Free Wi-Fi

Mengapa kapitalisme yang menang? Seorang teman lalu menjawab: karena ia membidik tepat sasaran.


Diksi “tepat sasaran” itu tiba-tiba muncul kembali seperti hantu yang menakutkan ketika tanpa sengaja, di dalam lift sebuah hotel menuju lantai 7, saya melihat iklan menempel di dindingnya: “Klik dan nikmati secangkir KOPI panas sambil update informasi terbaru hanya di Lobby Lounge @ Rp. 15.000,-”. Kapasitas saya sebagai peserta workshop review kurikulum yang terbiasa hidup di kos Surabaya yang panas, dengan modem yang luar biasa lemot, terlonjak ketika melihat sebuah logo di pojok kiri atas iklan itu: Free Wi-Fi. Terbersit dalam pikiran: inikah jawaban dari teman itu?

Menyusuri koridor hotel, selepas keluar dari lift menuju kamar nomor 204, pikiran saya masih berkutat dalam pusaran iklan yang merayu itu. Hotel “berbintang” ini menjulang tinggi tepat di puncak Tretes. Bergaya arsitektur Eropa abad pertengahan, sedikit angkuh, dengan udara sejuk dan perbukitan yang memukau, melebur dengan desain interior yang eksotik dan menawan, ia layak jadi pilihan. Artinya, hotel ini tepat sasaran. Dengan frase lain: “menjual”.

Logika kapitalisme barangkali memang menyediakan espektasi yang menjanjikan untuk urusan “penjualan”. Maka tak heran jika di awal pertumbuhannya, Weber menyebut kapitalisme bukan sesuatu yang buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan spirit protestanisme yang dicetuskannya, laju ekonomi masyarakat bakal melesap, karena menurutnya, etika Protestan menjunjung tinggi kejujuran, pola hemat dan kerja keras. Lahirlah janin awal evolusi kapitalisme di Eropa pada abad XIII.

Tapi idealisasi Weber akan masa depan cerah kapitalisme tak kunjung menemukan muaranya di jagat hiperglobalisasi ini. Represi sosial dan politik pada akhirnya menjadi celah atas pembenaran laku individu yang menjalankan ritme ekonomi dengan mengabaikan etika. Apa yang diintodusir Smith sebagai “invisible hand’s” tak selamanya menguntungkan, karena meskipun ia mampu memompa denyut nadi pasar tanpa aturan-aturan negara, tapi geliatnya malah tampak mengerikan.

Kengerian itu bermula dari anomali persaingan bebas. Apa distingsi “bebas” itu? Jika ia benar-benar dianjurkan, apakah mekanisme dan caranya juga bebas? Bagaimana dengan trik-trik persaingan itu: iklan kecantikan, bujuk rayu, iming-iming, yang kerap menjajakan kecabulan? Apakah standar komoditinya juga bebas: kebugaran, gosip, skandal, kondom, artificial virginity hymen?  Barangkali karena lenyapnya batas itulah, Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia-nya, menggunakan istilah desiring machine, mesin hasrat, untuk menjelaskan self-produksi dan reproduksi hasrat di dalam masyarakat kapitalisme.   

Konon, di tengah-tengah membanjirnya aliran hasrat dan energi libido dengan intensitas kecepatan yang kian menguasai ekonomi kapitalisme mutakhir, Rich de Vos mengusulkan satu model kapitalisme dengan aura yang lembut dan welas asih, yakni compasionate capitalisme alias kapitalisme dengan kepedulian sosial. Ia memaparkan bahwa meskipun manusia diatur oleh hasrat-hasrat dan energi libido, namun ia juga memiliki kontrol untuk melakukan sesuatu yang baik. Maka, sebagaimana Smith, tawaran de Vos juga menganjurkan laissez faire, bahwa hasrat setiap orang harus dibebaskan dari belenggu masyarakat, terlebih untuk maju dan bersaing, agar kapitalisme berjalan lancar.

