Padhangmbulan dan Orbitasi Internal

Saya selalu takjub sekaligus iri melihat siapapun yang mau mengubah kondisi hidupnya; keluarganya, institusinya, bangsa dan negaranya, dimulai dari dirinya sendiri. Meradikalkan kemandirian dirinya sendiri sebagai titik ordinat untuk eksplorasi potensi dalam bentangan sejarahnya. Jika titik ordinat itu sudah solid, menancap kuat pada eksistensi diri yang paling inti, maka akan tercipta rotasi sinergis dan ritmis, yang pada gilirannya mampu melahirkan simpul-simpul yang kokoh dan mampu berkonstelasi secara aktif dalam mentransfer energi positif dengan lingkungan sekitarnya. Itu yang sama maksud dengan orbitasi internal. Dan, saya memulainya dari Padhangmbulan.

Padhangmbulan adalah forum pencerahan yang digelar setiap malam purnama, ketika sinar rembulan terang benderang, saat sasadara manjer kawuriyan. Barangkali ikhtiar itu adalah perlambang, agar cahaya pengetahuan dan kebenaran mudah merasuk dan melebur ke dalam hati para pelakunya, lalu mampu melihat dengan jernih segala fenomena yang terjadi, di mana realitas terus menerus dikonstruksi, sengaja dicekokkan tanpa henti, sampai sesak, sampai mempet. Di tengah kesemrawutan dan keedanan tatanan yang mendera bangsa ini, Padhangmulan hadir mengajak kita untuk mawas diri, tidak sekedar menjadi unthuk, busa, buih, yang gampang terombang-ambing oleh kapitalisasi media dan rayuan gombal para penguasa.

Terma unthuk, busa, buih, atau ghutha' dalam bahasa Arab, lalu coba diurai konteks historisnya dari berbagai literatur oleh Cak Fuad Effendy---salah satu pawang Padhangmbulan--- sebagai bahan refleksi dalam mencari problem paling inti dari seluruh keruwetan yang menggila ini. Dalam riwayat Abu Daud dalam As-Sunan disebutkan, Rasulullah saw. pernah mewanti-wanti bahwa suatu saat umat Islam nyaris dikerubungi oleh umat-umat lain sebagaimana mereka mengerubungi makanan-makanan yang lezat. Seorang sahabat bertanya, apakah saat itu jumlah umat Islam sedikit, lalu Rasul pun menjawab: "Tidak, bahkan jumlah kalian sangat banyak, tapi seperti unthuk yang mudah dihempas aliran sungai".

Apa pentingnya membincangkan unthuk dalam konteks bangsa kita? Mari kita sdikit lebih masuk ke inti persoalan. Peristiwa terakhir di negeri ini yang santer diberitakan media, yakni tragedi Jagorawi dan bahasa Vicky-isme telah menyedot perhatian masyarakat dari berbagai lapisan. Tapi jangan khawatir, karena sebentar lagi konsentrasi kita bakal dipecah lagi oleh isu-isu ter-update dan ter-hot yang dicipta oleh media yang menjadi alat eksploitasi para kapitalis. Tiap hari kita dipaksa untuk mengonsumsi hal-hal yang tak penting, dan parahnya kita selalu percaya. Kapitalisme mampu menggilas apa saja.

Maka tak heran jika Paul Virilio menyebut kapitalisme sebagai dromologi, ilmu tentang percepatan. Dalam tempo yang secepat-cepatnya, semuanya bisa berubah, berganti tanpa arah yang pasti. Malam ini kita sibuk berspekulasi soal konvensi Demokrat, esok paginya sibuk soal kontroversi hati dan konspirasi batin. Malamnya kita diributkan oleh harga tempe yang melangit, paginya sudah menikmati berita tragis mobil mewah untuk rakyat. Di titik inilah mestinya kita bertanya: Di manakah posisi kita di tengah carut-marut realitas ini? Apa fungsi dan manfaat semua omong kosong itu bagi kemajuan dan kemandirian bangsa?

Pertanyaan itu sangat darurat untuk dijawab, agar kita tidak mudah menjadi unthuk, yang tiiap saat dipecah konsentrasinya demi hanya untuk menyaksikan tayangan kepalsuan, berita tak berbobot, bualan semu, dan tak menyuguhkan apapun selain menjerumuskan kita pada ceruk kehancuran peradaban. Kenapa kita mudah menjadi unthuk? Dalam lanjutan hadis di atas, Rasulullah menjawab: karena kalian dirasuki penyakit wahn, yakni terlalu mencintai dunia, kedunyen, dan takut mati. Hubb al-dunya wa karahiyatul maut.

Dalam konteks itulah orbitasi menjadi penting untuk dimunculkan, direnungai dalam-dalam, sebagai istilah kunci dari mainstream kekhalifahan manusia dalam konstelasi semesta. Orbitasi internal mengandaikan yang wajib dilakukan untuk tidak ikut gila adalah dengan apa yang disebut Cak Nun sebagai upaya terus menerus menempa diri, meradikalisasi diri, memastikan dan merumuskan kemandiriannya: reidentifikasi, reposisi, reformulasi dan refungsionalisasi atas segala fenomena apapun yang terjadi di segala dimensi. Jika proses itu sudah tumbuh di masing-masing pribadi, maka pribadi-pribadi itu akan memancarkan kekuatan energi positifnya ke stiap sudut lingkungannya. Dan mengguguslah peradaban penuh cahaya.

Begitulah sekurang-kurangnya yang saya pahami dan renungi dari hasil perkenalan awal saya secara langsung dengan Padhangmbulan, tanggal 20 September 2013 tadi malam, di Menturo, Sumobito, Jombang..

Post a Comment

Previous Post Next Post