Rabu, 04 Juli 2012
bertepatan dengan Malam Nishfu Sya'ban 1434 H.
Bayangkan
apa yang kau rasakan untuk pertama kalinya setelah kau meninggalkan sesuatu itu
selama lebih 13 tahun. Mungkin kau telah melupakan banyak hal, termasuk yang
remeh-temeh, tradisi kampung kecil tempat dimana kau pernah menjalani masa
kanak-kanak. Kau sudah menggeluti dunia baru, tradisi anyar yang barangkali
jauh lebih "elegan" ketimbang adat di kampung kelahiranmu. Atau kau
menyimpan memori masa kanakmu rapat-rapat di ceruk jantungmu. Itu betul-betul
pilihan asasimu.
13 tahun
bukanlah angka yang singkat. Waktu terasa melesap begitu cepat, menyerap apa
saja yang bisa dilahap. Tapi keajegan akan selalu ada, tak lekang masa, tak
rapuh karena tua, meski globalisasi selalu menggerogoti banyak hal, dan
menyampingkan sesuatu yang berbau renta. Untuk pertama kalinya, aku merasakan
pengalaman magis itu setelah belasan tahun mengabaikannya.
Berjalan
malam hari di jalan setepak di tengah sawah,
saat bulan begitu purnama, adalah pengalaman batin yang kujalani setiap
tahun, saat pergantian buku baru: Malam Separuh Sya'ban. Bayangan tubuh kami
yang bergelayutan di bawah pantulan cahaya rembulan, rumput-rumput yang saling
berbisikan, alam bertasbih dalam keheningan. Laki-laki, perempuan, anak-anak,
orang dewasa, hampir semuanya melakukan ritus ziarah Nisfu Sya'ban ini.
Katanya, ini sudah warisan dari leluhur kami.
Bakda
magrib, kami para lelaki berkumpul di Surau Raya untuk baca Yasin bersama. Lalu
berkeliling kampung, saling memaafkan dengan simbol salaman, lalu berkumpul
kembali di surau raya demi menunggu tamu agung dari keluarga Keraton Sumenep.
Ngaji yasin lagi. Tahlil lagi. Makan bareng lagi. Begitu siklus tahunan yang
tak pernah mati.
Slide-slide
kehidupan masa kecilku bermunculan: saat mengaji alif-ba-ta
di Surau itu, menimba air dari sumur ke kamar mandi, dengan timba kecil,
tertatih-tatih, juga saat berenang di sawah saat hujan membawa air bah,
menggunakan batang pohon pisang yang dirakit, sambil sesekali menggiring
angsa-angsa milik Kiai agar pulang kandang lantaran matahari sudah hampir
tenggelam.
Maka terasa
ada yang tiba-tiba nisbi ketika sebuah ritus agama termanifestasikan dalam
kekudusan Tuhan yang tak terbayangkan. Hidup begitu kerdil tanpa asas
pengabdian. Tidak penting apakah setiap
perayaan harus hingar, karena momen paling sakral untuk self cleaning justru hadir dalam keheningan. Sebuah ekspresi
ketakjuban dan ketakberdyaan yang tak terbahasakan. Dalam diam.
Ternyata,
sudah lebih 13 tahun aku merantau di tanah orang...
Saat rindu masa kecil menari-nari di
kepala
Malam Separuh Sya'ban, doaku dalam
dada.
Post a Comment