Setelah Lebih 9 Tahun: Reuni Perdana Alumni MA Bata-Bata 2005

Saya menulis catatan ini tepat pada saat rembulan jelang purnama. Bagaimana rasanya jika perjumpaan setelah lebih dari 9 tahun membuat dadamu berdentum dg letupan rasa haru dan bangga?

Terbangun tengah malam, saya lalu berpikir untuk mengabadikan momentum yg jarang saya alami, tepat pada dini hari menjelang reuni perdana ini. Kami berpisah satu sama lain setelah lulus dari pondok pasca tugas pengabdian di tempat masing-masing. Pertemuan ini bagi kami, paling tidak menurut teori saya pribadi, adalah sesuatu yang sakral sekali. Satu perjumpaan primordial, pertemuan agung, di mana Tuhan akan mencahayai kemesraan kami dengan keberkahan yang abadi dan sejati.

Saya bermalam di rumah seorang teman bernama Syafi'uddin, yang sejak dari pondok dulu sampai sekarang sering dipanggil Mat Gerra karena cara dia berjalan mirip seperti tentara. Lucu sekali tatkala mengingatnya. Ditemani Abdul Aziz si jebolan Al Azhar University Mesir yg juga Hafidh al Quran, Syafi'i Bang Jack si aktivis ulung dan politisi partai Hanura, Ridwan Batuampar, juga Mahrus Ali si pendidik ini, saya merasa bahagia sekali karena sejak ide tentang reuni berseliweran di benak kami beberapa tahun yg lalu, sebentar lagi bakal dihelat di rumah saudara Salamet Pangerreman, tak jauh dari tempat saya menginap ini.

"Teman-teman yg dari luar kota atau mereka yg mau hadir duluan sehari sebelum acara, bisa bermalam di rumah saya atau Mat Gerra. Tapi mungkin lebih baik di Mat Gerra saja, soalnya kalau di rumah pasti ramai dan kurang leluasa," kata Salamet si Tuan Rumah acara beberapa hari sebelumnya. Ia kerap menghubungi saya via hp, menanyakan kondisi teman-teman seangkatan untuk kesiapan reuni perdana. Ia memang tuan rumah yg penuh tanggung jawab dan bersahaja, di mana spontanitas kecerdasan humoriknya selalu mengundang tawa. Dan saya paham makna diksi "kurang leluasa" dari kata-kata, atau lebih tepatnya intruksinya.

Pagi hari, 10 Agustus 2014
Acara dimulai oleh suara MC yg menggelegar. Menurutnya, perjumpaan kali adalah kumpulan dari beberpa rentetan, yakni walimatul hamli, rutinitas bulanan IKABA, sekaligus Reuni Perdana Alumni MA 2005.

Walimatul hamli, kita tahu, selalu diikhtiari satu konsep mulia tentang ilmu parenting, di mana keterlibatan orang tua dalam mendidik calon anaknya dimulai bahkan sebelum si anak lahir ke dunia. Pancaran doa-doa yang dilangitkan oleh para tamu undangan, kebahagian yang brsinar di wajah keluarga, menjadi energi positif yg membekali si jabang bayi dalam kandungan. Itu tradisi dan kearifan lokal masyarakat madura dan Jawa pada umumnya, yang sudah diestafetkan jauh sebelum ilmu kedokteran dan psikologi modern mengurai keterhubungan aktivitas dan sugesti-sugesti seorang ibu terhadap perkembangan calon anaknya.

Berbeda dengan acara walimatul hamli yang diisi dengan lantunan doa-doa, pembacaan surah Yaasin dan Shalawat bersama, agenda rutinitas IKABA barangkali merupakan salah satu ijtihad kolektif yg dihelat untuk menyatukan persepsi bahwa silaturrahim dan kondisi real objektif di tengah-tengah masyarakat selalu dinamis dan harus terus diupayakan semaksimal mungkin pemecahan dan terobosan solutifnya. Di sesi ini, peserta undangan ber-bahtsul masail, bertanya jawab soal problematika yang terjadi di masyarakat, mulai dari masalah ubudiyah seperti shalat dan ibadah mahdoh lainnya sampai pada persoalan mu'amalah seprti persoalan pilpres dan TKI-TKW. Sebelumnya, Raden Isbat Abd. Qadir sebagai sesepuh mendaraskan kitab Risalatul Mu'awanah, dan para tamu undangan menyimak dan memaknai.

