Kiri yang Berdikari


Untuk urusan sekecil apapun, orang tua sering mengingatkan: gunakan tangan kananmu ketika makan, dahulukan kaki kananmu saat masuk masjid. Jangan yang kiri, itu  pamali. Jhube’, kata orang Madura. Ketika seorang anak kecil menerima pemberian orang lain dengan tangan kirinya, si orang tua menegurnya, mengajarinya untuk lebih sopan. “Ayo pakai tangan yang bagus”. Maksudnya, tangan kanan.

Agama mungkin mengajarkan demikian. Ada istilah al-tayāmun, yang dianjurkan untuk dipraktikkan dalam ritual agama, bahkan hampir dalam segala hal. Kāna rasūlullah yuhibbu al-tāyamuna fȋ tana’ulihi wa tarajjulihi wa thahūrih wa fȋ sya’nihi kullihi, kata sebuah hadits Muttafaq ‘alaih. Kanan seolah superior, sementara kiri inferior. Maka Rasulullah pun suka memulai sesuatu dari yang kanan, bahkan dalam memakai sendal, bersisir, bersuci, sebagaimana hadits di atas. Ada apa dengan kiri, kenapa ia seolah hendak dijauhi?

Kiri barangkali sesuatu yang netral, letak arah, dipakai hanya untuk membedakan dengan yang “kanan”. Bahwa kanan di sebelah sana, dan kiri di sebelah sini. Tapi dalam lokus pemikiran dan ranah gerakan, istilah kiri mengalami bias arti. “Agar wacanamu kokoh, kau harus imbangi konsumsi bacaanmu dengan buku-buku kanan. Jika melulu kiri, logika berpikirmu akan pincang”, seorang teman yang aktif di dunia pergerakan mengingatkan. “Jika nalarmu terlalu ekstrem kanan, kau hanya perlu menggeseranya sedikit ke arah kiri”, katanya lagi. Lahirlah epistemologi kiri, gerakan kiri, organisasi kiri dan kiri-kiri lainnya.

Di Indonesia, menurut para pakar sejarah, istilah kiri pernah menjadi momok yang menakutkan dan dicerca habis-habisan. Itu terjadi karena, salah satunya, minimnya pengetahun tentang apa sesungguhnya makna kiri itu sendiri. Kiri seolah identik dengan sosialisme-komunisme yang, karena distorsi sejarah, dimusuhi dan dicaci-maki. Parahnya, trauma sejarah itu, hingga saat ini masih mengendap di lorong bawah sadar kita, sehingga membuat kita antipati terhadap segala sesuatu yang berbau kiri. Bahkan, pernah ada masanya ketika buku-buku berhaluan kiri dimusnahkan, dibakar hingga jadi debu. Intinya, apapun yang kekiri-kirian harus segara dibumihanguskan.

Tujuannya, tentu saja adalah upaya pembungkaman. Kiri itu subversif, berbahaya, menganggu ketenangan, anti kemapanan, kontra status quo, dan karenanya, ia harus “dibereskan”. Jika tidak, ia hanya akan menimbulkan kekacauan, dis-order. Maka ideologi mainstream biasanya tak menghendaki adanya gerakan kiri, yang identik dengan “makar” dan sempalan. Seolah segala sesuatu yang beda dengan the dominant ideology harus dibasmi. Demi menjaga dan melestarikan established, kebenaran harus diseragamkan. Itulah kenapa postmodernisme menolak cara berpikir logosentrisme ini, karena terbukti mewariskan filsafat yang totaliter, yang menotalkan segalanya ke dalam suatu sistem tunggal. Logosentrisme merupakan  “kekerasan metafisik” terhadap yang lain.

Logosentrisme, ditilik dari sisi historisitasnya, bisa ditelusuri dari sejarah metafisika Barat yang sarat dengan impian dan nostalgia akan kebenaran. Logos pun dipersepsikan sebagai sesuatu yang bersifat ilahiyah, transenden, membentang di luar diri manusia yang menyejarah, dan karenanya ia dianggap obyektif. Kebenaran yang transenden dan transhistoris itu, dalam tradisi Platonik, bereksistensi di luar bahasa dan dipahami secara vertikal, yakni dalam hubunghannya dengan yang ilahi atau realitas suci: kebenaran adalah given, terberi alias berupa kenyataan ekstralinguistik yang mandiri dari manusia.

Sederhananya, dengan logosentrisme, filsafat sesugguhnya hendak menguniversalkan segala bentuk partikularitas. Yang universal selanjutnya dipercayai sebagai kebenaran obyektif. Obyektivitasnya tidak terkait dengan subyektivitas individu maupun berbagai perubahan yang terjadi dalam sejarah. Kebenarannya terbebas dari kontingensi karena sifatnya yang absolut, transenden dan transhistoris diluar pengalaman yang partikular. Premisnya jelas: ketika sebuah prinsip atau aksioma filosofis telah “diketuk palu”, maka kebenarannya dianggap berlaku secara universal. Cikal-bakalnya barangkali tercermin dalam semangat pemikiran Descartes dengan rasionalitaas cogito-nya, atau Roh Absolut yang merupakan puncak tertinggi dari kesadaran historis manusia dalam terminologi Hegel.

Dalam konteks itulah epistemologi kiri menemukan urgensinya. Ia, dengan karakternya yang anti kemapanan, berusaha mendobrak kontrusksi realitas yang sengaja dimapankan: memberangus kepalsuan-kepalsuan yang dipoles dengan baju kebenaran, membuka tabir kondisi yang seolah menenteramkan, tapi sejatinya menindas. Dan “kiri” pun tampil sebagai “pasukan” yang beringas dan mematikan. Itulah kenapa ia kadang terlihat menyeramkan, meski sesungguhnya berjuang membela kebenaran dan keadilan.

Itu mungkin makna dari judul di atas. Gerakan kiri, gerakan berdikari. Sebuah topik yang dingkat dalam acara Diskusi dan Pelantikan Pengurus PMII cabang Surabaya Selatan beberapa hari yang lalu. Hadir dalam acara itu sahabat Listiyono Santoso, penulis buku Epistemologi Kiri itu sendiri.

Term kiri memang seringkali jadi subordinat, tapi dalam konteks kekuasaan yang menindas, ia bisa jadi pahlawan penyelamat.

Menganti, 27 Mei 2012

------------
Untuk sahabat-sahabati di PMII Surabaya Selatan, tema Pelantikannya benar-benar menggigit. Organisasi kiri benar-benar berdikari. Salam revolusi!
  

Post a Comment

Previous Post Next Post