Tadi siang saya menemani Kholis Hazard ke PO. Pandawa87 di Pasuruan, setelah urusan onderdil motor saya kelar didandani. Dia mau melunasi urusan administrasi dengan pihak penyedia bus.
Di sela rasa haus dan godaan untuk mökël, saya iseng buka koran Radar Bromo. Salah satu judul beritanya sungguh menakjubkan: "Rata-rata Perhari hanya Ada 4-6 Pengunjung".
Itu pengunjung perpustakaan, sodara-sodara! Bukan pengunjung gang Dolly di Surabaya!
Anda bisa bayangkan bagaimana jadinya jika perpustakaan, tempat ribuan buku-buku yang mengabadikan ilmu pengetahuan dan salah satu piranti kemajuan peradaban, sepi pengunjung dan miskin peminat. Tidak menarik. Kalah sama mall-mall tempat para muda-mudi membeli ilusi, juga jaaaaauuuh sepersekian persen "tidak lakunya" dibanding bazar Ramadhan tempat takjil surga bagi para pelaku puasa pemuas dahaga pencari pahala.
Singkat kata, perpustakaan nyaris seperti kuburan. Diingat sebagai maklumat keabadian, tapi tak pernah benar-benar jadi perhatian.
Lalu, siapa yang salah? Jawabannya adalah kita, orang dewasa. Tapi, akan lebih baik jika mencari akar masalahnya melalui cara pandang "apa yang salah", bukan "siapa yang salah".
Ya, yang salah adalah rasa abai kita terhadap minat baca anak-anak dan adik-adik kita. Kita seringkali sibuk mencari asupan gizi bagi jasad mereka, tapi tidak hati dan pikiran mereka.
Lhaaa, bagaimana mungkin kita mampu menanamkan tradisi membaca yang kuat menancap dalam hati generasi kita, sementara kita sendiri tidak memiliki kekuatan budaya baca. Itu kaspo namanya.
Maka, tak heran jika generasi kita lebih suka berkomen dan ber-share ria ketimbang benar-benar membaca. Pada gilirannya termakan hoax, lalu hancur karena tipu daya dan rekayasa. Sebab, hanya domba-domba yang gampang digiring kemana-mana.
Ya sudahlah. Dari pada mumet mikirin nihilnya tradisi baca, lebih asyik kalau saya ngajak Dek Raffi mengenal domba-domba, hamparan sawah, dan bebuah kêrês yang konon baik bagi kesehatan. Melihatnya secara langsung. Mengalaminya.
Sebab, salah satu kelemahan pendidikan kita adalah pola pengajaran materi melalui citra, bukan realitas dan fakta yg sebenarnya. Belajar tentang kambing hanya dari gambarnya saja. Padahal manusia butuh konteksnya, butuh baunya...
Perum Pekoren Indah, Rembang, Pasuruan
Post a Comment