Nihilio



Sancai.. sancai.. sancai.. Semuanya hanyalah bayangan kosong. Tubuh pun pada hakikatnya adalah sesuatu yang tak ada.

Dalam film To Liong To, kalimat itu berembus begitu pelan, tanpa gebu, apalagi nafsu, dari mulut seorang yang memilih untuk jadi pendeta. Seolah ingin mendekonstruksi gumpalan hasrat yang pekat, dimana segala peristiwa terjadi begitu cepat, riuh, dan pertandingan sesungguhnya tak menghasilkan apa-apa kecuali kepuasan semu, Jasun, sang calon pengikut Budha itu, menolak untuk menerima bakti Tio Buki, anak angkatnya, yang hendak membebaskannya dari tahanan tiga bisku yang sakti luar biasa. Dengan kata lain, Jasun, si Singa Emas dan pemilik Golok Naga itu hendak mengingatkan: apa sejatinya yang dibutuhkan seorang pendekar hebat, setelah malang-melintang di dunia persilatan, ketika pada akhirnya ia dan kesaktiannya bahkan tak mampu menolak ketuaan, kematian, dan pada gilirannya hanya tulang-belulang berserakan?

Tapi tidak setiap pendekar memilih jalan seperti Jasun. Salah satu contohnya, mungkin, sahabat saya sendiri. Kepadanya saya mengirim pesan dengan konten persis separti di atas, lalu ia menulis, menceritakan kondisi keluarganya: “Kudu emosi terus, Boy. Ingin marah-marah juga sebenarnya melihat keadaan saya yang sekarang. Sulit untuk benar-benar menikmati kekosongan. Tapi saya sadar, pada hakikatnya, marah itu adalah kesempatan terindah untuk bersabar”.

Bisa saja sahabat saya itu basa-basi, mungkin juga frustasi, atau alpa memahami maksud pesan saya secara pasti. Frase balasan pesannya itu tentu saja bergelinjang dalam lokus pergulatan totalitas perjalanan spiritualnya. Saya sebut spiritual karena dia sebenarnya sedang membangun mimpi, tentang nilai yang dia yakini. Menafkahi istri bukan perkara yang remeh, jelas butuh hati dan konsistensi. Artinya, dia berusaha menggapai yang abadi, meski tak pernah pasti. Maka tak heran jika kemudian dia “mengeluh”, ingin menyingkirkan kekosongan, tapi tak tahu dengan apa dia bakal mengisinya. Dia juga ingin marah, tapi pada siapa? Pada kekosongankah? Disinilah, marah dalam pengertian sahabat saya itu, yakni marah yang tak punya objek, adalah kondisi sesungguhnya untuk menguji kesabaran: sabar dalam kebingungan, kecemasan, juga ketidakpastian.
  
Kosong, kita tahu, adalah afirmasi akan ketiadaan, mungkin juga finish dari kefanaan. Yang fana adalah yang wujud dalam takaran ruang dan waktu, dengan materi dan bentuk. Disinilah perbincangan mengenai Tuhan dan muasal penciptaan kehidupan dimulai. Konon, Amir Hamzah pernah bertanya dengan salah satu judul puisinya: “Tuhanku, Apatah kekal?”

Junjunganku apatah kekal
Apatah tetap
Apatah tak bersalin rupa
Apatah baka sepanjang masa...

Bunga layu disinari matahari
Makhluk berangkat menepati janji
Hijau langit bertukar mendung
Gelombang reda di tepi pantai

Jika kefanaan harus dirisaukan, maka tak ada yang lebih galau ketimbang kata-kata di atas. Yang musnah adalah alam semesta, kekal hanyalah sifat Tuhan semata-mata.

Tapi, jika Tuhan kekal __berarti Ia di luar waktu__  bagaimana penciptaan alam semeseta bisa terjadi? Apakah hanya dengan mantra “kun”, lalu “fayakun”? Amir Hamzah memang tak mengemukakan pertanyaan itu, tapi Ibnu Sina mengucapkannya pada abad ke 10. Penciptaan adalah sebuah kejadian perubahan, gerak dialektika, sekumpulan peroses dalam waktu. Jika Tuhan “baka sepanjang masa”, Ia tak mungkin jadi pembangun alam semesta dari keadaan “tak ada”, moro-moro jadi “ada”.  

Melalui Tahāfut al-Falāsifah yang terbit pada pada abad ke 11, al-Ghazali mencoba menjawab pertanyaan pelik itu dengan satu tesis yang tak diduga-duga: baginya, penciptaan tak harus mengasumsikan ada unsur waktu di dalamnya. Unsur waktu dikaitkan karena imajinasi manusia tak dapat menolak untuk menganggapnya demikian. Tapi dengan logika dan nalar murni, kata al-Ghazali, dapat disimpulkan kemungkinan adanya keadaan tanpa waktu ketika penciptaan terjadi. Tuhan Maha Kuasa; Ia dapat menciptakan sesuatu dari ketiadaan yang sehampa-hampanya. Creatio ex nihilio itu berangkat dari nihilio yang mutlak.    

Dengan itu, singgung Goenawan Mohamad dalam Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai, al-Ghazali sesungguhnya mencoba mengingatkan: Tuhan itu tak terbandingkan. “Kullu mā khathara bi bālika, fallāhu bi khilāfi dzālik”, lanjut al-Ghazali dalam salah satu kitabnya.    

Perdebatan filosofis tentang asal-usul penciptaan itu memang pelik dan rumit, dan saya tak ingin masuk pada percaturan di dalamnya, apalagi hendak merumuskan bangunan metafisik tentang kekadiman dan kefanaan semesta serta tetek bengeknya. Ulama’ terkemuka Muhammad Amir al-Shan’ani, atau dikenal juga dengan nama al-Kahlani, pernah menulis sebuah buku bertitel Raf’u al-Astār li Ibthāli Adillati al-Qāilin bi Fanāi al-Nār sebagai counter terhadap pemikiran yang menganggap bahwa neraka juga akan hancur. Belakangan Agus Mustafa, yang konon katanya ahli tasawuf modern, menulis tentang “ke-abadi-an versus ke-tak-abadi-an” ini berjudul Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Saya tak tahu mana yang benar. Saya cuek saja. Toh, itu memang lahan para pakar dan filsuf untuk menguraikannya.

Barangkali benar pepatah Yahudi yang dikutip Milan Kundera dalam pidato penerimaan hadiah sastra Internasional dari Israel itu: “Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa”. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkan hidup dan kehidupan di dunia.

Tapi pada akhirnya saya berusaha meyakini satu hal: memahami kekosongan adalah isyarat ke-tidak-kekal-an. Satu periode dari dunia yang sementara. Nalar pun kelimpungan, lalu manusia menyebut nama kesementaraan untuk ketakterjangkauan: Tuhan.  

Surabaya, 17 Mei 2012



Post a Comment

Previous Post Next Post