Bemimpi Atau Mati! Belajar pada Sang Pemimpi

Motivasi Menggapai Mimpi: Catatan untuk Film Sang Pemimpi
“Jangan pernah takut untuk bermimpi!” Begitu orang bijak pernah mengungkapkan. Ya, tak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah mimpi, karena hari tidak selamanya malam. Mimpi yang menakutkan sekalipun pasti akan berakhir ketika kita terjaga dan menyadari bahwa apa yang kita alami hanyalah mimpi belaka. Maka, betapa pun buruknya sebuah mimpi, ia tetaplah mimpi. Ada manusia yang berusaha mengejar mimpinya, lalu mendapatkannya. Ada yang menyerah dan membuangnya dalam sampah sejarah. Ada yang hanya diam dan membiarkannya tergelatak menjadi serpih kenangan dalam sisa hidupnya.

Pertanyannya, sudahkah mimpi-mimpi yang selama ini menggelayuti hidup kita tercapai dengan maksimal? Marilah sejenak kita luangkan waktu untuk menengok kembali file-file yang berjelalan berisi mimpi-mimpi di tahun 2009 kemarin, senyampang masih tercium baru harum hari-hari minggu pertama awal tahun 2010. Karena bagaimanapun, setiap manusia pasti memiliki mimpi, maka untuk menyalakan terus-menerus jiwanya dalam menggapai mimpi, belajar pada Sang Pemimpi adalah salah satu medium efektif yang barangkali bisa dicoba.

Saya memang tidak pernah membaca novel kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata ini. Tapi setelah pertama kali nonton filmnya di Bioskop, sungguh saya merasa menyesal mengapa tidak dari dulu saja membaca bukunya. Ada keharuan yang tiba-tiba menjalar melumuri sekujur tubuhku, memaksaku untuk mewujudkan kembali mimpi-mimpi yang sempat terampas oleh waktu.





Tanpa Mimpi, Orang Seperti Kita Akan Mati
Kata-kata Arai yang mendobrak itulah barangkali inti dari film memoar Andrea kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini. Sebagai lanjutan dari Laskar Pelangi, buku pertamanya (yang juga telah difilmkan), Sang Pemimpi bercerita bagaimana kehidupan SMA Ikal. Dan panggung cerita terfokus pada tiga serangkai tokoh utamanya ini: Arai, Jimbron, dan Ikal alias Andrea Hirata sendiri.

Kisah heroik ini dimaulai dari tiga serangkai yang kontras. Arai adalah saudara Ikal yang sudah sebatang kara. Masih selalu terbayang di pelupuk mata Ikal, bagaimana saat anak itu ditinggal mati ayahnya, satu-satunya keluarga daging darahnya yang tersisa. Jadilah dia Simpai Keramat, seorang terakhir dari sebuah klan keluarga yang tak punya siapa-siapa lagi. Waktu dia dan ayahnya menjemput Arai, anak itu begitu mengenaskan: menunggu di tangga gubugnya dengan karung kecampang di ketiaknya (berisi hartanya yang tersisa), sendirian di tengah belantara ladang tebu tak terurus. Dia seorang yang berandal banyak akal, kadang tak masuk akal, tak tertebak, tetapi hatinya begitu lembut. Dialah guru Ikal dalam banyak hal. Arailah orang yang membuat hidupnya bersemangat dan tak lepas cita-cita. Simpai Keramat itulah yang membuatnya masih terus punya mimpi.

Lain lagi dengan Jimbron yang juga sebatang kara. Ia punya penyakit gagap yang kambuh jika sedang bersemangat. Ia memiliki obsesi yang kompulsif terhadap kuda. Segala jenis kuda, yang bahkan tak pernah dikenal di Belitong. Ia bahkan menabung uang yang dimilikinya pada dua buah celengan kuda. Hitam dan putih. Ia baby face, tetapi begitu baik pada Ikal dan Arai. Dan begitu dekat.

Karena bersekolah di SMA yang sama di Manggar, sama-sama dari keluarga melarat, maka ketiganya menyewa sebuah tempat kos yang sama dan bekerja sebagai kuli ngambat yang sama. Setiap pukul dua pagi, mereka sudah mengangkut ikan berbagai jenis dari dermaga ke pasar ikan. Pukul tujuh, ketiganya setelah mandi seadanya langsung berangkat ke sekolah dengan bau serupa ikan Pari. Tapi meski begitu, ketiganya menggantungkan sebuah cita-cita, tepatnya mimpi, mimpi yang sangat tinggi.

