Dari Ancol ke Kota Tua

Di Dermaga Hati, Ancol.

Seorang perempuan cantik dan seksi berjalan teratur mengitari kolam, tapi bukan tempat berenang. Langkahnya seolah dibuat gontai. Pinggulnya sedikit meliuk-liuk. Seperti para kontestan yang melenggak-lenggok di atas catwalk, dimana para juri dan penonton memelotokan matanya karena tubuh-tubuh seksi gentayangan di depannya. Sekujur tubuh perempuan itu dibalut pakaian tipis warna hijau. Sangat tipis. Jika dilihat dari jarak lumayan jauh, mungkin dikira sedang telanjang.

Menunggu komando, perempuan dengan tubuh semampai itu lalu bersalto, menyelam ke dalam kolam seperti puteri duyung. Menyembul ke permukaan, lalu menyelam lagi. Berkali-kali. Ketika peluit melengking, tiba-tiba beberapa ekor ikan Lumba-lumba melompat dari kolam-kolam kecil di sebelah kolam tadi. Mulailah atraksi menakjubkan dari kawanan Lumba-lumba ini memukau para penonton yang duduk berjejer mengelilingi kolam. Yang paling mengesankan, bahkan saya kuat menyimpannya dalam ingatan sampai sekarang, adalah ketika mereka bergantian melompat ke dalam lingkaran api. Sungguh luar biasa!

Visualisasi adegan di atas adalah kilasan memori yang masih melekat hingga saat ini ketika saya menuliskannya. Kurang lebih akhir dekade 80-an. Umur saya mungkin belum genap 5 tahun. Jangankan istilah Gelanggang Samudera, arena khusus tontonan Ikan Lumba-lumba, nama Ancol pun masih belum akrab di telinga. Saya hanya mendengar kota bernama Jakarta. Beberapa family merantau ke sana. Dan kala itu, orang tua saya sedang mengunjunginya.

Lebih 20 tahun kemudian, Rabu, 21 Desember 2012, apa yang saya lihat di Ancol benar-benar beda. Memori saya seolah memaksa untuk berputar kembali ke masa kecil dulu. Tapi saya gagal menemukannya. Sejauh mata memandang, suasana asinglah yang ada. Perubahan barangkali memang keniscayaan dunia. “Panta rhei kai uden menei”, kata Herakleitos, filsuf dialektis pertama kelahiran Efesus, salah satu kota Yunani Kuno itu . Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Semuanya berubah. Tak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri. Wisata yang dikenal dengan Dunia Fantasi-nya ini telah disulap menjadi sorga imajinal dunia. Bahkan melampaui ranah imajinasi. Beyond imagination, kata sebuah iklan di televisi.

Berangkat ke Ancol bagi saya bukan suatu agenda yang direncanakan. Awalnya hanya bincang-bincang iseng dengan seorang teman bernama Pangeran MJ. Syaujana. Tinggal di daerah Pademangan, dekat dengan lokasi pantai yang terkenal dengan Dermaga Hati-nya ini, Ancol tak lebih dari sekedar tetangga. Berkunjung tiap hari pun sangat bisa. “Emang Ancol dekat dari sini, ta?”, tanya saya disela obrolan. “Sebelah tetangga ini udah Ancol kok…”, jawabnya santai, ”entar agak sorean kita ke sana. Aku yang tanggung semuanya.” Ah, andai saya seorang gadis, pasti saya tembak dia untuk jadi pacar saya. Tajir amat orang-nye! Sumpeh!

Begitulah. Jam empat lebih beberapa menit, saya dan “pacar dadakan” saya keluar cari buku, sekitar daerah Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Ada beberapa list judul buku yang tercatat dari memori. Sayangnya, hampir sejam muter-muter, judul yang saya cari belum ketemu. Akhirnya, “jika di kios sebelah juga nggak ada, kita balik aja..” , seru saya kemudian.

Sore belum rebah sepenuhnya. Jalanan sedang macet separah-parahnya. Inilah ironi Ibu kota bernama Jakarta. Selama blangko KTP dan KK masih bisa dicetak dan tersedia di kantor kelurahan, siapa pun boleh menjadi penduduknya. Jumlah mobil baru terus bertambah tiap tahun, tapi angka-angka pengangguran dan rakyat miskin kota tak jua menurun. Hutan-hutan beton terus saja tumbuh dan berkecambah, tapi gubuk-gubuk reyot masih berdesakan dimana-mana. Paradoks Jakarta kian kentara. Rasio jumlah penduduk dengan lahan pemukiman sama sekali tak digubris. Begitu juga kuantitas mobil dengan kapasitas jalan yang sama sekali tak berimbang. Tapi semuanya seolah dibiarkan. Kalau pun ada solusinya, ya hanya sebatas wacana dan retorika belaka. Di titik inilah saya sering bertanya, apa hebatnya kota bernama Jakarta?

