"Menghadapi masalah dengan tersenyum walau di atas tangis dan rintihan adalah cara terbaik untuk menuju hidup yang lebih baik. Selanjutnya sabar, berusaha dan yakinlah bahwa semuanya akan berubah".
Rasanya, seperti baru kemarin pagi saya berangkat kuliah ke Surabaya, meninggalkan tanah kelahiran untuk sebuah harapan. Waktu terasa begitu cepat, bagai anak panah yang melompat dan pergi entah kemana. Ingin rasanya saya berteriak menghentikan laju waktu, lalu sejenak bercengkerama dengan letih yang tertatih. Tapi sungguh, teriakan ini begitu kosong dan hanya bergema di ruang hampa kedap suara.
Maka saya hanya mampu berdoa, semoga hari ini lebih baik dari hari-hari kemarin. Meski Einstein pernah berkata bahwa masa lalu dan masa depan adalah ilusi pikiran kita semata, tapi saya percaya, sangat yakin malah, bahwa waktu akan menjadi sahabat terbaik, jawaban paling jujur di saat kita sedang terluka, terlunta di bentangan usia. Hanya harapanlah yang mampu membuat kita tetap setia menjalani hidup di saat-saat masa terus berjalan menuju senja.
Ah, ternyata sudah hampir empat tahun saya hidup di Surabaya. Betapa saya masih ingat masa-masa awal kuliah dulu, sebagai lelaki lugu di belantara metropolitan yang tak tahu arah dan hanya bermodal pasrah. Lelaki yang terkagum-kagum, terheran-heran menyaksikan tiang-tiang pencakar langit dipancangkan. Lampu-lampu bersinar amat terang, hutan-hutan beton terus bertumbuhan.
Hampir tiap pagi, saya selalu memandang jalan yang tak pernah lengang di depan kampus. Betapa hebatnya orang-orang itu, tiap hari bepergian dan disibukkan dengan pekerjaan. Suara-suara motor meraung-raung di terik siang. Suara-suara kenek angkot dan bus kota mengerang mencari penumpang. Di terminal-terminal, para calo berseliweran dan para pencopet selalu sigap mencari jajahan. Anak-anak koran dan pengamen jalanan juga tak ketinggalan.
Dari atas tol saya menyaksikan atap-atap rumah penduduk yang berdesakan, dengan genting-genting rumahnya yang tua. Jemuran silang-sengkarut. Di sampingnya mengalir keruh sungai kecil beirisi sampah dan comberan, dengan sederetan tukang becak yang mengiba di terik siang demi menunggu penumpang. Di perumahan-perumahan elit saya melihat para satpam menjaga rumah tuannya, ditemani anjing dan dikelilingi pagar besi, menjaga diri dari mati dan para pencuri. Ah, betapa hidup makin sarat absurditas dan kompleksitas yang sulit dipahami.
Pada titik inilah saya kerap bertanya: apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini? Pertanyaan yang tak sering kudengungkan dan waktulah yang menjawabnya. Waktulah yang akan manjalani dan membuktikannya.
# # #
Kemarin lusa saya mulai menjalani tugas PPL di MAN Sidorajo, setelah sebelumnya mengikuti Kuliah Kerja Nyata BDMB di Pamekasan. PPL II adalah mata kuliah terakhir sebelum proses penyelesaian skripsi. Padahal serasa baru kemarin pagi saya berangkat ke Surabaya, meninggalkan tanah kelahiran demi sebuah harapan.
Ternyata telah begitu banyak riwayat perjalanan yang tak sempat terkisahkan. Andai saya tulis di atas kertas, barangkali butuh ribuan lembar atau bahkan jutaan. Ada rubaiat luka yang menganga. Ada bait-bait suka yang tercipta. Ada rasa yang tersisa. Ada terik yang menyengat. Ada dingin yang menggigil. Dan, tentunya juga ada cinta.
Ya. ya... Hidup dan sebuah perjalanan, selalu menyisakan riwayat yang layak didengarkan. Sepanjang apapun jalan, ia pasti memiliki tikungan. Seperti nasehat sahabat saya di depan, senyum haruslah selalu menghiasi setiap jengkal perjalanan, meski itu menyakitkan. Percayahlah, segalanya akan berakhir pada saat yang telah ditentukan.
Note: Untuk sahabat semuanya, mohon maaf bila bulan-bulan ini saya jarang bersilaturrahim. dari bulan kemarin saya harus bolak-balik Surabaya-Madura untuk sebuah acara. Dan Insya Allah hampir dua bula ke depan, saya harus konsentrasi dengan PPL dan seabrek kesibukan lainnya. Tapi insya Allah saya akan update blog ini, meski jarang-jarang. Untuk sahabat-sahabat yang ngasih Award dan tag, mohon maaf bila belum saya posting. Salam...