Tapi benarkah? Seolah-olah dunia adalah Firdaus, dan lintasan hasrat mampu terus diberangus. Faktanya, yang terjadi malah sebaliknya: kapitalisme mengalami degradasi makna, dan impian Smith dan de Vos hanyalah utopia belaka. Utopia itu tambah diperparah dengan merebaknya skandal politik dan tekanan pemilik modal yang kongkalikong dengan para pemangku kuasa, yang pada gilirannya menjadikan kaum ploretar tambah nista. Alih-alih tercipta persaingan bebas, yang ada malah monopoli tanpa batas.

Lahirlah apa yang oleh ahli ekonomi Roy Harrod disebut sebagai “kekayaan oligarkis” yang berdiri secara diametris dengan “kekayaan demokratis”. Karena bersifat oligarkis dengan karakternya yang “posisional”, kekayaan jenis pertama ini berbeda jauh dengan “kekayaan kedua” yang sangat bergantung pada tingkat produktivitas masing-masing, dan karenanya jelas tak mungkin dicapai tiap orang. Bagaimana mungkin setiap orang mampu menikmati pelayanan hotel berbintang, di puncak Tretes yang tenang, dengan Wi-Fi yang sanggup mengakses informasi dengan cepat? Tentu mustahil. Tapi bahkan buruh-buruh miskin sekalipun tetap memimpikan kenikmatan yang sama. Maka yang berlaku adalah hukum zero-sum, menang-kalah dan kaidah hutan rimba: jika kau tak menerkam, kau bakal yang akan diterkam!

Maka dengan sangat miris kita bisa melihat, di era hiperkonsumerisme ini, para kapitalis berlomba-lomba meraup puncak kenikmatan oligarkis itu. Yang sampai lebih dulu ke puncak itu lalu membuat portal agar tak setiap orang bisa masuk ke dalamnya. Jalur-jalur “strategis” diblokade agar tiap previlese dapat dipertahankan dan dinikmati hanya oleh golongan mereka. Para konglomerat “menimbun” dan menajajakan harta, yang miskin terus tergerus dan terluka. Di hotel-hotel berbintang, di apartemen-apartemen mewah, di mall-mall, manusia sibuk menakar spekulasi masa depannya dengan cara brutal. Kapitalisme menawarkan ruang yang leluasa untuk menguasai, untuk berfantasi. Dengan kata lain, ia seperti otokrasi. Dan rupanya mereka lupa kisah Solon, sang penguasa yang mengeluarkan dekrit Seisachteia, dan menolak untuk jadi penguasa tetap Athena itu. Bagi Solon, “puncak kekuasaan itu adalah suatu tempat yang sangat lumayan, tapi dari sana tak ada jalan turun”.

Di puncak kekuasaan itu, seperti menikmati free wi-fi, orang terus berhasrat untuk mengakses kekayanan tanpa batas, sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya, tanpa bau keringat, tanpa mengindahkan norma agama. Sebuah implementasi konkret tiga nomenklatur sekaligus dari tujuh dosa sosial Mahatma Gandhi, yakni: kekayaan tanpa kerja keras, kenikmatan tanpa nurani, perniagaan tanpa moralitas. Juga realisasi paling mengerikan dari diktumnya yang terkenal itu: “Bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk ketamakan dan keserakahan tiap orang”.   

Mengapa kapitalisme menang? Hari ini kita terus bertanya, dan Félix Guattari punya jawabannya: “Kapitalisme mampu membangun dan menciptakan model-model hasrat,” tulisnya,” dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilannya menanamkan model-model ini pasa massa yang dieksploitasinya”.

Kita, massa yang dieksploitasinya, korban dari kapitalisme itu, dengan sadar tapi sedikit lugu, mungkin juga putus asa, tak bisa menolaknya. Terus menikmatinya.     


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Arrisalah.    

Post a Comment

Previous Post Next Post