The Marginal Community


Nakal, tapi masuk akal. Liar, asal tidak melanggar...

Jika kita membuka Microsoft Word untuk menuliskan sesuatu, lalu kita memerlukan setting terhadap ukuran kertas, maka yang pertama dilakukan adalah mengklik Page Setup untuk pengaturan margin alias pinggir. Kata pinggir, seharusnya menjadi biasa dalam perbincangan kita sehari-hari, untuk membedakan dengan yang "tengah". Tetapi dalam konteks sosiologis, kata margin akan dipersepsi dengan konotasi yang berbeda. Pinggir selalu diasosiasikan sebagai bentuk ketertinggalan, ketertindasan, dan bentuk subordinasi yang memilukan.



Secara sederhana, diksi judul di atas menyiratkan adanya hirarki sosial yang sengaja dikonstruk agar kita berteriak dengan lantang, bahwa impian besar Karl Max tentang determinisme historis terbukti gagal total. Apa yang dicita-idealkan penganut Marxisme tentang masyarakat tanpa kelas ternyata hanyalah utopia. Persamaan derajat dalam konteks relasi sosial tidak akan pernah terwujud. Terbukti sampai saat ini, dimana pun dan kapanpun, akan selalu ada jurang yang memisahkan antara si kaya dengan si miskin, yang pada titik paling ekstrem, akan memunculkan apa yang oleh para sosiolog disebut dengan disharmonisasi dan disintegrasi.

Berbicara term komunitas, tiba-tiba mengingatkan saya pada konsep 'ashhabiyyah' yang digagas oleh Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah"-nya. Sebuah komunitas atau perkumpulan, menurutnya, akan berdiri dengan kokoh dan solid manakala di dalamnya terbangun sens of community, atau apa yang oleh Cornelius Lay disebut dengan nasionalisme etnisitas. Pada ranah ini, istilah 'Komunitas Pinggiran' (The Marginal Community), secara psikologis sepertinya tercipta dari kecemburuan sosial yang lahir dari benturan dan gesekan.

Tapi tulisan ini tidak akan memperbincangkan persoalan "komunitas" secara analitis- konseptual, melainkan hanya sebagai hantaran awal untuk mengenal lebih dekat makna The Marginal Community, sebuah kmunitas pinggiran atau yang lazim disebut KOPI yang bergerak dalam dunia literasi. KOPI adalah nama sebuah majalah di PP. Mambaul Ulum Bata-bata, Pamekasan, Madura, tempat saya 'nyantri' dulu. Sebagai alumni, tentu saya merasa berdosa bila tidak apresiatif terhadap pola kerja mereka yang penuh kobaran idealisme dan nyala optimisme. Bayangkan, di tengah keterbatasan fasilitas dan sarana yang memadai, para personel KOPI masih mampu menerbitkan majalahnya dengan kualitas yang tidak mengecewakan dan sesuai deadline yang diplaningkan.

Sebagai komunitas santri yang bergelut di dunia tulis menulis, mereka sering mengadakan event-event perlombaan, seperti lomba menulis cerpen, puisi dan bentuk festival yang berkaitan dengan dunia "kata-kata", seperti acara bedah buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis beberapa minggu yang lalu. Mereka juga sering menerbitkan antologi puisi dan kumpulan cerpen bersama, dan yang sudah terbit di antaranya adalah "Kupu-kupu Plastik", "Musafir Cinta" dan sebagian masih dalam proses naik cetak.

Kebutuhan terhadap menu bacaan yang bermutu memaksa mereka sering mengadakan kajian-kajian kepenulisan dan perangkat analisa lainnya, seperti kajian keagamaan, ansos-reksos (analisis dan rekaya sosial), analisis media dan lain sebagainya. Selain itu, mereka rutin meng-update buku baru yang mereka beli secara berkala, mulai dari buku-buku remaja, novel, cerpen hingga ke bacaan-bacaan "serius" yang membuat dahi berkerut.

Begitulah, sebuah komunitas marginal dari pelosok pulau Madura menunjukkan betapa geliat kepenulisan Santri sedang menemukan muara progresifitasnya yang menggembirakan. Komunitas dengan gagasan-gagasan besar dan ide-ide segar yang kadang melawan dan sekaligus menantang.

Bgaimanakah sebenarnya proses kreatifitas mereka? Sobat bisa mengunjungi blognya di kopi-online.blogspot.com. Selamat menikmati...


20 Februari 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post