Lebaran Qurban dan Signifikansinya bagi Transformasi Sosial


Setelah beberapa hari saya mudik ke kampong kelahiran, di ujung timur pulau Madura sana untuk ber-idul adlaha bersama keluarga dan sanak famili, ada kerinduan yang mendalam untuk menjenguk para pengunjung diblog ini. Ah, ternyata ada banyak tamu yang mampir. Ada Pak Khudari Saleh dosen tetap UIN Malang dan tamu-tamu yang lain. Senang rasanya bisa bersapa-ria kembali dengan mereka dalam kebersamaan. Ahlan wa sahlan fi hadzihil mudawaanah …


Ya, kebersamaan dan silaturrahim merupakan ajaran mulia yang ditanamkan setiap agama, termasuk Islam. Dan, kebetulan kita yang beragama Islam telah melaksanakan ibadah iedul adlha, dengan simbolisasi “pengorbanan” hewan qurban. Inilah yang menjadi alasan utama saya menulis kembali di artikel ini, pasca mudik kemarin. Terlebih setelah mendapat suntikan motifasi dan semangat dari dosen saya, Pak Nukman, M.Ag yang enerjik dan selalu semangat untuk membimbing anak didiknya.

Iedul Qurban dan Transformasi Sosial.
Dua hari yang lalu, Senin 08 Desember 2008 umat Islam merayakan lebaran qurban (iedul adlha). Bagi setiap agama, hari raya adalah hari istimewa di mana kekudusan Tuhan menjadi sentral pengabdian dan benda-benda di sekelilingnya tiba-tiba menjadi kian nisbi. Hari raya tidak saja mengandung ritus-ritus, tapi juga sarat dengan nilai-nilai. Kesemarakannya tidak saja termanifestasikan dalam bentuk syiar, hiruk-pikuk segala kesibukan, tapi juga dalam diam, dalam bisikan, dan keharuan yang dalam.

Demikian juga Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban, bagi orang beriman, ia menyimpan banyak harapan untuk self cleaning, menjanjikan peleburan jiwa ke dalam proses penemuan jati diri dan harga diri. Kalimat takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan pada prinsipnya bukanlah apa-apa, melainkan ia hanya sebuah ekspresi ketakjuban, refleksi kekaguman spontanitas, totalitas kepasrahan atau peleburan diri ke alam yang kasat mata namun nyata. Ah, saya sering membayangkan di pojok-pojok kampungku selalu hangar dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil…



Kalau boleh saya bahasakan bahwa semangat Idul Qurban itu dinamis, maka seharusnya ia tidak hanya berhenti untuk memperkaya horison pengalaman beragama secara individual, tapi juga berlanjut implementasinya pada wilayah sosial-praksis. Dengan kata lain, ia berimplikasi meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, kedudukan agama bukan semata-mata cultus privatus, tapi juga cultus publicus. Ini yang saya maksudkan dengan “idul qurban sejatinya harus berimplikas pada transformasi sosial dan semangat perubahan”.

Agama jelas merupakan institusi yang menjadi rujukan referensial pemeluknya dalam rangka mencari sumber-sumber legitimasi. Salah satu bentuknya, biasanya berupa identitas formal, yang seringkali ekspresinya bisa dilihat dalam bentuk sistem upacara dan penyembahan. Ekspresi ini mendapat perhatian yang lebih istimewa, karena para pemeluknya punya keinginan yang menggebu-gebu untuk menampilkannya lebih ke permukaan. Sebabnya satu, ia bukan hanya identitas. Tapi secara umum—untuk membedakannya dengan humanisme yang kering dari unsur-unsur transendental dan eskatologis—ia adalah telah menjadi agama itu sendiri. (untuk masalah ini, silahkan baca Psikologi Agama tulisan Jalaluddin Rakhmat)

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa Idul Qurban memiliki signifikansi makna yang bisa dijadikan legitimasi bagi terwujudnya obsesi-obsesi sosial. Kebersamaan, kesetiakawanan, solidaritas, menurunnya kesenjangan antarberbagai kelompok masyarakat, tegaknya semangat otonomi, dan pembebasan dalam diri manusia, adalah hal-hal yang sangat mungkin dicarikan justifikasinya pada semangat Idul Qurban.

