Untuk urusan sekecil apapun, orang tua sering mengingatkan: gunakan tangan kananmu ketika makan, dahulukan kaki kananmu saat masuk masjid. Jangan yang kiri, itu pamali. Jhube’, kata orang Madura. Ketika seorang anak kecil menerima pemberian orang lain dengan tangan kirinya, si orang tua menegurnya, mengajarinya untuk lebih sopan. “Ayo pakai tangan yang bagus”. Maksudnya, tangan kanan.
Kiri barangkali
sesuatu yang netral, letak arah, dipakai hanya untuk membedakan dengan yang “kanan”.
Bahwa kanan di sebelah sana, dan kiri di sebelah sini. Tapi dalam lokus pemikiran
dan ranah gerakan, istilah kiri mengalami bias arti. “Agar wacanamu kokoh, kau
harus imbangi konsumsi bacaanmu dengan buku-buku kanan. Jika melulu kiri,
logika berpikirmu akan pincang”, seorang teman yang aktif di dunia pergerakan
mengingatkan. “Jika nalarmu terlalu ekstrem kanan, kau hanya perlu
menggeseranya sedikit ke arah kiri”, katanya lagi. Lahirlah epistemologi kiri,
gerakan kiri, organisasi kiri dan kiri-kiri lainnya.
Di Indonesia,
menurut para pakar sejarah, istilah kiri pernah menjadi momok yang menakutkan
dan dicerca habis-habisan. Itu terjadi karena, salah satunya, minimnya pengetahun
tentang apa sesungguhnya makna kiri itu sendiri. Kiri seolah identik dengan sosialisme-komunisme
yang, karena distorsi sejarah, dimusuhi dan dicaci-maki. Parahnya, trauma sejarah
itu, hingga saat ini masih mengendap di lorong bawah sadar kita, sehingga
membuat kita antipati terhadap segala sesuatu yang berbau kiri. Bahkan, pernah
ada masanya ketika buku-buku berhaluan kiri dimusnahkan, dibakar hingga jadi
debu. Intinya, apapun yang kekiri-kirian harus segara dibumihanguskan.
Tujuannya, tentu
saja adalah upaya pembungkaman. Kiri itu subversif, berbahaya, menganggu
ketenangan, anti kemapanan, kontra status quo, dan karenanya, ia harus “dibereskan”.
Jika tidak, ia hanya akan menimbulkan kekacauan, dis-order. Maka
ideologi mainstream biasanya tak menghendaki adanya gerakan kiri, yang
identik dengan “makar” dan sempalan. Seolah segala sesuatu yang beda dengan the
dominant ideology harus dibasmi. Demi menjaga dan melestarikan established,
kebenaran harus diseragamkan. Itulah kenapa postmodernisme menolak cara
berpikir logosentrisme ini, karena terbukti mewariskan filsafat yang totaliter,
yang menotalkan segalanya ke dalam suatu sistem tunggal. Logosentrisme
merupakan “kekerasan metafisik” terhadap
yang lain.
Logosentrisme,
ditilik dari sisi historisitasnya, bisa ditelusuri dari sejarah metafisika Barat
yang sarat dengan impian dan nostalgia akan kebenaran. Logos pun dipersepsikan
sebagai sesuatu yang bersifat ilahiyah, transenden, membentang di luar diri
manusia yang menyejarah, dan karenanya ia dianggap obyektif. Kebenaran yang transenden
dan transhistoris itu, dalam tradisi Platonik, bereksistensi di luar bahasa dan
dipahami secara vertikal, yakni dalam hubunghannya dengan yang ilahi atau
realitas suci: kebenaran adalah given, terberi alias berupa kenyataan
ekstralinguistik yang mandiri dari manusia.
Sederhananya, dengan
logosentrisme, filsafat sesugguhnya hendak menguniversalkan segala bentuk
partikularitas. Yang universal selanjutnya dipercayai sebagai kebenaran
obyektif. Obyektivitasnya tidak terkait dengan subyektivitas individu maupun
berbagai perubahan yang terjadi dalam sejarah. Kebenarannya terbebas dari
kontingensi karena sifatnya yang absolut, transenden dan transhistoris diluar
pengalaman yang partikular. Premisnya jelas: ketika sebuah prinsip atau aksioma
filosofis telah “diketuk palu”, maka kebenarannya dianggap berlaku secara universal.
Cikal-bakalnya barangkali tercermin dalam semangat pemikiran Descartes dengan
rasionalitaas cogito-nya, atau Roh Absolut yang merupakan puncak
tertinggi dari kesadaran historis manusia dalam terminologi Hegel.
Dalam konteks itulah
epistemologi kiri menemukan urgensinya. Ia, dengan karakternya yang anti
kemapanan, berusaha mendobrak kontrusksi realitas yang sengaja dimapankan: memberangus
kepalsuan-kepalsuan yang dipoles dengan baju kebenaran, membuka tabir kondisi
yang seolah menenteramkan, tapi sejatinya menindas. Dan “kiri” pun tampil sebagai
“pasukan” yang beringas dan mematikan. Itulah kenapa ia kadang terlihat menyeramkan,
meski sesungguhnya berjuang membela kebenaran dan keadilan.
Itu mungkin makna
dari judul di atas. Gerakan kiri, gerakan berdikari. Sebuah topik yang dingkat
dalam acara Diskusi dan Pelantikan Pengurus PMII cabang Surabaya Selatan
beberapa hari yang lalu. Hadir dalam acara itu sahabat Listiyono Santoso,
penulis buku Epistemologi Kiri itu sendiri.
Term kiri memang seringkali
jadi subordinat, tapi dalam konteks kekuasaan yang menindas, ia bisa jadi
pahlawan penyelamat.
Menganti, 27
Mei 2012
------------
Untuk sahabat-sahabati
di PMII Surabaya Selatan, tema Pelantikannya benar-benar menggigit. Organisasi
kiri benar-benar berdikari. Salam revolusi!
Post a Comment