“Jelajahi kemegahan Eropa hingga Afrika yang eksotik! Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montequieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban ...." Begitu kata Arai menyemangati.

Mimpi itulah yang bagai hantu membayang terus dalam kehidupan mereka. Mendorong terus semangat mereka untuk terus berusaha tanpa lelah untuk suatu saat, entah kapan, meraih cita-cita itu.

Maka begitulah setelah SMA usai, mereka sudah berencana merantau ke Jawa. Mau tidak mau, demi mimpi itu. Meski dengan sangu pas-pasan hanya untuk beberapa bulan. Bukan untuk kuliah, tetapi bekerja mengumpulkan uang untuk suatu saat kuliah. Dan saat itulah, Jimbron datang menyerahkan dua celengan kudanya kepada Ikal dan Arai. Sumbangan untuk meraih mimpi itu, karena ia sendiri memilih mengurus kuda di peternakan seorang Capo di Belitong. Diiringi oleh sekalian orang-orang yang mereka cintai, dengan menumpang sebuah kapal barang dan upah mengepel WC dan memasak untuk para ABK, mereka berangkat ke Jakarta. “Jangan pernah pulang sebelum jadi sarjana,” pesan Bu Muslimah, guru tercinta mereka di SD dulu.

Tujuan mereka adalah Ciputat. Tetapi bis yang mereka tumpangi menurunkan keduanya hingga di terminal Bogor. Jadilah mereka kos dan mengais rezeki di belakang kampus IPB. Menjadi door to door salesman, tukang di pabrik tali, tukang foto copy. Suatu hari hidup mereka berubah ketika membaca pengumuman pegawai pos. Mereka melamar dan Ikal diterima sebagai tukang sortir surat. Sementara Arai gagal. Anak itu lalu merantau ke Kalimantan tanpa jejak.

Bertahun kemudian nasib mempertemukan mereka kembali. Ikal sudah lulus dari Fakultas Ekonomi UI dan Arai Jurusan Biologi Universitas Mulawarman. Keduanya sedang mengajukan beasiswa S2 keluar negeri. Keduanya diuji pada tempat yang sama, yang mempertemukan mereka lagi. Dan mereka sama-sama diterima di perguruan tinggi yang sama. Universite de Paris, Sorbonne, Prancis. Cita-cita mereka!

Tuhan Itu Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu
Kata-kata Leo Tostloy ini sangat tepat untuk menggambarkan perjalanan kehidupan mereka. Menonton film Sang Pemimpi, terlebih setelah membaca novelnya, memompa semangat kita bahwa ingin berhasil, maka mimpi adalah wajib disamping jangan pernah mendahului nasib! Maka, hilanglah rasa pesimistis, introvert, inferior, dan segala pikiran negatif. Yakinlah bahwa Tuhan Maha Tahu semua impian dan usaha kita, kalau toh belum berhasil itu pasti memang rencana Tuhan. Dia hanya menunngu untuk melihat seberapa kuat tekad kita...

Bayangkanlah! Jauh di pedalaman pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan sampai ke Afrika! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau bagai Punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja untuk mewujudkan mimpi mereka. Hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup, kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.

Film yang diangkat dari buku memoar ini cocok sekali dibaca oleh mereka yang punya penyakit "orang gagal". Cocok juga dibaca mereka yang merasa begitu banyak penghalang dan kesulitan hidup yang dia miliki. Bagaimana tidak? Arai dan Ikal berhasil mendobrak hegemoni bahwa kesuksesan ternyata bisa diraih dengan kerja keras dan tak lelah berusaha.

Sang Pemimpi --- baik novel maupun film-nya--, lebih dari itu, wajib dibaca dan ditonton para pendidik bagaimana seorang murid diperlakukan, bagaimana memberi mereka dorongan untuk terus memiliki mimpi yang harus dikejar. Juga wajib dibaca oleh orang tua, termasuk seorang ayah, karena kali ini untuk seorang ayahlah buku ini didedikasikan. Tidak lain ayah Ikal sendiri, Seman Said Harun, yang dijulukinya sebagai “Ayah juara satu seluruh dunia.”

Benang merah yang dapat ditarik dari film ini adalah semangat baja tak kenal rintangan dari jiwa Ikal dan Arai, dan konsisten mewujudkan cita-citanya meskipun dirasa tak mungkin, dan yang kedua adalah persahabatan yang indah dan tulus, meskipun salah seorang dari mereka cacat mental seperti Jimbron.

Terima kasih, Sang pemimpi! Sungguh kalian telah memotivasiku menggapai mimpi-mimpiku...

01 Januari 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post