Awalnya Adalah Membaca


Awalnya adalah membaca. Ya, membaca. Pekerjaan memelototi huruf demi huruf ini sudah menghantui imajiku sejak kecil. Ibuku yang seorang pedagang kecil “rumahan”, di sela-sela jeda kerjanya, masih sempat membaca novel silat semacam Wiro Sableng dan roman-roman Indonesia lainnya. Ketika beberapa tahun kemudian aku mulai rakus melahap novel-novel fiksi Islami dan majalah Annida, Ibu ternyata masih juga menyempatkan membacanya. Aku masih ingat bagaimana Ibu dengan antusias mencerna Novel Trilogi Pada-Mu Aku Bersimpuh karya Gola Gong yang kubawa dari pondok.

Sambil duduk santai, bahkan kadang berselonjor dia membolak-balik halaman demi halaman sembari menunggu tetangga datang membeli dagangannya. Jeda rutinitas yang menyenangkan. Begitu mungkin pikirnya. Dan kelak aku sadar, Ibu yang cuma lulusan SD itu, bukanlah orang yang gemar membaca, melainkan hanya mengisi waktu luangnya saja. Membaca bukan menjadi kebutuhan, melainkan sekedar pengganjal kekosongan.

Jika Ibu adalah penikmat novel non profesional alias amatiran, maka Bapakku lebih sring membaca kitab kuning, meski hanya sekelas Safinah dan Sullam. Kelak aku harus bersyukur karena meski dengan keterpaksaan dan bahkan tangisan, didikan Bapakku dengan sistem sorogan-nya mampu mengantarkanku pada semangat yang menggairahkan. Ternyata kedisiplinan memang harus dipaksakan, begitulah teori yang kemudian kudapatkan.

Maka diktum yang beliau tanamkan bahwa menjadi pintar adalah pilihan terus mengiang-ngiang di kepalaku. Pabeten dhibi’, begitu Bapak selalu mengingatkan di setiap kiriman bulanan. Ah, lagi-lagi kelak aku baru paham bahwa keyakinan selalu mengantarkan pada keteguhan. Bapak hanya percaya bahwa membaca adalah ibadah. Membaca adalah perintah. Tak lebih. Tak ada target apapun dalam ritual “membacanya”. Maka tak heran meski dia sering membaca, tapi tak juga pintar dan vokal.

Takdir barangkali selalu menunjukkan jalannya yang sempurna. Tepat menginjakkan kaki pertama kali di pondok, aku bertemu dengan Suhairi Rahmat, penulis yang sekarang cerpen-cerpennya banyak menyesaki media massa. Dia sudah kelas 3 Aliyah dan hampir lulus ketika aku masih mau masuk MTs. Persamaan daerah membuat kami makin akrab. Dia berasal dari Lenteng, dan aku Kalianget. Sama-sama dari Sumenep. Hampir tiap hari dia selalu memaparkan hasil karyanya, baik berupa cerpen maupun puisi. Dari situlah keinginan untuk menulis muncul di jiwaku.

Mulailah aku menyetorkan cerpen “lugu” perdanaku berjudul “Kakek Sang Pemancing”, yang kemudian direspon dengan pujian, meski sebenarnya sangat tidak layak untuk dipuji. Ah, logika yang menggelikan. Tapi jujur memang ada kebanggan yang rebah dalam dada. Dan nalarku semakin antusias ketika liburan pondok aku sering membaca puisi-puisi gubahan paman dan sepupuku yang mondok di Guluk-guluk dan Al-Amien. Aku semakin tertarik untuk belajar menulis puisi!

“Menulis itu pilihan hati. Sama dengan ketika kamu memilih kata-kata dalam puisi”, jawab pamanku dengan sedikit senyum, ketika kutanya bagimana cara menulis puisi. Saat itu belum terpikirkan di otakku bagaimana pola penulisan yang baik dan benar, buruk atau salah. Yang kutahu, puisi-puisi yang kubaca dari pamanku adalah baik dan indah, meski sama sekali ku tak paham apa maksudnya. “Menulislah tiap hari dan jangan berpikir apakah tulisanmu jelak atau bagus!”, tambahnya penuh nyala di matanya. “Kelak, tulisanmu akan bagus sendiri!”.

Ya, kata-kata itulah yang melejitkan imajiku dengan kegiilaannya yang suspens. Dari saking “gilanya”, aku tidak mampu membedakan antara hingar dan hening. Antara siang dan malam. Sama saja. Dimanapun dan kapanpun, sajak haruslah tercipta. Maka hampir tiap pengajian rutin Jurmiyah dan Kailani ba’da Isya’, di kantong bajuku selalu berisi bungkus rokok yang telah kubelah, lalu kutulisi dengan larik-larik puisi yang sebelumnya berjejalan dalam liang-liang imaji. Ah, demi puisi bahkan aku rela berkali-kali ditegur oleh keamanan pondok karena melanggar saat pengajian!

Begitulah cerita awal bagimana aku berkenalan dengan makhluk bernama puisi. Hingga kini, ia masih hidup dalam hati. Sangat berarti, meski tak pernah benar-benar kupahami.
09/12/2010

Post a Comment

Previous Post Next Post