Izinkan saya menyebut mereka anak-anak koran, bukan karena mereka adalah para wartawan atau kuli tinta, tetapi lantaran "profesi" mereka memang penjaja koran, dari bis ke bis, dari halte ke halte, meski barangkali mereka belum paham benar apa yang ia tawarkan. Bahkan mungkin ada yang belum mampu membacanya. Berpikir untuk sekolah pun barangkali terlampau jauh...
Bagi mereka, sekolah barangkali hanyalah mitologi yang didengar dari telinga ke telinga, dari dongeng-dongeng pengantar tidur. Bagitu gencarnya pemerintah mempromosikan iklan pendidikan gratis dan kampanye pengentasan kemiskinan. Tapi realitas memang selalu berkata jujur. Agenda dengan anggaran besar itu hanyalah kamuflase dan sebentuk formalisme yang kering makna, tidak pernah menyentuh sisi paling essensial nurani kaum miskin bangsa ini.
Begitulah, dunia kosmopolitanisme telah memaksa anak sekecil mereka untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Takdir telah menempa mereka menjadi masyarakat urban yang miskin dan papa. Maka sungguh ironi ketika di samping gubuk-gubuk kumuh mereka, malah berdiri hutan-hutan beton, gedung-gedung yang menjulang ke langit. Hampir tiap hari, masyarakat borjuis mempertontonkan aksesori mereka dengan sedikit pongah, bahkan ketika para anak-anak jalanan memperebutkan sesuap nasi dengan menggadaikan harga diri, mereka para anak-anak konglomerat dan makhluk-makhluk hedonis malah berdesak-desakan, berlomba-lomba mendapatkan HP keluaran terbaru dari Pasar Murah atau Bazar. Sungguh satu pemandangan yang memiriskan nurani...
Barangkali benar apa yang pernah dipertanyakan Joseph Stiglitzt dalam bukunya Globalization and It's Discontent, bagaimana negara seperti Indonesia yang di kota-kotanya orang menjubeli mall setiap hari, dan jalananya macet oleh mobil terbaru keluaran Eropa, bisa disebut sebagai negara miskin. Huh...
* * *
Gambar di atas sengaja saya bidik ketika tanpa sengaja, di bundaran sebelum hotel Somerset jl. Kupang Indah Surabaya, saya melihat kedua anak itu sedang berteduh di trotoar. Kala itu saya sedang dalam perjalanan menuju rumah teman saya di Lamongan, sekitar dua minggu yang lalu. Siang begitu terik. Lampu lalu litas masih tepat di titik merah. Dengan sigap, saya ambil HP dalam saku celana. Jebret! Bidikan tepat sasaran. Sebuah momen yang sangat "sakral" untuk diabadikan, bahkan kalau perlu dimuseumkan...
Maka, ketika kemarin lusa (Sabtu, 26/12/09) sepulang dari Malang, saya kembali bertemu dengan anak-anak koran ini, memori saya tiba-tiba berputar, mengingat suatu dimensi waktu yang sempat terekam jelas dalam benak. Apalagi hampir secara bergiliran, di dalam bis yang saya tumpangi, para pengamen jalanan dengan suaranya yang serak-serak kering menghunjam tepat di ulu hati. Lalu diganti dengan suara pengamen wanita setengah baya dengan membawa pengeras suara layaknya sedang ikut lomba karaoke. Ah, selalu ada cara untuk protes terhadap makna keadilan, meski dengan harga diri tergadaikan. Dan anak-anak dan perempuan ini sedang melakukannya...
Masih terekam jelas bagimana ibu saya mengumpulkan uang recehan ketika sedang bepergian jauh. Waktu itu tepat tahun 2003. Keluarga saya hendak bepergian ke Banyuwangi, rumah kerabat di Rogojampi. Awalnya saya kurang mengerti mengapa Ibu menukar uang puluhan ribu dengan uang receh, jauh-jauh hari sebelum pemberangkatan. "Kalau tidak bawa uang receh, kasihan anak-anak pengamen nanti. Pertama ke Banyuwangi dulu, saya tidak bersedia uang kecil. Jadi kerepotan kalau ada pengamen..." Terang Ibu ketika saya tanya alasannya. Kelak saya baru paham, bahwa Ibu sedang mengajari saya bagaimana bisa berbagi dengan sesama, meski kondisi juga pas-pasan. Ah, Ibu, sungguh aku menyayangimu...
Maka saya membayangkan, anak-anak koran dan pengamen jalanan itu hanya mampu tertegun melihat teman sebayanya asyik belajar di bangku sekolah. "Betapa nikmatnya ya bisa sekolah seperti anak-anak itu, di balik pagar tinggi itu ya...? Betapa enaknya ya bisa bermain seperti mereka, berlarian kesana-kemari, naik turun tangga, ketawa-ketawa penuh girang? Kalau lapar, tinggal jajan di kantin sekolah atau buka bekal dari mama...?" Begitu mungkin suara-suara batin mereka, meski tak pernah terdengar.
