Tiga Bendera Berkibar Mesra di Satu Tiang

Sejak tanggal 25 Maret 2017 beberapa bulan yang lalu, saya tambah yakin bahwa perjumpaan saya dengan sahabat² PMII STAIPANA Bangil, lalu keakraban yang terjalin mesra, juga intensitas keterlibatan saya pada acara Mapaba-PKD mereka, adalah isyarat primordial, semacam “kesepakatan” di kehidupan masa silam.

 

Dalam bahasa yang agak berbeda, Tuhan yang Maha Kuasa dengan seluruh kegaiban yqng menyelimutiNya, seolah memberikan tanda², saluran, dan kunci pembuka. Dan saya, sebagai salah satu “petugas lapangan”-nya, harus berusaha membuka dan menguak misteri-misterinya.


Sebagaimana juga pernah saya alami sebelum ngajar di Stai Taswirulafkar Surabaya, tentang tanda, saluran, dan kunci pembuka ini, izinkan saya membincangkannya di lain waktu saja. Ada nama² seperti Azzam El Dzikrie, Muhammad Najib, Khoirul Anam, dkk. yang kelak bakal saya sebut. Saat ini, saya ingin berbagi kepada sahabat sekalian tentang beberapa hal yg saya dapatkan sehabis nyambangi Mapaba Kompana 2017 ini.


Begini ceritanya.


Hampir seminggu yang lalu, Sabtu, 14 Oktober 2017, saya ngantar istri belanja sedikit keperluan rumah tangga. Tujuannya memang hanya belanja. Setelah itu langsung pulang, begtu rencana awalnya. Tapi teringat janji pada sahabat² Kompana yang sedang melaksanakan Mapaba, di tengah perjalanan saya bilang ke istri, “Habis belanja kita langsung balik, ya. Entar malam aja aku nyambangi arek²”.


Itu saya sampaikan kepada istri sambil mengendarai motor, tepat setelah melewati pertigaan pabrik Meiji. “Aku ikut wes. Sekarang aja gpp lho.” Ia menanggapi statmen saya dan saya paham maksudnya. Alamat nanti malam gak bisa keluar, batin saya.


Kami pun berangkat menuju lokasi acara, setelah selesai membereskan kebutuhan keluarga di komplek Bangil Plaza. Perjalanan di terik siang ini benar² memanggang. Memandang kanan-kiri jalan, pohon-pohon tampak nelangsa di kejauhan. Debu-debu berhamburan di belakang truk-truk besar entah mengangkut apa. Di beberapa lahan yang dulu kosong, sekarang sudah ditumbuhi bangunan perumahan. Saya jadi bertanya², apa gerangan yang bakal terjadi dengan Pasuruan sepuluh tahun mendatang?


Ajaran luhur deveplopmentalisme dengan dalih peningkatan indeks kesejahteraan, membuat manusia lupa cara bermesraan dengan alam di sekitarnya. Ketentraman di desa-desa bakal jadi kenangan, sekedar romansa, dan tak lebih dari nilai usang yang terpinggirkan ke pojok sejarah. Pokoknya pembangunan, pembangunan, dan pembangunan. Kita terlalu bernafsu membangun fisik dan materi, tapi sering alpa membangun batin, jiwa, dan mental kita.


Tapi, saya tidak ingin seperti Emile Zola yang meratapi Eropa yang runtuh akibat gelombang industrialisasi. Saya yakin sepenuhnya bahwa serakus bagaimanapun manusia, alam selalu istiqamah dengan sunnatullah-nya. Maka, saya tidak ingin berapologi dan bermelankoli sepanjang jalan. Saya ingin segera sampai Taman Dayu, sebelum berlanjut ke lokasi Mapaba.


Tepat sebelum perempatan Pandaan, istri saya berbisik, “Itu lho barusan ada sop Duren. Kanan jalan.” Saya terenyuh. Dia paling anti Duren tapi masih bersedia menawari saya. Maka, saya langsung menyambar kesempatan itu, bukan karena tega, tapi demi gojloki dia alias bermesraan dengannya. “Kita mampir entar aja habis dari Mapaba, ya”. Terlihat dari spion, istri saya langsung cemberut. Hahaha.


Kami terus saja melewati Pasar Pandaan, dan sesampainya di Taman Dayu, saya memilih rehat sejenak. Tujuannya bukan hanya untuk berteduh, melainkan karena saya belum tahu persis lokasi Mapaba-nya di mana. “Itu lho, Cak, di dekat rumah istrinya Mas Amin”, terang Kholis Hazard, mantan ketua PMII Kompana, beberapa minggu sebelumnya.


