Dunia Fesbuker, Seberapa Pentingkah?

Seberapa berhargakah dunia pesbukmu, hingga baru bangun tidur pun, sebelum kau sikat gigi, respon alam bawah sadarmu mengharuskanmu terkoneksi dengannya?

Satu persatu, kau lalu mencerna status-status sahabatmu. Sambil tertawa, kau lalu mengomentarinya, entah itu serius atau malah guuonan belaka. Lalu, karena bosan dengan display language pesbuknya yang dipakai orang kapir, temanmu yang lagi menggandrungi matakuliah linguistik menyarankan Mark Zuckerberg agar memasukkan bahasa Jawa dan Madura sebagai alternatif pilihan bahasanya. Sungguh, itu ide tergila sepanjang masa dan tiada duanya.

Di lain waktu, kau bertemu dengan karakter cinta sahabatmu yang ganjil tapi selalu membuatmu terharu. Melalui status-statusnya, ia berusaha mengabadikan kesetiaan cintanya dunia-akhirat, melampaui batas ruang-waktu, selamanya, atau mungkin lebih dari selamanya. Mengirimi istrinya kado puisi terindah yang pernah tercipta di dunia, padahal istrinya sudah bahagia di "alam sana". Bukankah itu bukti komitmen cintanya yang sungguh teramat sangat luar biasa? Sumpah, kisah Layla-Majnun tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kisah asmaranya. Orang lain boleh menyebutnya sakit jiwa, tapi ia sangat bahagia. Terlalu bahagia.

Beda dengan karibmu yang pandai memelihara kenangan-kenangan, sahabatmu yang lain sangat gemar pada wartawan. Mungkin ia merasa dirinya eksis jika diliput oleh media. Tapi, karena media tak jadi memuatnya, lalu ia upload foto hasil wawancaranya di pesbuk saja. Sungguh, itu strategi jitu pencitraan yang tidak pernah terpikirkan oleh pakar komunikasi media sekalipun.

Dan, setelah bertahun-tahun mengikuti media sosial yang tak pernah sedetikpun istirahat ini, kau tak akan terkejut bin heran jika para pakar bahasa disibukkan oleh ulah manusia-manusia alay yang memodifikasi kata semangat menjadi "cumungut", banget menjadi "bingit", siapa menjadi "capa", dan seterusnya, dan sebagainya, dan sengawurnya. "Yah, tapi itu kan salah satu bentuk dialektika", argumenmu suatu ketika. Dengan dalih program Pemeliharaan Bahasa, pemerintah pasti ikhlas menggelontorkan dana demi keamanan dan kesejahteraan bersama.

Itu belum lagi program Revolusi Mental bagi mereka yang dikit-dikit otw, lagi di mall ini, lagi nongkrong di cafe itu, lagi tidur di hotel anu. Kau pasti tertawa mengingatnya. Narsis bingit, ya? Emang siapa yg tanya? Haha. Untung juga para Da`i masih punya rasa malu untuk tidak vulgar-vulgaran mengiklankan dirinya di televisi atau sosmed. Jika tidak, maka niscaya mereka akan berkata: "Undanglah saya di acara bla bla bla...". Kelak, jika ada seorang Kiai yang berani beriklan secara revolusioner seperti itu, sumpah, saya akan mengundangmu dan seluruh rakyat Indonesia untuk tasyakkuran halal bihalal bersama.

Hemmmmm. Kau sudah mulai bosan dengan ocehanku, bukan? Singkat cerita, suatu hari, pada bangun tidurmu yang kesekian, ada yang menggelisahkan batinmu tapi bukan lantaran kekasihmu yang pergi menjauhimu diam-diam atau karena jatuh tempo tagihan bulanan. Terasa ada yang hilang, dan ini sangat transenden dan tak terlukiskan. "Jejaring sosial mampu menyuguhimu ilusi yang menghanyutkan," bisikmu pada pagi dengan kesiur angin yang tenang, "Narasinya sarat dengan trend-trend yang berdesakan, di mana penghuninya bangga dengan tabiat-tabiat palsu yang membingungkan. Inginnya meneguhkan eksistensi, tapi yang didapat hanyalah delusi. Kasihan sekali".

Tanpa sadar, kau meraba perutmu yang keroncongan. Itu masih pagi-pagi amat sebenarnya, tapi kau dikagetkan sebuah suara: "Hoiiiii, tangio. Awakmu ono kuliah jam piro?"

Sembari mengucek matamu yang setengah terpejam, kau mengigau tanpa sedikit pun beban dosa: "Luwe, bos. Pacarku wes tekko opo ora?"

Kos Pojok Romantis,
Minggu, 26 Oktober 2014
(Di luar, aroma Batagor Tiara Bandung benar-benar mengusik indra penciuman. Itu sungguh menciptakan kegalauan)
Suk

Post a Comment

Previous Post Next Post