Mengukuhkan ASWAJA dalam Keseharian Kita: Catatan Sederhana tentang Hoax, Kecebong, dan Bani Micin

Catatan ini merupakan oleh-oleh dari acara PKD PMII Komisariat Tarbiyah dan Al Fatih Cabang Surabaya Selatan. Foto-foto acaranya insyaallah bakal saya posting terpisah.
---------------- 

Sewindu berlalu pasca wisuda sarjana, hampir tiap momentum kaderisasi formal, saya terbiasa berbagi dan belajar bersama kader² PMII Surabaya Selatan. Salah satu tradisi yang berlaku di dalamnya adalah kemesraan berbagi bahwa narasumber yang sudah “tampil” di Mapaba, sebisa mungkin tidak “ngisi” lagi di PKD.

 “Saya sudah ngisi pas Mapaba kemarin, Mas,” balas saya via WA, ketika sahabat Qohar, manajer SC Tarbiyah menghubungi saya, “… biasanya, gak ngisi lagi di PKD. Bukan gak bisa lho, ya. Senior yang lain banyak kok. Tp kalau gak ada lagi, saya siap jadi ‘penyelamat’ alias ban serep”, lanjut saya.


Tak ada jawaban. Saya menduga sahabat² SC terutama penanggungjawab materi sudah dapat solusi lain selain saya. Mungkin argumentasi saya meluluhkannya. Saya bahagia.


Selang lima hari kemudian, sahabat Royyan, yang namanya saya ketahui setelah memperkenalkan diri sebagai kader Komisariat Al Fatih Cabang Surabaya Selatan, meminta saya untuk berbagi di agenda PKD mereka. Saya jawab simpel. Saya cek dulu ke SC Tarbiyah, karena mereka belum memutuskan lanjut apa tidak.


Singkat kata, sebagai “ban serep”, saya terpaksa ngisi di dua komisariat ini dalam satu hari. Dan saya bakal bercerita pengalaman itu kepada Anda, di bawah ini.


Di Villa Pondok Cempamu, Claket, Mojokerto, tempat PKD Komisariat Al Fatih dihelat, saya diminta untuk berbincang tentang Aswaja sebagai Manhajul Fikr wal Harakah, yang merupakan basis pijakan bagi nalar dan narasi gerakan yang bakal dibangun di lubuk terdalam para kader. Tema Aswaja, seingat saya, pernah saya bagikan pada acara Mapaba Komisariat Tarbiyah, 29 September tahun lalu.


“Beda, Cak. Mapaba kemarin itu Aswaja sebagai metode berpikir, sekarang lebih pada metode pergerakannya”, jawab salah seorang SC, di sela² perbincangan.


Saya terdiam. Mencoba menyelami lebih dalam ranah dan skala materi pada kedua momen pengkaderan formal di PMII ini. Kok bisa, ya, antara berpikir dan bertindak dikaji terpisah. Itu kan aneh. Tapi, ini memang kebiasaan kita, batin saya. Nyaris selalu berpikir “terpisah”, terlalu “split”, teramat Cartesian, dan menganggap metodologi itu seolah-olah makhluk yang berbeda dengan domain praktisnya. Padahal keduanya hanyalah dua sisi pada koin mata uang yang sama.


Ekses dari cara berpikir terpisah ini, menurut hemat saya, menyebabkan kita terlampau sibuk menumpuk informasi, lihai menyemai pengetahuan, ribet mengurusi metodologi, bahkan yang paling sadis, kita menjadi hamba pengetahuan dan budak dari ilmu. Tanpa gerak transformatif, informasi tak lebih dari sekedar residu, metodologi hanyalah alat daur ulang yang membosankan, dan tanpa kesadaran laku, ilmu adalah ilusi paling semu.


Maka, saya tidak terlalu panjang lebar mengurai historisitas Aswaja yang selalu menarik dikaji dan diselami ini —mulai sejak proto-sunnism atau Jamā’i e Sunnī dalam istilah Hodgson, konsolidasi sunnism post-Ash’ary, sampai pada pelembagaan sunnism pada era Al-Qadir yang secara konstitusional mengukuhkan Aswaja sebagai ideologi resmi negara dengan Risālah al-Qadīriyyah-nya yang terkenal itu— tapi lebih pada bagaimana implementasi metodologis Aswaja dalam seluruh lingkaran konteks dan geraknya: berbangsa, bernegara, dan beragama.