02 Fecruari 2010
Rasanya, seperti baru kemarin pagi saya berangkat kuliah ke Surabaya, meninggalkan tanah kelahiran untuk sebuah harapan. Waktu terasa begitu cepat, bagai anak panah yang melompat dan pergi entah kemana. Ingin rasanya saya berteriak menghentikan laju waktu, lalu sejenak bercengkerama dengan letih yang tertatih. Tapi sungguh, teriakan ini begitu kosong dan hanya bergema di ruang hampa kedap suara.
Maka saya hanya mampu berdoa, semoga hari ini lebih baik dari hari-hari kemarin. Meski Einstein pernah berkata bahwa masa lalu dan masa depan adalah ilusi pikiran kita semata, tapi saya percaya, sangat yakin malah, bahwa waktu akan menjadi sahabat terbaik, jawaban paling jujur di saat kita sedang terluka, terlunta di bentangan usia. Hanya harapanlah yang mampu membuat kita tetap setia menjalani hidup di saat-saat masa terus berjalan menuju senja.
Ah, ternyata sudah hampir empat tahun saya hidup di Surabaya. Betapa saya masih ingat masa-masa awal kuliah dulu, sebagai lelaki lugu di belantara metropolitan yang tak tahu arah dan hanya bermodal pasrah. Lelaki yang terkagum-kagum, terheran-heran menyaksikan tiang-tiang pencakar langit dipancangkan. Lampu-lampu bersinar amat terang, hutan-hutan beton terus bertumbuhan.
Hampir tiap pagi, saya selalu memandang jalan yang tak pernah lengang di depan kampus. Betapa hebatnya orang-orang itu, tiap hari bepergian dan disibukkan dengan pekerjaan. Suara-suara motor meraung-raung di terik siang. Suara-suara kenek angkot dan bus kota mengerang mencari penumpang. Di terminal-terminal, para calo berseliweran dan para pencopet selalu sigap mencari jajahan. Anak-anak koran dan pengamen jalanan juga tak ketinggalan.
Dari atas tol saya menyaksikan atap-atap rumah penduduk yang berdesakan, dengan genting-genting rumahnya yang tua. Jemuran silang-sengkarut. Di sampingnya mengalir keruh sungai kecil beirisi sampah dan comberan, dengan sederetan tukang becak yang mengiba di terik siang demi menunggu penumpang. Di perumahan-perumahan elit saya melihat para satpam menjaga rumah tuannya, ditemani anjing dan dikelilingi pagar besi, menjaga diri dari mati dan para pencuri. Ah, betapa hidup makin sarat absurditas dan kompleksitas yang sulit dipahami.
Pada titik inilah saya kerap bertanya: apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini? Pertanyaan yang tak sering kudengungkan dan waktulah yang menjawabnya. Waktulah yang akan manjalani dan membuktikannya.
Kemarin lusa saya mulai menjalani tugas PPL di MAN Sidorajo, setelah sebelumnya mengikuti Kuliah Kerja Nyata BDMB di Pamekasan. PPL II adalah mata kuliah terakhir sebelum proses penyelesaian skripsi. Padahal serasa baru kemarin pagi saya berangkat ke Surabaya, meninggalkan tanah kelahiran demi sebuah harapan.
Ternyata telah begitu banyak riwayat perjalanan yang tak sempat terkisahkan. Andai saya tulis di atas kertas, barangkali butuh ribuan lembar atau bahkan jutaan. Ada rubaiat luka yang menganga. Ada bait-bait suka yang tercipta. Ada rasa yang tersisa. Ada terik yang menyengat. Ada dingin yang menggigil. Dan, tentunya juga ada cinta.
Ya. ya... Hidup dan sebuah perjalanan, selalu menyisakan riwayat yang layak didengarkan. Sepanjang apapun jalan, ia pasti memiliki tikungan. Seperti nasehat sahabat saya di depan, senyum haruslah selalu menghiasi setiap jengkal perjalanan, meski itu menyakitkan. Percayahlah, segalanya akan berakhir pada saat yang telah ditentukan.
Note: Untuk sahabat semuanya, mohon maaf bila bulan-bulan ini saya jarang bersilaturrahim. dari bulan kemarin saya harus bolak-balik Surabaya-Madura untuk sebuah acara. Dan Insya Allah hampir dua bula ke depan, saya harus konsentrasi dengan PPL dan seabrek kesibukan lainnya. Tapi insya Allah saya akan update blog ini, meski jarang-jarang. Untuk sahabat-sahabat yang ngasih Award dan tag, mohon maaf bila belum saya posting. Salam...
02 Fecruari 2010
Post a Comment