Khutbah Jum’at Anti PKI

Perjalanan Surabaya – Pacet kamarin siang membuat saya optimis bahwa secara psikologis-kultural, manusia Indonesia memiliki mental tangguh sekaligus lucu.

Saya berangkat menuju Pacet untuk sebuah diskusi pada agenda MAPABA PMII Surabaya Selatan, tepatnya di Villa Cahaya, Claket, Pacet, Mojokerto. Kemarin malam, saya merayu sahabat Asrar-i Khudi Buku agar bisa berangkat bareng saya. “Fa, awakmu wes nang lokasi Mapaba ta?”, tanya saya.

“Belum, Cak. Masih di rumah. Ada apa?”

Hati saya girang. Ini peluang berharga. “Kapan meluncur?”

“Sabtu malam hehe”. Si bakul buku yang sering kulakan buku untuk dijual tapi akhirnya dikoleksi sendiri ini menjawab. Agak mau goyah pertahanan saya.

Tapi, saya memang pantang menyerah. “Aku ada jadwal besok habis Jumatan, Fa. Bareng ta?” Tanya saya bernegosiasi.

“Waduh, aku kerja, Cak. Hehe.”

Mati aku! Wah bahaya ini. Bahaya. Harus ada strategi untuk meluluhkan hatinya.

Maka, saya coba tertawa. “Wakakakkaa. Kerja kan bisa bolos tooo. Ojo rajin² tooo…”

Duuuh, kenapa ilmu “hitam” yang selama ini terpendam di ceruk paling dalam diri saya tiba-tiba menyeruak seketika. Entahlah. Kenapa saya bisa berkata seperti itu, saya masih heran. Kayaknya saya mulai ketularan si Ghanie Sengkuni ini, suara batin saya beralibi.

“Wkwk. Pengennya sih seperti itu, Cak.”

Waaah kok jawabannya seperti gayung bersambut, ya. Mulai terbuka peluang rayuan maut ini. “Ya sip ikuuu. Langsung eksekusi”.

Hahaha. Sisi hitam saya tertawa. Ini belum final. Sabar. Sabar. Sisi lain saya bergumam.

“Sampean nginep di sana atau balik setelah ngisi materi?”

Nah, si lelaki dengan nama agung Fathullah Romdlon tapi dipanggil Ojan Fafa ini mulai kena perangkap, sepertinya.

“Balik dulu lah, Faaa. Sabtu kalau angkatanku ada yg mau ke lokasi, aku ikut lagi…”

Semoga ini menjadi jurus pamungkas. Ayo segera tentukan, Fa. Tentukaaan!

“Nahh haha…” Jawabnya cuma ber-hahaha. Belum luluh juga jiwa raganya, ternyata.

“Lhaaaa ya kan essip to.” Saya coba meneguhkan. Ayo, Fa. Ayooo. Mulai tak sabar jiwa saya.

“Yowes ayo budaaal”.

Akhirnya girang juga saya. Tapi masih belum benar² percaya.

“Serius? Wkwkwkw.”

Ya, ternyata dia serius mau bolos. Tapi bolos itu bukan bolos, katanya, melainkan cuti. Di titik ini, saya baru benar-benar yakin bahwa apa yang disampaikan Sang Ekalaya beberapa minggu lalu benar adanya. Biar pun si Fafa kerja sama Cina, tapi jiwanya benar-benar merdeka.

Kami sepakat untuk berangkat sebelum Jumatan, setelah saya selesai “kelas” di PGMI. Sebagai bentuk penghargaan atas kesetiaan si Fafa kepada “senironya”, saya berkelakar ria: “Aku yang tanggung seluruh akomodasi dll-mu, Fa. Kan aku yang ngajak. Wkwkwkw.”

Singkat cerita, kami berangkat menuju lokasi acara setelah untaian qiraah ayat-ayat Quran melantun syahdu dari pengeras suara di masjid-masjid. Siang benar-benar terik, memanggang kaki kami yang telanjang.

Di tengah keringat yang mengucur, tepat di pertigaan Taman, Sepanjang, sebuah mobil pickup dengan body berwarna kuning bertuliskan “RA KOBER PREI” dan kalimat di bawahnya: “No time for love“, menyalip motor kami. Saya terhibur, dan lupa akan sekujur tubuh yang berkeringat di bawah matahari yang menyengat. Tangan saya menunjuk mobil itu, dan tampaknya Fafa mengerti maksud saya.

Tanpa saya komando, Fafa coba mengimbangi laju si pickup dengan presisi yang tertata, tepat di belakangnya. Lagi-lagi saya bangga punya sahabat “yunior” seperti dia. Lalu, jepreeettt!! HP butut saya berhasil mengabadikan gambar jenaka itu!

