Teruntuk seseorang
Ada selentingan asa yang tiba-tiba berkesiur dalam benakku, bahwa kau datang dalam hidupku di saat yang tepat. Saat dimana kegetiran luka mencapai puncak kepedihannya. Meski tak pernah kau lihat buncahan airmata itu dalam rinai mataku, tapi percayalah, aku lebih terluka dari apa yang mungkin sekarang kau tertawakan.
Barangkali aku telah salah menilai sikapmu, salah memahami gerai senyummu. Aku tahu, yang kau cari bukan Lelaki sepertiku. Aku bukan Lelaki yang bisa memikat hatimu, bukan lelaki yang bisa meyakinkanmu bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan. Dan aku hanya berdoa, semoga kelak penyesalan demi penyesalan tidak terjadi lagi dalam kehidupanmu....
Aku bukan juga lelaki yang bisa mematahkan semangat masalalumu, bukan lelaki yang bisa meruntuhkan logika hidupmu, bukan. Aku tak lebih dari sekedar Lelaki yang numpang lewat dalam kehidupanmu, peziarah yang tak pernah singgah. Aku tak tahu, jika saat ini mungkin kau menginginkan aku pergi dari kehidupanmu secara diam-diam. Karena jelas, tidak mungkin kau mengusirku terang-terangan. Karena bagaimanapun kau akan merasa bersalah. Bukankah kau yang memercikkan api terlebih dahulu? Dan ketika api itu kian berkobar, kau juga yang berusaha memadamkannya....
Ah, seharusnya aku tak menginginkan diakui sebagai aku yang dikenal olehmu hanya semata-mata huruf. Hanya semata-mata angka. Ya, hanya huruf-huruf dan angka-angka! Aku harus sadar dari dulu, bahwa aku telah dijadikan sebagai dadu olehmu. Bukankah Perempuan terbiasa menjadikan hidupnya sebagai permainan? Lagi-lagi aku harus mengakui, bahwa akulah taruhan dalam permainanmu kali ini.
Jujur, aku terlanjur jatuh cinta pada matamu. Aku telah benar-benar terbiasa memahami sorot tajam matamu. Ada sendu yang bergelut menggelantungi bayangan kalbumu. Lantas, salahkah aku jika aku telah dengan benar-benar jatuh cinta? Bukan semata-mata dadu yang dilempar ke udara, atau sebuah pertaruhan antara dua sisi mata uang.
Tapi mungkin harus lagi-lagi kuakui, aku benar-benar kalah. Aku harus menjadi pecundang pada permainan kali ini. Selamat! Kau yang memenangkannya! Matamu ternyata tak pernah menyimpan cinta untukku, pun juga hatimu. Maka kubiarkan luka ini terbakar lagi. Menjadikannya abu mungkin lebih baik. Agar tak lagi kukenali sosok cinta, agar tak lagi kucium harum cinta, takkan lagi kutemui keindahannya. Sebab aku telah menjadi abu....
Ada selentingan asa yang tiba-tiba berkesiur dalam benakku, bahwa kau datang dalam hidupku di saat yang tepat. Saat dimana kegetiran luka mencapai puncak kepedihannya. Meski tak pernah kau lihat buncahan airmata itu dalam rinai mataku, tapi percayalah, aku lebih terluka dari apa yang mungkin sekarang kau tertawakan.
Barangkali aku telah salah menilai sikapmu, salah memahami gerai senyummu. Aku tahu, yang kau cari bukan Lelaki sepertiku. Aku bukan Lelaki yang bisa memikat hatimu, bukan lelaki yang bisa meyakinkanmu bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan. Dan aku hanya berdoa, semoga kelak penyesalan demi penyesalan tidak terjadi lagi dalam kehidupanmu....
Aku bukan juga lelaki yang bisa mematahkan semangat masalalumu, bukan lelaki yang bisa meruntuhkan logika hidupmu, bukan. Aku tak lebih dari sekedar Lelaki yang numpang lewat dalam kehidupanmu, peziarah yang tak pernah singgah. Aku tak tahu, jika saat ini mungkin kau menginginkan aku pergi dari kehidupanmu secara diam-diam. Karena jelas, tidak mungkin kau mengusirku terang-terangan. Karena bagaimanapun kau akan merasa bersalah. Bukankah kau yang memercikkan api terlebih dahulu? Dan ketika api itu kian berkobar, kau juga yang berusaha memadamkannya....
Ah, seharusnya aku tak menginginkan diakui sebagai aku yang dikenal olehmu hanya semata-mata huruf. Hanya semata-mata angka. Ya, hanya huruf-huruf dan angka-angka! Aku harus sadar dari dulu, bahwa aku telah dijadikan sebagai dadu olehmu. Bukankah Perempuan terbiasa menjadikan hidupnya sebagai permainan? Lagi-lagi aku harus mengakui, bahwa akulah taruhan dalam permainanmu kali ini.
Jujur, aku terlanjur jatuh cinta pada matamu. Aku telah benar-benar terbiasa memahami sorot tajam matamu. Ada sendu yang bergelut menggelantungi bayangan kalbumu. Lantas, salahkah aku jika aku telah dengan benar-benar jatuh cinta? Bukan semata-mata dadu yang dilempar ke udara, atau sebuah pertaruhan antara dua sisi mata uang.
Tapi mungkin harus lagi-lagi kuakui, aku benar-benar kalah. Aku harus menjadi pecundang pada permainan kali ini. Selamat! Kau yang memenangkannya! Matamu ternyata tak pernah menyimpan cinta untukku, pun juga hatimu. Maka kubiarkan luka ini terbakar lagi. Menjadikannya abu mungkin lebih baik. Agar tak lagi kukenali sosok cinta, agar tak lagi kucium harum cinta, takkan lagi kutemui keindahannya. Sebab aku telah menjadi abu....