Saya jadi teringat masa-masa di pondok dulu, saat ekspektasi akan ilmu begitu meluap-luap, on betul, meski saat ndaras kitab imaji saya nakal sekali: ngaji kitab tapi sesekali ngarang puisi!
Yang menarik dari bahtsul masail ini adalah satu pertanyaan yg dilontarkan oleh Ustad Syahidi. Ia mengaku seringkali was-was saat membaca Al Quran, di mana firman Allah menurutnya acap teragukan. R.K.H. Moh. Tohir Zain, salah satu Dewan Pengasuh PP. Mambaul Ulum Bata-Bata, menjawab pertanyaan itu: bahwa keraguan adalah manusiawi. "Dan itu sangat menguntungkan karena keraguan adalah bukti adanya iman," katanya. Hanya saja, meragukan keabsahan Al Quran sangat membahayakan, lanjutnya. Menurut R. Isbat, kasus kewaswasan mengingatkannya bahwa sesungguhnya ada istilah waswas sejati. "Kalau kau waswas dalam hal ibadah, tapi tidak waswas soal uang, maka waswasmu adalah ilusi," jelasnya.

Soal waswas ini mengingatkan saya pada apa yang pernah dialami Hujjatul Islam Al Ghazali, ketika di dadanya terjadi petentangan antara filsafat dan agama. Katanya, "kita tidak akan pernah sampai pada kebenaran dan keyakinan yg purna, sebelum kita pernah benar-benar meragukannya". Begitu kira-kira.

Acara demi acara terus berlangsung, sampai tiba pada penghujungnya. Di tutup dengan doa, para tamu undangan berpamitan, kecuali kami para alumni yang seangkatan.

Kami lalu melanjutkan perbincangan non formal, lepas kangen, saling tukar kabar "anakmu berapa, rumahmu di mana". Tentang poin ini, saya tertohok dengan telak oleh kalimat yang didengungkan oleh RKH. Tohir Zain, persis saat beliau beranjak pulang dan kami 'acabis':"Mana anakmu, Ha'? Istrimu di mana?"

Tanya yang menagih jawab. Mungkin juga sebentuk afirmasi yg membutuhkan verifikasi. Bagi saya, kedua-duanya sama-sama negatif, jawabnya masih 'belum'. Dan saya menjawabnya dengan bahasa diplomasi, meski di hati benar-benar mengamini: "InsyaAllah sebentar lagi".

Beliau melanjutkan, "reuni itu tidak sempurna tanpa mengikutsertakan seorang istri". Kalimat yang terngiang terus di kepala bahkan sampai saat menulis catatan ini. Dan kau pasti tahu, perbincangan para santri yang baru menikah dijamin tidak luput dari konten kitab Qurratul 'Uyun ini. Saya dan beberapa teman yang belum menikah pasti kalah telak jika pembahasannya menyangkut soal 'kaidah suami-istri ini'.

Tiba-tiba saya teringat petuah yang diyakinkan guru saya, "Kelak ketika usia pernikahanmu sudah melewati setahun dua tahun, kau akan sadar bahwa kecantikan fisik istrimu tidak berarti banyak bagi kehidupanmu. Saat itu, seks sudah turun levelnya ke nomor yang kesekian. Yang paling indah dan menenteramkan hatimu adalah kesetiaan istrimu, perhatiannya, cara berpikirnya, dan yang paling penting adalah budi pekerti dan agamanya. Kau akan tahu dan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya".

Itulah beberapa poin penting yang saya dapat dari reuni perdana alumni MA Mambaul Ulum Bata-Bata angkatan 2005 ini. Melingkar sambil ditemani kacang dan hidangan renyah lainnya, kebahagiaan benar-benar memancar dengan hati berbunga-bunga. Kondisi bising sound sistem terus menggema, tapi itu tidak mengganggu perbincangan kami.

Kenangan-kenangan saat masih di pondok tiba-tiba menjadi sesuatu yang renyah untuk diprasastikan. Kenangan adalah yang bersemayam dalam ingatan. Pahit getirnya tetap terasa indah sebagai bumbu kehidupan.

Madura - Surabaya, 10 - 12 Agustus 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post