Menuju Cemorokandang: Catatan Seorang Surveyor



Selasa, 22 November 2011. Setuju atau tidak, waktu paling menjemukan adalah ketika Anda barada dalam bis diterik siang yang memanggang. Tak ada AC. Hanya kepulan asap rokok para penumpang yang kadang keterlaluan. Di luar, mobil berseliweran memadati jalan. Para pengamen memaksakan diri meski suaranya kerontang. Beruntung kadang liriknya kocak. Jika tidak, dijamin siang akan terasa sangat membosankan.  

Jam tepat dititik 08.07. Saya berangkat menuju Malang. Kelurahan Cemorokandang, Kecamatan Kedungkandang, adalah nama yang tanpa sadar telah saya hafal sejak 3 hari sebelumnya. Terasa berat, sebab tujuan perjalanan ini bukan untuk senang-senang. Di batang otak saya banyak hal yang berputar-putar dan berseliweran. Bagaimana jika Pak Lurahnya judes? Bagaimana jika jarak antara lokasi RT target sangat berjauhan? Bagaimana jika peridzinannya dipersulit? Dan masih banyak bagaimana-bagaimana yang lain.

Malang barangkali memang sebuah kota yang akrab ditelinga. Jika pun tidak tiap hari, saya termasuk salah seorang yang sering mengunjungi kota yang dikenal dengan wisata alamnya ini. Ditiap event ekstra kampus, Malang dengan kota “Batu”-nya adalah lokasi favorit untuk melaksanakan acara-acara. Batu Malang adalah lokasi strategis untuk melepas penat dari rutinitas keseharian kota, seperti Surabaya.

Tapi ini benar-benar beda. Bukan piknik keluarga. Bukan hendak nyambangi acara ekstra kampus yang sarat euforia. Ini jelas kerja yang menantang, dan tentu akan memompa andrenalin yang panjang.

Tanpa bekal pengetahuan yang memadai, saya tetap berangkat. Modal pasrah dan nekat. Berkali-kali saya sms teman-teman di Malang, tapi jawabannya sama: “Kayaknya saya pernah lewat disitu deh. Cemorokandang sepertinya banyak orang Maduranya”. Begitu balasan sms mereka. Tapi hati saya berbunga-bunga. Nasionalisme etnisitas – meminjam istilah Cornelius Lay – muncul secara tiba-tiba. Ketika Anda kebingungan di tanah rantau atau di tengah jalan, carilah orang yang seetnis dengan dengan Anda. Pada saatnya, ikatan primordialisme kesukuan bisa menjadi senjata ampuh agar orang percaya pada Anda.

Diktum itu benar-benar manjur ketika setiba di Terminal Arjosari, seorang laki-laki setengah baya menghampiri saya. “Ojek, Mas?” Basa-basi ia bertanya. Otak saya mulai bekerja. Waktu saya di Malang cuma empat hari. Jika hari pertama saja saya begitu kerepotan mencari lokasi survei, jelas itu pertanda yang sedikit tak baik. Belum lagi secara demografis saya benar-benar nol persen tentang kelurahan Cemorokandang. “Kok mahal banget. Jauh banget to, Pak?” balas saya, basa-basi juga. “Lumayan, Mas. Akan sangat lama jika naik Angkot,” jawabnya.

Sedikit negosisasi, akhirnya tarif 25.000 turun menjadi 20.000. Tak banyak memang. Tapi tanpa pikir panjang pun saya ikut tukang ojek yang ternyata berasal dari Pamekasan ini. Percakapan mengalir sepanjang perjalanan. Panjang lebar ia bercerita keluarganya, sudah berapa lama merantau di Malang, di mana anak-anaknya. Dan yang paling menarik, tukang ojek yang bernama Addul ini tak tahu persis lokasi kelurahan yang saya targetkan. Ya, orang Madura memang benar-benar luar biasa. Tak paham lokasi tujuan pun bisa memaksa orang sedikit percaya...

# # #

Center for the Study of Religion and Culture. Orang-orang menyingkatnya menjadi CSRC. Pusat Kajian Agama dan Budaya, salah satu lembaga di bawah naungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerjasama dengan MPR RI, mengadakan survei nasional dengan tema “Studi Evaluasi tentang Efektifitas Pemasyarakatan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Tujuannya adalah untuk menggali informasi mengenai seberapa jauh masyarakat secara nasional mengetahui, memahami dan telah mempraktikkan nilai-nilai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ya. Empat pilar berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD RI 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Mengetahui sejauhmana masyarakat bangsa ini mempraktikkan nilai-nilai dari keempat pilar tersebut adalah sesuatu yang penting bagi para petinggi negara. Itu yang saya tangkap dari semngat survei ini. Tanpa terjebak dalam term pragmatisme, kerja kita termasuk proyek kemanusiaan. Jadi kita dapat ganjaran. Begitu retorika seorang teman.

Tapi coretan ini memang tidak berpretensi mengkaji hal-hal yang berbau politik kekuasaan, tetapi lebih sebagai catatan pengalaman pribadi ketika menjalankan peran surveyor di lapangan. Bukan tugas saya menguliti kebijakan MPR RI yang bekerjasama dengan CSRC melakukan survei ke 33 propinsi di seluruh Indonesia dengan 2.500 responden ini. Sekali lagi, itu bukan keahlian saya. Jika toh ada sedikit “kajian” dan “kritik” dalam catatan ini, sama sekali bukan untuk mengoreksi, tetapi hanya sebagai refleksi diri. Jadi benar-benar subjektif dan sangat pribadi.  

Bagaimana pun sebuah perjalanan telah didesain sedemikian rupa, arah yang ditempuh seringkali tak sesuai peta dan bahkan berbeda. Persiapan yang ma
tang, baik dari sisi konsep teoritis dan prosedural-teknis, sama sekali tak menjamin perjalanan akan mudah dan lancar. Logika itulah yang membuat saya rela menuliskan sedikit cerita pengalaman menjadi surveyor ini.

Merjosari, Malang, 22 November 2011

  

Post a Comment

Previous Post Next Post