Saya memang ingat pernah hadir ke acara resepsi Cak Amin beberapa tahun yang lalu, tapi lupa persisnya di mana. Maka, sembari nongkrong di M2M komplek Taman Dayu, saya coba menghubungi Erna Wati dan WA dia. “Pokoknya Taman Dayu itu masuk terus notok sampai ada gerbang Ciputra, ada satpamnya. Itu ada jalan ke arah nganan, terus sampai pertigaan nanti belok kiri.”


Saya mengikuti pentunjuk Erna dan sudah memastikan juga ke Silmi Fardhan, sang ketua Komisariat, anyg saat itu sedang ngisi materi. “Nanti ikut bendera aja, Cak.” Katanya sambil menjelaskan. Ia lagi ewuh, tampaknya.


Setelah sedikit agak kesasar karena ambil lurus setelah pos satpam, yang mestinya nganan, saya muter balik dan bertemu dengan bendera PMII. Jalan sudah mulai mengecil, sesekali menanjak, dengan hawa sejuk menyegarkan suasana. Ini sudah memasuki dataran tinggi, batin saya. Di ujung sana, tampak puncak gunung berdiri ajeg, dengan gumpalan awan tak lebat di sekitarnya.


Kami terus menanjak ke atas sambil lirik kanan-kiri untuk menemukan bendera berwarna kuning dengan logo bintang sembilan ini. Tepat di jalan landai sedikit berbelok, saya melihat bendera itu. Saya berhenti dan balik arah, lalu mengikuti gang kecil menuju lokasi acara.


Beberapa meter setelah masuk gang, saya memilih berhenti. Tidak ada tanda² keramaian sebagaimana biasa saya temukan saat nyambangi Mapaba atau PKD PMII Surabaya Selatan. Ini benar² sepi. Saya lalu coba memastikan ke Kholis via call, tapi tak ada jawaban. “Geh, Cak. WA mawon.” Dia sedang ada rapat yayasan di rumahnya, rupanya. “Eh alamatnya di mana ya? Madin SMP al-Islam itu ta? Ini sudah ikut bendera,” tanya saya.


Beberapa detik kemudian, ia menjawab, “Alkaromah Ketan Ireng… Dekat sama rumahe Mas Amin.” Saya melihat lagi ke depan. Tulisan Al-Karomah termpang di dinding bangunan sekolah. Alhamdulillah. Ini sudah sampai.


Lokasi Mapaba kali ini memang asyik. Sebuah pesantren kecil milik salah satu alumni STAIPANA, berhawa sejuk tapi tak membekukan tulang, berdiri nyaris di bibir dataran tinggi dengan hamparan sawah laksana hamparan permadani hijau, di bawah sana. Memandang lebih jauh lagi, jejeran rumah² penduduk membentuk sekumpulan kotak² kecil, silang sengkarut. Sungguh memanjakan mata.


Saya duduk di lantai dasar madrasah berlantai dua, tepatnya di koridor bagian depan, menghadap ke halaman agak luas tempat beberapa motor sedang parkir. Beralaskan karpet dengan keramik putih melatarinya, dan bendera PMII agak besar berkibar diterpa angin, ditemani ketua komisariat, Fardhan, yang baru saja selesai ngasih pengarahan.


Kami lalu ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari urusan remeh-temeh perkuliahan sampai beberapa agenda yang bakal dihelat oleh komisariat. “Permohonan web-nya sudah kami ajukan, Cak. Insyaallah sebentar lagi selesai”, kata Fardhan di sela² obrolan.


Mendengar laporan soal web, ingatan saya lalu bergeser ke beberapa minggu sebelumnya, ketika ngopi di sebelah selatan alun² Bangil. Saya sangat apresiatif terhadap pengembangan web organisasi sebagai media publikasi dan wadah mengasah keterampilan menulis para kader. Keahlian menulis, kita tahu, meniscayakan budaya baca yang solid. Maka, kehadiran web ini menjadi salah satu pemicu agar intensitas mengkonsumsi buku² bermutu menjadi mileu sehari-hari, mulai dari level kader sampai pengurus komisariat.


