Berkah Setumpuk Jenggot

Engkau pasti sulit menemukan seseorang semacam dia. Da'i paling nyentrik se-Indonesia. Ia pernah jadi khotib sidang Jum'at tanpa duduk di antara kedua sesi khotbahnya. Jika engkau suka mengelompokkan karakter seseorang lewat fisiognomi, kesulitan itu akan tambah membuatmu kebingungan: wajahnya bulat penuh dan "berwibawa", tubuhnya tegap seperti Mahapatih Gajah Mada. Tapi jika keluwesan emosinya melanda, ia bisa sentimentil melebihi gadis perawan saja. Hatinya benar-benar peka. Dan sekarang, berkah keluwesannya, ia benar-benar menjadi Mahapatih bagi komunitasnya. 

Dia sangat super serius dengan profesinya, tapi lebih sangat amat super-duper serius lagi tentang puisi-puisinya. Tiap malam ia menyelipkan sajak-sajak doa untuk istrinya. Kata dia, itu isyarat kekekalan cinta. Maka, setelah lama menduda, ia sangat selektif memilih perempuan untuk jadi pendamping sisa-sisa hidupnya.

Dari saking selektifnya, ia bahkan menyeleksi status-status dan tag-tag dari siapa saja yang boleh "nongkrong" di beranda fesbuknya. Menyortir kiriman-kiriman foto yang berjubelan dari penggemar-penggemarnya, entah penggemar beneran, pengggemar guyonan, mungkin juga penggemar suaranya, atau hanya penggemar jenggotnya yang penuh karisma.  

Soal jenggot, engkau pasti menganggap statemennya sebagai lelucon. "Santai saja, ini bukan jenggot ideologi, tapi hanya sekedar aksesori," serunya sambil mengelus jenggotnya yang tak ada duanya di dunia. Dan, ia tak sedang mengarang cerita saat berkilah bahwa berkat jengggotlah alur hidupnya bisa berubah. Ia diterima menjadi penyiar di sebuah stasiun radio swasta milik para pengusung khilafah untuk menggusur Indonesia raya. "Jenggot ideologi" menjadi salah satu platform dan mode gerakan mereka.

Tak tanggung-tanggung. Ia dipercaya untuk mengasuh acara "Jelajah Al-Quran", padahal dulu kitab itu jarang disentuhnya, jarang dikajinya. Tapi rute hidup manusia tak bisa diterka. Apa yang ditekuninya dulu, ketika mengejar almarhumah istrinya, dengan cara mengiriminya bebait puisi, merekam suara cemprengnya dengan laptop bututnya, sekarang malah megantarkannya menjadi penyiar ternama. Gus Aab pangggilan udaranya. Engkau harus percaya itu bukan kebetulan belaka. Itu hasil jihad fi sabilillah namanya.  

Dibalik kekar tubuhnya yang kau kira seperti instruktur fitness, ia tetaplah lelaki romantis, mungkin sedikit melankoli, tapi sanggup mencintai istrinya sepenuh hati, sampai mati. Itu kenapa ia bisa akrab dengan bebaris puisi. Bahkan mampu mengucurkan air mata saat membaca kisah-kisah penuh haru yang mirip perjalanan hidupnya. 

Saya yakin istrinya sedang damai di sorga. Engkau pasti percaya. Dan tulisan ini tidak berpretensi apa-apa, hanya sekedar karangan bunga atas ketabahan hatinya. Lelaki yang saya ceritakan ini, engkau tahu, adalah sahabat sejati saya, yang dulu pernah tak menyapa saya berbulan-bulan lamanya, hanya lantaran kedunguan buta, kesempitan rongga dada, dan fanatisme tanpa makna, dalam memperjuangkan komunitas eks yang kebingungan menentukan plot rangkaian perjalanan ceritanya.  

Pada akhirnya, engkau harus yakin bahwa coretan saya ini adalah lembar pertama untuk membuka kembali cerita-cerita heroiknya saat mengejar cintanya, lalu menikahi perempuan yang dicintainya, lalu sederet riwayat keluarganya, lalu suka-dukanya, lalu tawa-tangisnya, dan lalu-lalu yang lainnya. Ia berjanji kepada saya untuk megabadikannya dalam catatan kenangan penuh cinta. 

Engkau, pembaca tulisan ini, adalah saksi nyata, betapa ocehan tak berharga ini adalah ikrar saya dalam membidani kelahiran ceritanya. Kita tunggu saja.


Jemur Wonosari, 19 Oktober 2013 

Post a Comment

Previous Post Next Post