEM-FT memberikan petuah dan wejangan, suasana riuh berubah menjadi sakral. Sakralitas yang kelak menciptakan kokohnya komitmen untuk meraih cita yang diimpikan bersama.

Mengacu pada skedul acara, renungan di puncak malam seharusnya diisi oleh sahabat Muhlisin, M.Ag, senior PMII Surabaya Selatan. Tetapi karena beliau berhalangan hadir, maka acara tersebut dilangsungkan dengan “renungan jati diri”, mencari Tuhan dalam hati.

Chek Out : Di Lautan kabut, Rindu itu masih Menggelayut

Minggu, 18 Mei 2008. Inilah bagian terakhir dari rangkaian acara rihlah angkatan. Tenda sudah dirobohkan, seluruh peralatan masak dan peralatan lainnya diangkut ke halaman Lava Villa, menunggu Truk datang membawa kami pulang. Dari halaman Villa, lautan kabut berarak keperakan diterpa sinar matahari, menutupi padang pasir dan Pura di ujung sana. Hanya puncak gunung Tengger dan Bromo yang tetap menjulang. Nun jauh di sebelah selatan sana, puncak Semeru masih sangat perawan. Dengan petikan gitar yang mendayu-dayu, nyanyian perpisahan telantun syahdu. Ada denyar-denyar yang tak dapat diterjemahkan dengan rajutan kata-kata.

Bagi kawan-kawan yang ingin melihat kegiatan kami selama di Bromo, silahkan klik Album Angkatan 2006 di sini.

Post a Comment

Previous Post Next Post