Yang Luruh Menjelang Senja

Adakah momentum yang membuat kita benar-benar merasa merdeka, menyepelekan hal-hal yang dipenting-pentingkan dari dunia, lalu masuk ke dalam ceruk diri paling mutmainnah, dan dengan subtil merasa bahwa hari-hari kita semakin menua?

Saya kerap menemukan "sesuatu" itu saat senja menjelang: ketika langit menjelma lukisan raksasa dengan sapuan warna kuning keperakan.

Menikmati akhir pekan di rumah mertua, ketika sore menyapa langit cerah merona, saya biasanya keluar rumah. Memetik buah kersen di pinggir lapangan kampung yang berbatasan dengan tempat pembuangan sampah, lalu memotret tiang-tiang listrik yang ringkih di kejauhan. Menatap ke arah barat dari kawasan Perum Pekoren Indah, tampak menjulang gunung Penanggungan, yang menurut mitologi Jawa adalah potongan dari Gunung Semeru yang dipindahkan oleh Dewa Wisnu dengan bantuan Dewa Brahma.

Apa yang diharapkan manusia di dunia, sebenarnya?

Sesekali, aroma pembakaran sampah yang berjibun dan berserakan masih tercium sengit memekakkan kepala. Asap tipis menari-nari ke angkasa, dan raib entah ke mana. Pohon-pohon kecil tampak kering meranggas, sebagian hangus menjadi puing yang nelangsa. Rumput-rumput rata dengan tanah, menyisakan hitam legam sisa pembakaran.

Bagi saya yang sehari-hari tinggal di Surabaya, momen itu jarang terekam mata, tentu saja. Maka, saya menikmatinya. Surabaya barangkali terlalu sibuk mengurusi birahi pembangunan yang besar, menyiasati ilusi masa depan dunia dengan korban yang mengerikan.

Apa yang kita butuhkan dari dunia, sesungguhnya?

Berjalan ke selatan dari perumahan yang bersebelahan dengan pabrik Meiji ini, tampak jalan tol sedang bersolek, sesak oleh lalu lalang kendaraan yang sedang bereuforia dengan pembangunan. Truk-truk besar sedang mengangkut beban-beban industrialisasi yang mengalienasi manusia. Di sampingnya, sawah-sawah milik rakyat sudah terkapling dengan sempurna. Atas nama kemajuan, aset leluhur sah digadaikan dengan apa saja dan oleh siapa saja. Kita benar-benar kebingungan arah dan kehilangan makna.

Saya lalu teringat cerita Sukab yang memotong senja dan mengirimkannya kepada kekasihnya, Alina. Dalam cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku" karya Seno Gumira Ajidarma yang masyhur itu, senja adalah antitesis dari kata-kata yang kehilangan maknanya. Sebab, tulis Sukab, "Sudah terlalu banyak kata di dunia ini, Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa."

Ya, kata-kata bisa jadi memang tidak mengubah apa-apa. Pada masyarakat yang nir-baca, ia bisa jadi hanya sebagai alat propaganda. "Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna", seru Sukab, "Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita, Alina", lanjutnya.

Kata-kata, dalam konteks cerita senja di atas, barangkali adalah afrimasi paling menohok dari klausul kaum post-modernis bahwa kekuasaan hanyalah permainan bahasa. Dan bahasa verbal paling runyam adalah kata-kata. Tapi, bisakah hidup tanpa kata-kata?

Dalam masyarakat penyembah kapitalisme, kata-kata hanya menjadi kran libido para penguasa. Ia tak bermakna kecuali sebagai iklan bujuk rayu saja. Lahir kartel oligarki di sana. Penguasa bermental pengusaha dan pengusaha bermental penguasa. Rakyat jelata jadi korbannya.

Pada hari-hari ketika kampanye politik berhasil menunggangi kata dan menggilas habis derajat makna, dan demokrasi kehilangan titik koordinat keseimbangannya, orang mungkin butuh sepotong senja untuk mengalami bahwa kata-kata sungguhlah fana, yang baka adalah makna.

Barangkali karena itulah tak berlebihan jika Sukab mengirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. "Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala," suratnya.

Senja adalah parodi dari ketakberdayaan manusia. Hidup hanyalah soal menua, dan muaranya adalah tiada. Ketiadaan adalah keberadaan yang sesungguhnya. Senja adalah ketika kata-kata luruh dalam keheningan makna.

Pekoren Indah, Rembang, Pasuruan
23 September 2018

Post a Comment

Previous Post Next Post