Kepada peserta Pelatihan Kader Dasar ini, saya mengajukan analisis praksis Aswaja dengan bertolak pada prinsip tawāzun, barometer keseimbangan dalam melihat, memaknai, dan bertindak terhadap peristiwa apapun yang mengitari: baik yang bersifat komunal-ekstravagan maupun yang bergerak secara laten dan diam-diam menjarah kesadaran kita.


Saya bertanya kepada mereka: sejak kapan polarisasi masyarakat dengan label “Kecebong Hoax” versus “Bani Micin” santer bergulir dalam dunia linimasa kita? Sejak kapan cara berpikir hitam-putih benar-benar tumbuh subur dalam bilik kesadaran kemanusiaan, kebangsaan, dan keberagamaan kita?


Ketika mengkritik gerakan 212, misalnya, maka akan dianggap tidak pro-Islam. Kalau tidak sepakat dan sepaket dengan haluan golongannya, maka dianggap hoax. Hanya karena memakai kaos bertuliskan ‘Ya Husain‘, maka dianggap Syi’ah. Bahkan, dengan riang gembira kita hujat saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, dan keterpurukannya kita rayakan. Jadi, ada apa dengan cara berpikir kita, sebenarnya?


Saya memiliki hipotesis kuat bahwa sumber malapetaka itu adalah ketidak-seimbangan, prinsip tawāzun-nya tidak jalan, dan pasti tidak moderat, tidak tasāmuh. Dalam relasinya dengan yang Liyan, pasti intoleran, sebab batas keseimbangannya dilanggar. Patrap-nya tidak tepat. Singkat kata, tidak Aswajais. Output berikutnya pasti ketidak-adilan. Alih-alih tindakan, kita tidak adil bahkan sejak dalam pikiran.


Pada sesi tanya jawab, salah satu pertanyaan mengusik saya. Kenapa bahkan dalam satu golongan saja, Syiah, misalnya, terdapat bermacam firqah?


Menjawab pertanyaan dengan jawaban yang bukan hitam-putih, tidak matematis, memang menuntut kejelian tersendiri. Saya lalu coba memberikan ilustrasi bahwa pikiran dan batin manusia itu kompleks dan rumit. Bukan cuma Syi’ah, Sunni pun memiliki beragam sekte. Bahkan di dalam sekte-sekte yang mendaku sebagai Sunni sekalipun, terdapat garis-garis, gumpalan-gumpalan yang saling menegasikan satu sama lain. Dan tampaknya, memang begitulah hakikat penciptaan.


Maka, saya melanjutkan, yang menjadi problem kita sesungguhnya bukan kenapa kita berbeda, tetapi bagaimana cara kita menyikapi perbedaan itu. Islam meneguhkan perbedaan sebagai rahmat. Sebab, berbeda itu niscaya, sementara berselisih lebih-lebih bertengkar adalah pilihan. Di titik inilah kajian tentang Aswaja sangat fungsional dan relevan sebagai pijakan.


Pertanyaan berikutnya sangat menggelitik tapi saya memilih untuk tidak menyikapinya dengan jawaban. “Ngapunten, Cak. Tanpa menghilangkan rasa hormat saya kepada Habib Rizieq, bagaimana Aswaja memandang kiprah beliau selama ini?,” begitu kira² pertanyaannya.


Saya nyaris tertawa. Tapi kemudian mencari jalan keluar dengan berpikir bahwa manusia itu bukan makhluk statis. Batin manusia adalah kesadaran yang terus bergerak. Saya menegaskan bahwa secara pribadi saya sama sekali tidak mengenal Habib Rizieq. Yang saya ketahui hanya berdasarkan euforia politik media, tidak bisa dijadikan alat untuk menilai, apalagi menjustifikasi. Media kita hari-hari ini adalah dunia simulakra yang di dalamnya berkelindan silang-sengkarut kepentingan yang sulit diurai. Dibutuhkan cara, sudut, jarak dan resolusi pandang yang utuh dan tepat untuk memutuskan sikap yang berkeadilan.