Motor kami terus melaju dan menyatu dengan debu jalanan. Sambil melirik kanan-kiri untuk mencari masjid, saya teringat beberapa saripati yang saya pahami dari berbagai forum Maiyahan, bahwa nalar humoris dan rasa “sumeleh” dalam menghadapi himpitan hidup, pada gilirannya, membikin beban berat di pundak manusia yang merdeka tampak sepele. Dunia terlalu remeh untuk diratapi. Seruwet apapun, sesumpek bagaimanapun, setumpuk persoalan hidup bisa “diselesaikan” dengan tertawa. Menghadapi hidup cukup debgan “bismillah”. Dan bagi saya, ekspresi yang tertuang di belakang pickup itu adalah contoh yang paling jenaka.

Tapi, rasa optimisme saya luruh seketika, saat seorang Khotib salat Jumat, di suatu masjid di sebelah kanan jalan, berteriak-teriak mencerca habis-habisan dan melaknat mati-matian orang-orang PKI. “Hari ini, jumat tanggal 29 September dan besok pagi kita bakal masuk 30 September di mana ada peristiwa besar yang sangat kejam,” teriaknya berapi-api dari atas mimbar. Saya menoleh ke Fafa yang duduk di samping saya, dan ia tersenyum sambil tertawa. Lagi-lagi dia paham maksud saya.

Ingin rasanya saya keluar dan mencari masjid lain, tapi sisi batin saya menolaknya. Lebih baik saya mencerna sumpah serapah yang keluar dari sang khatib dan mencatatnya. Maka, sambil mengaktifkan HP saya menuliskan beberapa poin yang saya tangkap, dan diam-diam saya tertawa.

Saya curiga bahwa si Khatib yang tampaknya lupa bahwa berteriak-teriak dan mengobarkan api dendam “masa lalu” itu bisa membikin lelah jiwa raga ini, membaca sejarah PKI versi beberapa web amtiran. Ia, misalnya, menyinggung Kongres Alim Ulama tahun 1957 di Palembang, yang menghasilkan beberapa poin, salah satunya bahwa ideologi atau ajaran komunis itu kufur, dan haram bagi umat Islam menganutnya. Singkat kata, baginya, komunisme itu ateisme.

Tidak cukup sampai di situ, menurutnya, siapapun yang menganutnya, maka dia termasuk kafir dan otomatis tidak sah menikah dengan orang Islam. Secara otomatis pula, hak warisnya terelemenasi, dan yang tragis, jenazahnya tidak diboleh diselenggarakan secara Islam.

Ingatan saya lalu melambung ke belakang, saat belajar sejarah Islam di pondok dulu, di mana Mu’awiyah sering melaknat Sayyidina Ali ra di mimbar-mimbar, juga beberapa kejadian aneh bin lucu saat pilkada DKI beberapa bulan lalu.

Pertanyaannya, sampai kapan kemelut PKI di masa lalu itu akan terus direproduksi, diindoktrinasi kepada anak cucu dan para generasi, dan dengan penuh amarah kita terus menjadikannya sebagai alat menyulut api dendam tak berkesudahan?

Memang, kita tidak boleh menutup mata terhadap sejarah berlumuran darah di masa lalu itu. Tidak bisa juga kita menafikan fakta bahwa banyak Kiai-kiai dan warga NU yang terbunuh. Tapi kita juga jangan munafik bahwa orang-orang PKI juga dibantai, bahkan banyak dari anak cucu mereka didera rasa takut berkepanjangan, sampai hari ini.

Maka, menganggap PKI sebagai satu-satunya momok yang menakutkan dan menjadi faktor tunggal, satu-satunya yang bersalah, menurut saya, adalah tindakan gegabah, serampangan, dan bahkan ahistoris. Terlalu banyak variabel yang menjadi faktor dalam “kabut” masa lalu itu. Silang sengkarut. Dan menuruti ego masing-masing pihak yang merasa menjadi korban, untuk kemudian mencari pembenaran, bukanlah solusi yang tepat, bahkan memperkeruh keadaan. Harus ada ikhtiar rendah hati, keluasan pikiran, dan kejembharan jiwa untuk saling memaafkan.

Pengalaman tak mengenakkan saat salat Jumat ini sekilas saya sampaikan saat mengisi materi Aswaja pada forum Mapaba tahun 2017 ini, semata-mata agar para peserta tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang sengaja digoreng untuk ambisi dan hasrat kekuasaan. Agar kader-kader PMII, meminjam istilah Ragil Cahya Maulana, tidak hanya mampu melek huruf, tapi harus melek baca. Melek huruf cukup dengan hanya men-screening deretan huruf dalam buku, tapi melek baca adalah mengkritisinya, melampauinya, dan berdialektika dengannya.

Semestinya, sejarah dibangun agar menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya, bukan malah dibuat bahan menakut-nakuti dan mengobarkan trauma. Sekelam apapun sejarah masa silam, ia telah berlalu menjadi kenangan. Semoga kita masih bisa tertawa dan menertawakan kehidupan.

Dengan penuh kerendahan hati, kepada para orang tua yang sudah banyak mengenyam asam pahit luka pedih kehidupan, kami memohon, sangat memohon: Jangan warisi generasi muda masa depan dengan rongrongan dendam.

Bungurasih, Sabtu 30 September 2017
Perjalanan menuju Sumenep

Post a Comment

Previous Post Next Post