Saya sering mengungkapkan secara gamblang, entah itu di laman fesbuk dan di berbagai forum kajian, bahwa ngeblog itu sesungguhnya adalah belajar menyuembuhkan diri, terapi diri. Terapi yang saya maksud di sini adalah proses untuk terus-menerus menemukan kesejatian diri, kedirian diri. Mengapa harus dengan blogging? Alur berpikirnya begini.
Kita mungkin bakal belepotan untuk mengikuti arus perkembangan teknologi yang tak kunjung berhenti. Kelahiran generasi hasil pencangkokan teknologi terus digalakkan meski kita belum paham semua itu dibuat untuk apa, untuk kepentingan siapa, seberapa besar manfaat dan merusaknya, dan yang bisa kita lakukan adalah terus bertanya. Bertanya mengandaikan satu prosedur ilmu, dan bangunan ilmu bakal menguat dengan terus bertanya. Ada dialektika di sana.
Saya jadi teringat pernyataan menarik Manuel Castell dalam The Rise of the Network Society, bahwa "masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub, yaitu kutub jaringan dan kutub diri, the Net and the self". Statemen itu bukan isapan jempol belaka, melainkan sudah menjadi fakta objektif yang menggerogoti masyarakat di abad informasi ini. Kita kehilangan titik diri di tengah-tengah percepatan yang berlangsung terus, di mana diam sama dengan mati. Itulah ancaman paling mengerikan dari makhluk bernama kapitalisme dengan globalisasi sebagai kendaraan utamanya.
Maka, jika kita mau sedikit mengurai lebih dalam tentang falsafah blogging, akan ada korelasi linier antara belajar menemukan diri di jagat informasi dengan budaya nulis di blog. Ritual menulis selalu mempersyaratkan intensitas baca yang solid agar uraian kata, kalimat dan paragraf yang kita anggit mampu tercerna secara sistematis. Artinya, menulis itu sesungguhnya jalan paling mudah untuk mengerti siapa diri dan identitas kita sesungguhnya. Tapi, sebelum menulis, membaca menjadi prasyarat mutlak yang tak bisa ditawa-tawar. Di sinilah teori saya bahwa ngeblog adalah terapi menemukan pijakannya. Sebab, "dunia dan hidup kita", kata Castell dalam The Power of Identity-nya," sedang dibentuk oleh trend-trend yang saling bergesekan, yaitu globalisasi dan identitas".
Di tengah gesekan itu, blogging menawarkan satu komintmen untuk menempa diri dengan budaya baca dan nulis. Dan, itu satu-satunya cara terbaik untuk mengimbangi kultur permissif yang belakangan semakin santer terjadi di dunia netter, terutama di jejaring sosial yang disalah gunakan sebagai media caci-maki, saling serang argumen tanpa kematangan emosional. Di dunia maya yang tanpa batas, siapapun boleh menulis, mempublikasikan, mengeluarkan apa saja, bahkan aurat yang paling rahasia sekalipun. Bukan hanya aib diri sendiri, bahkan aib orang lain sah diumbar dan tanpa pertanggung jawaban apa-apa.
Itulah kerangka dasar kenapa saya mengusulkan blogging sehat sebagai counter hegemony terhadap gelombang negatif yang setiap detik bisa mengintai dan menggerogoti para pemakai internet. Mari kita budayakan blogging sehat.
Kita mungkin bakal belepotan untuk mengikuti arus perkembangan teknologi yang tak kunjung berhenti. Kelahiran generasi hasil pencangkokan teknologi terus digalakkan meski kita belum paham semua itu dibuat untuk apa, untuk kepentingan siapa, seberapa besar manfaat dan merusaknya, dan yang bisa kita lakukan adalah terus bertanya. Bertanya mengandaikan satu prosedur ilmu, dan bangunan ilmu bakal menguat dengan terus bertanya. Ada dialektika di sana.
Saya jadi teringat pernyataan menarik Manuel Castell dalam The Rise of the Network Society, bahwa "masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub, yaitu kutub jaringan dan kutub diri, the Net and the self". Statemen itu bukan isapan jempol belaka, melainkan sudah menjadi fakta objektif yang menggerogoti masyarakat di abad informasi ini. Kita kehilangan titik diri di tengah-tengah percepatan yang berlangsung terus, di mana diam sama dengan mati. Itulah ancaman paling mengerikan dari makhluk bernama kapitalisme dengan globalisasi sebagai kendaraan utamanya.
Maka, jika kita mau sedikit mengurai lebih dalam tentang falsafah blogging, akan ada korelasi linier antara belajar menemukan diri di jagat informasi dengan budaya nulis di blog. Ritual menulis selalu mempersyaratkan intensitas baca yang solid agar uraian kata, kalimat dan paragraf yang kita anggit mampu tercerna secara sistematis. Artinya, menulis itu sesungguhnya jalan paling mudah untuk mengerti siapa diri dan identitas kita sesungguhnya. Tapi, sebelum menulis, membaca menjadi prasyarat mutlak yang tak bisa ditawa-tawar. Di sinilah teori saya bahwa ngeblog adalah terapi menemukan pijakannya. Sebab, "dunia dan hidup kita", kata Castell dalam The Power of Identity-nya," sedang dibentuk oleh trend-trend yang saling bergesekan, yaitu globalisasi dan identitas".
Di tengah gesekan itu, blogging menawarkan satu komintmen untuk menempa diri dengan budaya baca dan nulis. Dan, itu satu-satunya cara terbaik untuk mengimbangi kultur permissif yang belakangan semakin santer terjadi di dunia netter, terutama di jejaring sosial yang disalah gunakan sebagai media caci-maki, saling serang argumen tanpa kematangan emosional. Di dunia maya yang tanpa batas, siapapun boleh menulis, mempublikasikan, mengeluarkan apa saja, bahkan aurat yang paling rahasia sekalipun. Bukan hanya aib diri sendiri, bahkan aib orang lain sah diumbar dan tanpa pertanggung jawaban apa-apa.
Itulah kerangka dasar kenapa saya mengusulkan blogging sehat sebagai counter hegemony terhadap gelombang negatif yang setiap detik bisa mengintai dan menggerogoti para pemakai internet. Mari kita budayakan blogging sehat.
Post a Comment