Itulah kenapa, untuk pertanyaan yang kedua, saya memilih tak menjawab.


Jeda sekitar dua jam berikutnya, di lokasi yang berbeda, tepatnya di Pondok Mitra Arofah, Pacet, Mojokerto, saya memasuki forum PKD Komisariat Tarbiyah dengan perasaan yang berkecamuk. Tema muatan lokal yang diangkat kali ini, yakni “Pergerakan Mahasiswa Jaman Now”, sangat relevan untuk meneropong situasi dan kondisi mutakhir dunia pergerakan mahasiswa yang tampaknya sedang mengalami “loyolitas” yang akut, atau mungkin malah sekarat.


Untuk masuk pada perbincangan yang memprihatinkan tapi juga riskan, saya memilih kalimat-kalimat provokatif tapi tetap dengan emosi yang tertata, untuk membangkitkan kesadaran sejarah mereka bahwa di masa lalu gerakan mahasiswa pernah begitu menggugah dan konon juga memesona.


Lalu, bagaimana dengan kondisi pergerakan mahasiswa jaman now?


Saya jadi teringat salah satu status FB senior saya, Akhmad Siddiq, bahwa keberhasilan utama pemerintahan Jokowi adalah kekuatannya meredam gejolak di masyarakat. BBM naik, meski tampak seperti diam-diam, tak ada gejolak. Masyarakat bukan tidak tahu. Tarif listrik naik, juga adem-ayem saja. Masyarakat juga tahu. Harga kebutuhan pokok naik, tetap gak ada gejolak, nyaris tak ada apa-apa. Masyarakat merasa aman. Atau terpaksa merasa aman karena sebenarnya terlalu ketakutan. Mengkritik di FB takut kena pidana UU ITE. Tidak sependapat dengan pemerintah dianggap makar. Mengkritik China takut dianggap rasis, lalu dilaporkan ke polisi. Singkat kata: rakyat dibikin, atau lebih tepatnya, dipaksa untuk tenang.


Di era pemerintahan SBY, tulis calon doktor ini, baru ada rencana dan rapat-rapat menaikkan tarif saja, rakyat demo di mana-mana. Ini sepertinya sama dengan pola yang berlaku saat Orde Baru, yang dengan supremasi kekuasaannya, mampu meredam riak yang mengancam, sekecil apapun.


Sampai titik ini, saya mulai berhipotesis bahwa di rezim ini, tampaknya, pola penguasaan simpul² penting yang bisa membikin gejolak, sudah dibuat bertekuk lutut dan angkat tangan. Dengan massifnya media sosial yang sangat piawai menggiring wacana, intervesi kesadaran dan represi cara berpikir yang dicekokkan ke benak rakyat mampu berkuasa dengan sempurna. Hegemoni itu bekerja dengan leluasa. Kepalsuan dan kebenaran nyaris tak ada bedanya. Citra dianggap fakta, begitupun sebaliknya. Maka, otomatis gejolak itu teredam dengan sendirinya.


Tentu saja kita boleh setuju atau tidak terhadap konklusi itu, tapi bagi saya, status fesbuk senior ini sangat membantu untuk menelisik secara lebih utuh bagaimana pola penguasaan diam-diam bekerja secara tak kasat mata. Bahwa ada tangan-tangan tak terlihat, semacam invisible hand-nya Adam Smith, yang secara brilian mencipta stabilitas di tengah rakyat yang malas membaca, alih-alih memfungsikan nalarnya dengan sehat.


Coba saja sodorkan cara berpikir di atas kepada mereka yang berpikir pro-kontra, suka-benci, lovers-haters, saya yakin 99 persen, senior saya itu dianggap anti pemerintah, atau dikategorikan sebagai pendukung Prabowo yang gagal move on.


“Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menyikapi kondisi dan situasi pergerakan jaman now yang dianggap mati suri?”, begitu kira² substansi pertanyaan dari salah satu peserta delegasi dari Jember, pada sesi tanya-jawab.


