“Semua yang telah berlalu seperti bunga dalam cermin, hanya ilusi”. Kata-kata Budha Ketua ini, dalam episode terakhir film To Liong To, seolah mendobrak mindset yang selama ini terbangun bahwa masa lalu seharusnya jadi pelajaran berharga untuk menapaki masa depan. Lalu, kenapa harus ilusi?
Kita tahu, ilusi,
dalam pengertiannya yang paling harfiah, semacam salah pengamatan terhadap
perangsang oleh indera, salah pandang, juga tipuan mata. Jadi, apa yang terjadi
di masa lalu sesungguhnya tak ada, tipuan belaka? Mungkin tidak seradikal itu
pemaknaannya, dan mazhab idealisme punya jawabannya.
Sekitar paruh kedua
tahun 2006, dosen filsafat saya memberikan analogi yang sarkastik, tapi rasanya
masuk akal. “Jika kamu memandang gedung Graha Pena, sesungguhnya yang sejati
dan kekal adalah yang tergambar dalam pikiran kamu. Yang berdiri di luar sana, kelak
pada waktunya, akan hancur berserakan”, paparnya dengan dialek yang tertata. Jika
dilanjutkan, mungkin ada satau frase lagi yang lebih sarkastis, bahwa pikiran
adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Sedangkan
Tuhan adalah logika dan tujuan yang imanen, atau jiwa kreatif dari proses
kosmos. Konon, para ahli filsafat menyebutnya idealisme monistik.
Lalu bagaimana
dengan masa depan? Einstein punya jawabannya. Konon, manusia jenius abad ke-20
versi majalah Times, sosok pesohor internasional yang memikat
banyak penonton dalam kuliah-kuliahnya di berbagai penjuru dunia, seseorang
yang lebih memilih menumpang gerbong kereta kelas tiga dan selalu membawa serta
biolanya ini, pernah mengungkapkan diktum yang tak diduga-duga: masa lalu dan
masa depan hanyalah ilusi pikiran kita semata. Tapi sesunguhnya tak sekasar
itu. Ia, dengan teori relativitasnya itu, hanya ingin mengingatkan bahwa waktu dan
gerak tidaklah mutlak. Asas relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu bukan
lagi bagian struktur dunia, melainkan rekaan yang relatif terhadap posisi
seorang individu. Waktu, dengan demikian, sejatinya berjalan tak melulu linear
dan progres: ia bisa saja bergerak melingkar sempurna seperti lingkaran planet
sebagaimana diungkap Phytagoras
dan Heraclitus. Artinya,
perubahan dalam waktu bisa dijelaskan sebagai perubahan siklikal (cyclic change) dan perulangan sejarah (historical recurrence).
Maka, jika
kembali ke topik semula, sesungguhnya klasifikasi waktu menjadi “kemarin, hari ini,
besok; juga menjadi jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, millenium dan
seterusnya”, hanyalah bukti ketakmampuan manusia merangkum waktu yang tak
terjangkau. Meminjam petuah suhu saya, Chafid Wahyudi, “sesungguhnya kalender itu
adalah waktu yang dicincang dan dikuasai oleh akal budi manusia yang rakus.
Karena itu, tahun yang lama mau pun yang baru esensinya sama. Yang membedakan
adalah cara kita memandang dan menjalaninya”.
Kalimat itu ia
kirimkan menjelang peralihan tahun baru 2012, ketika saya sedang merayakannya
bersama teman-teman di Jakarta, tepatnya di Ancol. Manusia berjubel di
sepanjang bibir pantai, sesekali berpelukan, berciuman. Pesta kembang api
disemarakkan, bahkan diritualkan. Mereka rela berdesak-desakan. Bukankah yang
mereka tunggu-tunggu sejatinya adalah momentum waktu?
Sederhananya,
waktu, dengan sifatnya yang relatif dan tak stabil, hendak ditaklukkan dengan
klasifikasi tadi. Harus ada limit agar tiap ekspektasi bisa dikalkulasi. Tapi
karena ia berdiri di depan, maka waktu melahirkan harapan dan kekhawatiran
secara bersamaan. Untuk itulah seorang sufi mengingatkan: “Setiap orng
yang berharap adalah juga yang takut.
Orang yang berharap untuk sampai di satu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya”.
Antara batas
harapan dan kenyataan, manusia memang butuh pegangan. Karenanya, mungkin kita perlu
mengingat salah satu obrolan Tuhan dengan penjaga warnet saat mereka chatting-an,
ketika Ia hendak mengingatkan kepadanya tentang manajemen waktu. “Benar sekali”,
jawab Tuhan ketika si penjaga warnet merasa tidak punya waktu luang sedikit pun,
hidupnya jadi seperti diburu-buru, setiap waktunya telah menjadi waktu sibuk. “Aktifitas
memberimu kesibukan. Tapi produktifitas memberimu hasil. Aktifitas memakan
waktu, produktifitas membebaskan waktu”.
Ada yang sering
luput dari perhatian kita dalam “firman” Tuhan kepada operator warnet di atas: hakikat
waktu sesungguhnya adalah ukuran kualitas. Itu mungkin salah satu alasan mengapa
Tuhan bersumpah demi waktu, wa al-‘Ashr, bahwa sesungguhnya manusia
berada dalam kerugian. Siapapun yang berjenis manusia, kata ayat itu, pasti
merugi. Ini kaidah kulliyah yang paten. Untungnya, ada kata “kecuali”
yang bisa menegasikan isi sumpah itu, yakni orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, serta mereka yang saling nasehat-menasehati. Itu peluang
dari-Nya yang harus dihayati.
Tapi untuk
mencapai taraf ideal kualitas hidup itu, ada jeda kuantitas, yakni proses becoming.
Disitulah persoalan falsifikasi bergumul lagi, kecemasan dan ketakutan pun tak
dapat dihindari. “Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin. Kamu
merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu tidak
pernah merasa senang”, sindir Tuhan
pada si tukang warnet tadi.
Peristiwa login-nya
Tuhan dalam chatt room di atas, lalu bincang-bincang dengan penjaga
warnet, atau mungkin juga para netter lainnya, jelas hanya persoalan
metafora belaka. Dalam kaidah empiris, tentu tak benar-benar nyata. Tapi paling
tidak, metaforika itu mengingatkan satu hal: haqāiq al-yaum khayāl al-amsi
wa ahlām al-amsi haqāiq al-ghad, kata pepatah arab.
Pada akhirnya, diksi "cermin" dan “ilusi” dalam kata-kata Budah Ketua di atas, mungkin memang hanya ditujukan
agar tak ada kesumat yang hidup dalam hati, dan masing-masing pendekar bisa
pulang dengan lega tanpa dengki. Ia tidak dimaksudkan untuk menganggap yang
telah berlalu otomatis tak berarti.
Maka kita tak
butuh cermin Tarsah, cermin ajaib yang pertama kali muncul pada Harry Potter and the Sorcerer's Stone. Harry Potter menemukannya di koridor atas sekolah
Hogwarts, sesudah memasuki perpustakaan terlarang. Dengan cermin itu, ia seolah
mampu melihat masa lalunya,
kengangan bersama kedua orang tuanya. Ya, kita tak butuh itu. Karena seperti bunga dalam cermin, seanggun
apapun rupa bunga itu, ia tetaplah bayangan, sebuah pantulan.
Waktu, pada akhirnya memang selalu bergelinjang
dalam kesadaran diri, tapi ia tetap tak terpermanai.
Surabaya, 20 Mei
2012
Post a Comment