Guruku Pahlawan Tukang Sampah

Pahlawan tanpa tanda jasa itu bernama tukang sampah! Barangkali kalimat itulah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi objektif tukang sampah yang telah berjasa merawat lingkungan sekitar kita. Bayangkan, betapa ruwetnya hidup ini jika tak ada satu orang pun yang ikhlas menjadi seperti mereka. Lalat berkerumun di depan rumah, sisa-sisa makanan dan plastik berserakan di mana-mana, bau busuk menyengat hidung membuat perut jadi mual, dan segala bentuk ketidaknyamanan lainnya.

Ya, tak ada yang berani menjadi pahlawan sampah kecuali mereka yang memiliki jiwa yang kuat dan nurani yang bersih. Jiwa mereka terlanjur kuat untuk mengenyahkan bisikan-bisikan setan yang selalu meledek bahwa menjadi tukang sampah adalah hina, profesi rendahan, manusia kotor, sekotor sampah itu. Nurani mereka terlanjur bersih untuk sekedar mengumpat-umpat dan mendiamkan tumpukan kotoran menjelama kebusukan.

Tak pernah terlintas di benak mereka, apalagi membayangkan dirinya menjadi tukang sampah, yang berjalan dari rumah ke rumah, dari gang ke gang, hanya demi memunguti barang buangan (sampah) orang lain. Ketika semua orang membenci dan menghindari bau busuk atau lalat yang kadang membawa laknat, pahlawan sampah ini malah dipaksa mengakrabinya dari hari ke hari, dengan resiko yang berat; terkena penyakit tentulah amat tinggi, selain gangguan pernapasan, penyakit kulit bisa jadi menjadi ancaman yang selalu mengintip mereka.

Parahnya, pahlawan kita ini jarang sekali, bahkan nyaris dikatakan tidak ada yang mengenakan perlengkapan yang seharusnya, seperti masker, kaus tangan, sepatu boot, bahkan jaket panjang. Dan yang tak jarang, pahlawan yang hampir tak pernah dilirik dan dihiraukan orang ini berpenghasilan minim dan perkerjaannya dinilai hina oleh sebagian besar masyarakat! Jangankan untuk berperalatan lengkap denga masker, kaus tangan dan segala tetek bengeknya, berpikir pun barangkali tak pernah! Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah sepotong mimpi, bahwa esok pagi anak dan istri mereka merengek minta sesuap nasi.


# # # # #


Pukul 2.00 dini hari. Jalan Jemur Wonosari mulai senyap. Hanya satu dua motor yang kebetulan melintas. Fajar sepertinya belum merekah. Bau busuk tiba-tiba menyengat dari luar warnet SMART, tempat saya bekerja sebagai operator warnet. Rutinitas yang hampir terjadi tipa malam. Bila bau menusuk mulai tercium, berarti sang Pahlawan talah datang, karena setelah mengangkut "barang-barangnya", ia biasanya akan membiarkan tutup tong sampah terbuka. Dan tanpa disuruh, saya pun langsung berjalan ke depan warnet menuju tong sampah, lalu menutupnya kembali.

Begitulah, hampir tiap malam, di saat kebanyakan orang terlelap dalam tidurnya, Pahlawan kita terus menyusuri lorong demi lorong, dari satu tong sampah ke tong sampah yang lain, dengan gerobak tuanya yang tetap setia menemani. Ia terus berjalan, tanpa menolah ke belakang. Rasanya ia ingin begitu cepat meninggalkan setiap orang yang ditemuinya, tanpa sepatah kata pun. Ia sepertinya memang pahlawan sunyi. Sesunyi ikhlas-baktinya pada masyarakat...

Setiap kali keluar menutup tong sampah, saya hanya bisa melihat punggunya yang begitu tabah. Dalam pandanganku yang nanar, ia masih terlihat santun tanpa kepongahan setitik pun, dan tentu tanpa dasi selayaknya para pejabat di istana negara, yang kadang justru dijuluki sampah negara! Ya, dia tetaplah lelaki tua dengan kesahajaan yang tak pernah ia paksakan. Dalam hati saya seringkali berucap:"Sungguh, kau dalah guru terbaik kehidupanku, wahai pahlawan tanpa tanda jasa...." 11 Januari 2011

Post a Comment

Previous Post Next Post