Sebelumnya, saat sesi pemaparan, saya coba membeberkan beberapa distingsi, karakteristik, dan pola gerakan mahasiswa dimulai dengan kajian nalar dan narasinya. Mulai dari gerakan 66 sampai 98. Dan dengan nada provokatif saya menandaskan: gerakan mahasiswa 98 belumlah sepenuhnya berhasil, kalau tidak mau dianggap gagal sama sekali.


“Nah, jika gerakan 98 saja yang begitu fenomenal dianggap gagal, lalu gimana cara agar gerakan mahasiswa jaman now bisa berhasil?”, tanya peserta yang lain.


Dua pertanyaan itu saya jawab dengan analisis sederhana, dengan menelisik budaya baca mahasiswa. “Lhaa, gimana kita mau tepat melakukan gerakan, wong kebijakan pemerintah dengan UU-nya saja tidak pernah kita baca?”, pancing saya.


Problem budaya baca yang sangat memiriskan, bagi saya, menjadi salah satu sumber kegagalan awal mahasiswa dalam mengeksplorasi gerakannya. Kajiannya saja nggak jalan, kok, boro-boro mau menyusun gerakan. Apalagi secara apologetik, simpul-simpul organisasi mahasiswa malah mendekat ke dalam lingkaran kekuasaan, bahkan dengan gembira berpesta pora di dalamnya.


Itu belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah dan kampus yang tanpa disadari, sengaja atau tidak, mengebiri kedaulatan mereka. Lengkap sudah “keterpenjaraan” mahasiswa zaman now. Atau jangan-jangan mereka malah tidak memiliki konsep merdeka sehingga tidak paham apa itu penjara.


Kalau mau ditarik agak lebih ke hulu, problemnya lagi-lagi adalah ketidak-seimbangan. Sudah tidak tepat dari mesin berpikirnya. Domain membaca dianggap terpisah dengan ranah gerakannya, sehingga muncul polarisasi aktivis akademis vis-a-vis aktivis pergerakan. Yang ‘akademis’ hanya berkutat dengan tumpukan buku-buku. Sementara yang ‘gerakan’ gemar berkoar-koar di jalanan.


Itu belum lagi efek mengerikan dari matinya budaya baca yang berujung pada gampangnya mereka termakan hoax. Sebab, kata Zen RS. dalam salah satu essainya, “yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar“. Dan itulah yang tampaknya sedang terjadi di era millenial ini, di mana orang mudah berkicau, berkomentar, tanpa benar-benar membaca. Tanpa benar-benar memahami persoalan yang sesungguhnya apa.


“Terus, kalau sejarah yang selama ini kita baca ternyata hoax, apa yang perlu kita lakukan?”, pertanyaan menarik dari seorang peserta. Senang rasanya saat dalam suatu forum lahir antusiasme untuk bertanya, dan saya jadi pembicaranya.


Maka, pertanyaan itu coba saya jawab dengan sederhana: Kamu dulu yang harus jujur, lalu seimbang dalam membaca peristiwa. Sebab, tanpa mengkaji dengan cermat apakah hoax itu sebab atau akibat, memberantas hoax dengan hanya mengonsumsi media mainstream karena lebih bisa dipertanggungjawabkan secara administratif, misalnya, sama saja dengan menumpas pelaku kejahatan dengan hanya memasrahkannya pada kepolisian.


Betapa pun mengerikannya efek dari hoax, ia lahir bukan dari ruang hampa, vakum sejarah, atau kondisi normal lainnya. Ada saling ketidak-percayaan satu sama lain. Lalu masing-masing bertindak melewati batas yang sudah disepakatinya. Ya, hoax bisa jadi jalan terhalus untuk merekayasa, penyaluran hasrat untuk berkuasa. Ia adalah produk kegagalan sejarah untuk menemukan makna bersama.


Jadi, bagaimana cara memberangus hoax, sebenarnya? Barangkali pada akhirnya saya memang perlu mengutip satu adagium yang saya dengar dari Sabrang “Noe” Letto pada salah satu forum Maiyahan: “Di negara yang seluruh rakyatnya buta, yang bermata satu bakal jadi raja“.


Pertanyaannya: kita memang mampu membaca atau sengguhnya sedang benar-benar buta?


Pacet – Bangil, 31 Maret – 1 April 2018

Post a Comment

Previous Post Next Post