Geliat Santri Menjadi Penulis

Malam itu, langit memang tak berbintang. Hanya sedikit gumpalan awan yang berpendar ditingkahi denyar rembulan yang mengintip diam-diam. Malam tanpa guyuran hujan. Di sebelah kanan podium yang berdiri megah, terdapat sederetan kursi khusus para ustadz yang hadir pada malam itu. Tepat di belakangnya, berdiri tegak bangunan sound yang mendentumkan kasidah Arab dengan suara-suara artisnya yang merdu. Kadang-kadang juga diselingi dengan lagu-lagu sholawat yang menghipnotis kalbu.

Di sisi panggung sebelah kiri, teman-teman KOPI sebagai panitia sibuk menjajakan buku-buku terbitan Muara Progresif, pihak penerbit yang sedang bekerjasama dengan IMABA wilayah Surabaya dalam pelaksanaan acara bedah buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis ini.

Selang beberapa menit kemudian, iringan santri tiba-tiba membentuk lautan manusia yang berjejal di depan panggung. Duduk bersila, bersimpuh, bahkan ada berselonjor seperti para simpatisan partai politik yang siap mendengarkan provokasi politisi yang berapi-api. Wah, ini acara demo, kampanye atau bedah buku sih?, gumamku saat itu.

Sebagai moderator, saya tentu akan sedikit kerepotan menghadapi ribuan santri yang hadir pada acara malam itu. Ini bukan forum mahasiswa, seruku kemudian. Akan sangat sulit menyuguhkan sebaris pemahaman bangi santri yang berjubel, mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai ALiyah. Untungnya, sebagai santri alumni, saya banyak memahami karakter dan kondisi psikologi santri yang unik dan bahkan kadang menggelitik. Jadi tidak akan shock ketika tiba-tiba ada celetuk santri yang bagi kebanyakan orang mungkin dianggap "keterlaluan".

Pihak penerbit memang sengaja mengadakan road show ke berbagai pondok pesantren di Madura, mulai dari PP. Mambaul Ulum Bata-bata Pamekasan, PP. Annuqayah Guluk-guluk, PP. Nasy'atul Muta'allimin Gapura, serta bebarapa pondok pesantren di Sumenep. Tujuannya hanya satu, yakni bagaimana dinamika para santri yang berjuang mati-matian hingga berdarah-darah untuk menjemput mimpi menjadi penulis, mampu diejawantahkan dalam benak kesadaran para santri yang lain, sehingga muncul sebentuk ghiroh kepenulisan dalam tradisi mereka. Begitulah apa yang disampaikan Tirmidzi Munahwan, sang Direktur Muara Progresif yang juga alumni pesantren ini.

Maka ketika MC bedah buku ini memasrahkan perjalanan acara sepenuhnya kepada moderator, saya berusaha menyemangati adik-adik santri agar lebih percaya diri, bahwa santri juga bisa bersaing di era digital yang kompetitif ini. "Kehadiran buku ini, paling tidak, akan menjadi antitesa dari berbagai stigma negatif yang dialamatkan pada kita, bahwa kita juga berhak punya karya. Saya berharap, setelah adik-adik mengikuti acara bedah buku ini, muncul satu kesadaran baru; bahwa santri tidak harus selalu identik dengan kaum sarungan, manusia kolot bin gaptek dan hanya melulu berkutat dengan kaidah-kaidah kitab kuning". Seruku waktu itu.

Falsafah menulis, secara teologis, dapat ditelisik dari berbagai literatur umat Islam, salah satunya adalah kitab Al-Quran. Saiful A'la, salah satu penulis yang hadir dalam acara ini mencoba menguraikan dimensi etis kepenulisan dari perspektif dakwah. Ia mengutip salah satu ayat al-Qur'an, "Nun Wa al-Qalam wa maa yasthuruun.." dan "Wa a'idduu lakum ma istatha'tum...". Menurutnya, ayat ini secara ekplisit menggambarkan adanya perintah menulis, karena menulis adalah dakwah dengan pena (bi al-qalam). Dan aktivitas dakwah, bagi seorang muslim adalah kewajiban.

Pendapat di atas juga didukung oleh kedua Pembanding, yakni Abd. Syukur Latif dan Ihsan Maulana. Dalam konteks demikian, santri yang ingin menjadi penulis, sejatinya harus selalu berpegang teguh pada norma-noram agama, dengan kata lain, harus mengindahlan etika islami dalam tulisan-tulisan mereka, bukan hanya sekedar memperturutkan egoisme nafsu dan semata-mata bertujuan ingin dipuji oleh para pembaca. Singkatnya, santri harus membangun watak islami dalam tulisan mereka dan berusaha untuk men-counter hegemoni karya-karya penulis stensilan yang hanya bisa mengumbar syahwat pembaca, seperti yang dilakukan Mazhab Dada-isme, Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) maupun Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) yang belakangan pernah jadi polemik dalam belantarat susastra Indonesia.

Tesis yang terakhir ini diperkuat oleh Penulis kedua, yakni Muhammad Suhaidi RB, ketika menjawab pertanyaan salah satu audiens tentang watak dan karakter kepenulisan santri. "Tulisan santri jelas harus tulisan yang baik-baik, dengan tujuan dan niat yang baik pula.." tegasnya. Suhaidi memang tidak berbicara tentang "ritual menulis" dari berbagai perspektif sebagaimana yang disampaikan Saiful A'la, misalnya, melainkan hanya bercerita tentang kisahnya yang "heroik" dalam peoses terjal kepenulisannya. Ia mengaku pernah mengirim cerpen ke berbagai media paling sedikit 32 judul cerpen. Tapi satu judul pun tidak ada yang pernah dimuat. Pelan-pelan, ia mulai mencari dan menemukan identitas muara karya-karyanya, yakni dengan melabuhkannya pada opini dan artikel lepas. "Akhirnya saya punya keyakinan bahwa Tuhan tidak mentakdirkan saya menjadi cerpenis, melainkan seorang kolomnis", paparnya sambil tertawa.

Begitulah sekelumit perjalanan acara bedah buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis, yang dilaksanakan oleh Komunitas Pinggiran (KOPI) PP. Mambaul Ulum Bata-bata, Pamekasan, tanggal 21 Januari beberapa hari yang lalu. Dengan harapan bahwa acara tersebut mampu memberikan hikmah yang baik bagi generasi Salaf as-Sholeh dalam menyebarkan agama Islam, utamanya dengan medium tulisan. Dan tentunya, tulisan yang mampu dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Barangkali benar kata Dzun Nun Al-Misry: "wa maa min kaatibin illaa saufa yublaa wa yabqa ad-dahru maa katabat yadaahu. Fa laa taktub bi khatthika ghaira syai'in tasurruka yaum al-qoyamah" bahwa "Setiap penulis akan diberi cobaan sepanjang tulisan itu masih ada. Maka janganlah kamu menulis kecuali jika tulisan kamu itu dapat membuatmu berbahagia kelak di hari Kiamat".

Maka, tradisi bedah buku sejatinya bermuara pada satu diktum agung bahwa kritik sastra/tulisan adalah supaya sang penulis tidak riya ketika karyanya diterbitkan dan mendapat pujian. Akhir kata, dengan antusiasme yang menggebu, bedah buku berjalan lancar dan mengalir "dahsyat".



Para santri antusias membeli buku


Si Pujangga lagi khusyu' tuh. Hihihi..
24 Januari 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post