Maka tak heran jika Joseph E. Stiglizt menyatakan statemen yang menggelitik tentang negara kita. Bagaimana mungkin rakyat Indonesia tergolong miskin-miskin, sementara tiap hari mobil-mobil mewah berdesakan di jalan-jalan. Mall-mall sesak oleh pera konsumen. Itulah barangkali kondisi objektif hasil perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal. Pembangunan hanya bisa dinikmati golongan borjuasi. Yang miskin terus tergerus dan mati. Kebijakan pemerintah memang cenderung pilih kasih dan mungkin juga setengah hati. Ya, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah, kata Stiglizt. Ah, barangkali dia benar-benar lupa bahwa di Negara bernama Indonesia, jurang antara yang kaya dan yang miskin begitu menganga…

Memandangi Jakarta dengan logika paradoksnya, tiba-tiba mengingatkan saya pada salah satu tulisan Prie Gs. dalam kumpulan kolomnya Nama Tuhan dalam Sebuah Kuis. Dulu saya membelinya di Kampoeng Ilmoe, jalan Semarang, tempat buku-buku termurah loakan di Surabaya. Murah memang, tapi sungguh bermanfaat ketika ban motor yang kami tumpangi pecah, dan Jakarta sore menampakkan keruwetannya yang sempurna. Jakarta ini payah. Seru batin saya.

Alkisah. Tersebutlah seorang pengamen jalanan yang sukses rekaman di Jakarta dan langsung hidup bak pangeran. Menjulang namanya, cantik istrinya, banyak mobilnya, mewah rumahnya. Tersebutlah seorang buruh rendahan yang diubah Jakarta menjadi pengusaha kaya raya. Tiap tahun pulang kampung sebagai sinterklas. Jalan-jalan kampung dia aspal, tetangga dan handai taulan dia santuni, sanak keluarga dia beri modal usaha. Tersebutlah pegawai kroco yang sukses menjadi petinggi karena pindah ke Jakarta. Besar kekuasaanya, tinggi kedudukannya, dan mencengangkan fasilitasnya.

Jika tak salah, itu kurang lebih salah satu paragraf dalam Kepada Engkau yang di Jakarta, satu kolom yang ditulis Prie Gs sekitar awal dekade 2000-an. Setelah hampir satu dekade, Jakarta sepertinya tak jauh beda. Atau mungkin tambah parah saja. Menyimak kisah di atas, siapa yang tak tergiur mendatangi Jakarta? Dan cerita yang membius itu kita embuskan ulang ke anak-anak kita. Jika ingin maju, Jakarta tempatmu. Jika ingin mencari kerja dan kaya raya, datanglah ke Jakarta.

Ya. Sebuah cerita barangkali memang bisa menghipnotis siapa saja. Saya sendiri punya banyak famili yang merantau ke Jakarta. Bagi mereka yang hanya mendengar namanya saja, Jakarta mungkin dianggap taman surga. Ada Ancol dengan pantai dan bangunannya yang eksotis. Ada Taman Mini Indonesia Indah dengan berbagai ornamen nusantara di dalamnya. Ada Tugu Monas (Monumen Nasional) yang menjulang tinggi dan menjadi bukti prasasti sejarah bangsa ini. Yang lebih memabukkan, Jakarta adalah tempat para artis dengan tubuh seksi dan wajah cantiknya. Ah, Jean Baudrillard benar. Media, utamanya televisi memang berperan utama dalam menghipnotis manusia dengan penuh fantasi dan simulakra.

Tapi benarkah Jakarta seindah ceritanya? Saya sendiri kadang meragukannya. Apa asyiknya jika tiap hari yang disajikan Jakarta hanya kemacetan dan keruwetannya. Di satu sisi, gedung-gedung kaca dengan genit lampunya di malam hari bisa saja menggiurkan. Tapi bukankah itu sama saja membuat Jakarta hanya menunggu kematinnya? Jangan tanya soal banjir, karena Jakarta memang ahlinya. Inilah kota tempat gundukan sampah cepat menggunung dan menebarkan bau busuk, dan baru diangkat ketika seorang petinggi negara hendak meninjau. Sungai-sungainya berubah fungsi menjadi tong sampah tahunan. Tak heran, barangkali mengurusi sampah di Jakarta sama susahnya dengan mengurus negara.

Dalam kondisi semacam itu, bukankah Jakarta lebih tepat disebut sebagai kamp pengungsian saja? Begitu ungkapan satire Bung Prie dalam buku yang sama. Itulah sebabnya meski telah penuh sesak, orang-orang tetap berduyun-duyun mendatangi kota yang sedang mengunggu ajalnya ini. Kampung-kampung di Jakarta telah penuh, tapi KTP resmi relatif gampang diperoleh.

Ah, kenapa tiba-tiba saya malas bercerita tentang Jakarta. Padahal saya hanya ingin berbagi sekelumit perjalanan dari Ancol hingga ke Kota Tua. Itu niat awalnya. Tapi entahlah, tiba-tiba saya loyo menuliskannya. Jakarta, semoga penyakitmu segera sirna...

Malam Jum’at, 23 Desember 2011. Pukul 02.33 WIB.

Griya Asri 2, Tambun, Bekasi
Di luar, gerimis masih berdenting satu-satu.

-------------------------------------
Untuk Ustad Wahid Abdullah,
Terima kasih atas Rumah Singgah dan Taxi Famili Indah-nya ya.
Buah Jambu depan rumahmu itu manis sekali!

Untuk Pangeran MJ. Syaunaja,
Terima kasih atas fasilitas dan cerita-ceritamu.
Jika mencintai hanyalah semata-mata urusan memiliki, sungguh, betapa dunia ini akan sesak oleh manusia-manusia yang sakit hati.  







Post a Comment

Previous Post Next Post