Tiga Mainstream dan Simbolisme Makna Qurban

Menurut Maksun, dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang --- dalam Opininya di harian Sinar Harapan, salah satu atau bahkan satu-satunya kekuatan Idul Qurban terletak pada fungsi legitimasi simbolisnya. Maka ketika pengorbanan itu diwujudkan dalam bentuk selain menyembelih hewan, maka yang terjadi adalah discontinuity. Artinya, kita sebagai orang Islam akan kehilangan simbol-simbol yang melegitimasi kerja-kerja pengorbanan ibadah kita, peneladanan sikap-sikap yang dicontohkan oleh nabi-nabi terdahulu yang hanif.

Penyembelihan hewan merupakan upaya mencari jejak historis dan tradisi. Ia merupakan eternalisasi kontinuitas hari ini dan kemarin. Dalam merayakan Idul Qurban, ternyata kita tidak cukup hanya dengan mempertahankan “semangat berkorban”, sebagaimana dicontohkan Ibrahim dan Ismail, tapi juga harus tetap mempertahankan “kerja-kerja” pengorbanan sebagaimana dilakukan Ibrahim dan Ismail itu, yang harus kita teladani sepanjang hidup sampai akhir hayat nanti.

Maka, ketika kita mencoba menelisik lebih jauh tentang dimensi ibadah qurban ini, tampaknya, ia menyimpan tiga hal yang menjadi bagian dari mainstream evolusi kebudayaan, yakni agama, budaya, dan keberlangsungan. Agama mengakomodasi kelahiran dan pelembagaan spiritualitas dan nilai-nilai kebersamaan, pengorbanan, pembebasan, dan solidaritas yang konvergen. Budaya menunjuk pada pelembagaan penyembelihan menjadi semacam tradisi, yang selain kental dengan nuansa lokal, juga cenderung konsentris. Sementara itu, keberlangsungan menunjuk pada kontinuitas dan mengalirnya waktu dalam rentang linear ke depan.

Dari ketiga mainstream tersebut, saya pikir, yang paling penting adalah, bukan konvergensi nilai, tapi konsentrisitas simbol. Artinya, bahwa Idul Qurban–seperti yang berkembang di masyarakat, dan utamanya daerah saya–lebih identik dengan peristiwa budaya daripada peristiwa ritual keagamaan. Dengan kata lain, ia lebih menyerupai momentum sebuah pesta, daripada momentum keinsafan dan keharuan.

Dengan demikian, ada satu kepastian di luar semua itu, yakni bahwa simbol-simbol budaya yang lahir dari basis agama relatif lebih eternal dan mendapatkan apresiasi, dari pada yang lahir melalui mobilisasi kreativitas dan daya cipta manusia semata.

Epilog ; Agama, Lebaran Qurban, dan Sakralitas

Agama ternyata memuat unsur-unsur sakral. Sementara sakralitas, menurut Emile Durkheim, mampu membangkitkan perasaan kagum, dan karena itu, ia memiliki kekuatan memaksa dalam mengatur tingkah laku manusia serta kekuatan untuk mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk. Sakralitas pula yang merangsang atribut-atribut agama untuk tetap survive di tengah arus globalisasi dan arus informasi simbol-simbol budaya. Sungguh pun pada dasarnya bukan benda-benda tersebut yang merupakan tanda dari yang sakral, tapi justru berbagai sikap dan perasaanlah yang memperkuat sakralitas tersebut. Sakralitas ini terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.

Oleh karena itu, biarlah sampai kapan pun Idul Qurban dirayakan dan disemarakkan dengan hiruk-pikuk penyembelihan hewan. Ia bukan saja sekadar ornamen dan dekorasi yang melegitimasi keterkaitan organik umat Islam dengan masa lalunya, melainkan juga sejenis segmen yang berputar dalam mainstream evolusi kebudayaan umat manusia, yakni konvergensi, konsentrisitas, dan kontinuitas.

Demikianlah, Selamat Hari Raya Idul Adha 1429 H.

2 Comments

  1. Sepakat...! Ibadah qurban memang harus memiliki dampak bagi transformasi sosial, dan tidak hanya sebatas ritual belaka... 8-} 8-}

    Kunjungi juga blogku di : http://rohman31.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. lama gak berkunjung, Ha'...

    Saya jadi teringat qurban di rumah kemarin. Ah, semoga ada nilai plus yang dapat kita peroleh setelah berkorban...ada nilai semnagat perubahan yang dapat kita kembangkan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post