Di lain kesempatan saya pernah ngobrol sama Abiyovi Irvan Maulana dan Kholis, dua orang senior yang ikut mendukung pengembangan web, bahwa akan lebih baik jika jauh² sebelum web itu dilaunching ke tengah masyarakat linimasa, beberapa kader yang punya interes di bidang jurnalistik dan literasi dikumpulkan, lalu dibuatkan pelatihan tentang kepenulisan. Harus dibentuk tim media center yang mengurus lalu lintas arus informasi internal-eksternal, agar kegiatan komisariat bisa dinikmati khalayak.


“Terus untuk menulis beritanya gimana?”, tanya Thole Gengsol Kanan Kiri, calon fotografer handal kebanggaan STAIPANA ini. Ia baru nongol, bergabung dengan kami, dan langsung tertarik untuk mendalami dunia jurnalistik. Saya tambah bersemangat jadinya.


Sambil menyeruput kopi dan udud, saya coba sedikit menjelaskan sedikit teori jurnalistik yang saya ingat, ketika dulu pernah menjadi awak redaksi majalah VERSI milik pesantren tempat saya nyantri, sebelum akhirnya dibredel karena terdapat beberapa konten dalam “edisi terakhir” yang dianggap “liberal”. Saya menyarankan agar tim kreatif yang bakal dibentuk, dibekali pengetahuan bagaimana cara menyajikan berita ala straight news. “Sebab, itu paling mudah. Dengan latihan yang intens, berbekal 5W 1H, saya yakin sahabat² bakal bisa. Tentu butuh ilmu cara menentukan angel“, jelas saya.


Selain itu, saya juga menyarankan agar tata kelola web dimulai dengan menentukan rubrikasi yang jelas, dengan penanggung jawab yang juga jelas. Update-nya bisa tiga kali dalam seminggu. Syukur kalau tiap hari ada tulisan yang tayang. “Tak perlu khawatir soal stok berita. Bahkan bagi seorang jurnalis, tidak dapat berita pun sudah bisa jadi berita,” tambah saya. Saya ingat, diktum terakhir ini adalah ajaran yang dulu pernah disampaikan senior saya saat training jurnalistik, Abdussyukur, yang sekarang jadi dosen di STAIN Gajah Putih Takengon, Aceh.


Obrolan terus berlanjut, diselingi tawa dan kepulan asap rokok, saat para peserta Mapaba keluar dari forum. Mungkin sedang mau istirahat. Tapi, sahabat Zakaria yang entah berlaku sebagai korlap atau sedang sok sibuk aja, menggiring mereka ke tengah sawah. “Se’, Cak, aku ngurusi arek² yo…”, katanya, bersalaman sama saya sebentar, lalu beranjak lagi.


Tiba-tiba, saya melihat tiga bendera berkibar mesra di satu tiang. Saya menunjuk tepat ke arah tiang itu, dan si Kholili dan Fardhan menoleh ke arah yang sama. “Nah, bahkan hanya dengan melihat tiga bendera di satu tiang itu, sudah jadi tulisan kok. Waah saya jadi punya bahan nih untuk update status fesbuk entar malam,” seru saya. Kami lalu tertawa. Dasar imajinasi, kata si Khalili.


Saya lalu bermaksud untuk pamit, sebelum akhirnya mendengar suara komando dari seorang panitia, dan ternyata para peserta Mapaba sedang baris berbaris di tengah sawah. Dengan sigap saya langsung beranjak ke ujung koridor, turun beberapa langkah, dan… jebreeet!!! Alhamdulillah, saya berhasil mengabadikan mereka: barisan mahasiswa dengan tangan terkepal, di tengah hijau padi yang menghampar, dan berlatar puncak gunung dengan sore yang cerah di belakang mereka. Saya sungguh gembira.


Sore telah dewasa ketika saya meninggalkan lokasi acara. Saya lalu mampir mencicipi Mafia Sop Duren di Pandaan, yang ditunjukkan istri saat perjalanan berangkat. Sambil melahap minuman favorit itu, saya update status dan berniat untuk berbagi oleh-oleh dari Mapaba STAIPANA. Tentu saya tak perlu menjelaskan panjang lebar makna tersirat dari substansi tiga bendera, karena dengan melihat fotonya, Anda sudah mampu memahaminya.


Begitulah secuil oleh-oleh yang bisa saya bagikan kepada sidang pembaca. Semoga bahagia.


Bangil – Surabaya,

19 Oktober 2017

Post a Comment

Previous Post Next Post