Ya, pemandangan seperti itu memang seperti menu sosial kita sehari-hari. Sebuah parodi ketidak adilan yang nyaris menghimpit seluruh kesadaran kita sebagai bangsa yang katanya memiliki hati nurani. Barangkali ada letupan-letupan nyinyir yang mengatakan bahwa mereka, kaum miskin yang hidup di jalanan adalah sampah masyarakat; bahwa sekali kita menyuguhkan sekeping uang receh pada pengamen jalanan, sejatinya kita telah menyumbangkan satu paket kemalasan pada jiwa mereka. Lebih baik kita "pura-pura kikir", agar mereka tahu bahwa mencari uang itu sulit. Begitulah barangkali argumen para penumpang yang enggan menyisikan sedikit hartanya untuk mereka.
Ya, ya... Apapaun penilaian masyarakat terhadap mereka, nun, ia tetaplah bocah mungil nan lugu yang miskin, kere luntung, yang hanya kuasa meraba erat-erat pintu pagar yang tinggi, angkuh, dan dingin di sekolah itu. Badan dan pakaiannya tetaplah kumal, lecek, sangat dekil, sebab emak dan bapaknya tak pernah mampu membelikan parfum wangi dan pakaian necis mentereng, tidak seperti mama dan papa anak-anak kaya itu.
Selamat berjuang sahabat-sahabat kecilku. Aku hanya mampu menuliskan riwayatmu yang tercecer di belantara kota yang angkuh. Semoga ada pembaca yang tergerak ketika membaca goresan sunyi ini, bahwa kalian juga berhak untuk memiliki kehidupan... 27 Desember 2009
Bagi mereka, sekolah barangkali hanyalah mitologi yang didengar dari telinga ke telinga, dari dongeng-dongeng pengantar tidur. Bagitu gencarnya pemerintah mempromosikan iklan pendidikan gratis dan kampanye pengentasan kemiskinan. Tapi realitas memang selalu berkata jujur. Agenda dengan anggaran besar itu hanyalah kamuflase dan sebentuk formalisme yang kering makna, tidak pernah menyentuh sisi paling essensial nurani kaum miskin bangsa ini.
Begitulah, dunia kosmopolitanisme telah memaksa anak sekecil mereka untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Takdir telah menempa mereka menjadi masyarakat urban yang miskin dan papa. Maka sungguh ironi ketika di samping gubuk-gubuk kumuh mereka, malah berdiri hutan-hutan beton, gedung-gedung yang menjulang ke langit. Hampir tiap hari, masyarakat borjuis mempertontonkan aksesori mereka dengan sedikit pongah, bahkan ketika para anak-anak jalanan memperebutkan sesuap nasi dengan menggadaikan harga diri, mereka para anak-anak konglomerat dan makhluk-makhluk hedonis malah berdesak-desakan, berlomba-lomba mendapatkan HP keluaran terbaru dari Pasar Murah atau Bazar. Sungguh satu pemandangan yang memiriskan nurani...
Barangkali benar apa yang pernah dipertanyakan Joseph Stiglitzt dalam bukunya Globalization and It's Discontent, bagaimana negara seperti Indonesia yang di kota-kotanya orang menjubeli mall setiap hari, dan jalananya macet oleh mobil terbaru keluaran Eropa, bisa disebut sebagai negara miskin. Huh...
Gambar di atas sengaja saya bidik ketika tanpa sengaja, di bundaran sebelum hotel Somerset jl. Kupang Indah Surabaya, saya melihat kedua anak itu sedang berteduh di trotoar. Kala itu saya sedang dalam perjalanan menuju rumah teman saya di Lamongan, sekitar dua minggu yang lalu. Siang begitu terik. Lampu lalu litas masih tepat di titik merah. Dengan sigap, saya ambil HP dalam saku celana. Jebret! Bidikan tepat sasaran. Sebuah momen yang sangat "sakral" untuk diabadikan, bahkan kalau perlu dimuseumkan...
Maka, ketika kemarin lusa (Sabtu, 26/12/09) sepulang dari Malang, saya kembali bertemu dengan anak-anak koran ini, memori saya tiba-tiba berputar, mengingat suatu dimensi waktu yang sempat terekam jelas dalam benak. Apalagi hampir secara bergiliran, di dalam bis yang saya tumpangi, para pengamen jalanan dengan suaranya yang serak-serak kering menghunjam tepat di ulu hati. Lalu diganti dengan suara pengamen wanita setengah baya dengan membawa pengeras suara layaknya sedang ikut lomba karaoke. Ah, selalu ada cara untuk protes terhadap makna keadilan, meski dengan harga diri tergadaikan. Dan anak-anak dan perempuan ini sedang melakukannya...
Masih terekam jelas bagimana ibu saya mengumpulkan uang recehan ketika sedang bepergian jauh. Waktu itu tepat tahun 2003. Keluarga saya hendak bepergian ke Banyuwangi, rumah kerabat di Rogojampi. Awalnya saya kurang mengerti mengapa Ibu menukar uang puluhan ribu dengan uang receh, jauh-jauh hari sebelum pemberangkatan. "Kalau tidak bawa uang receh, kasihan anak-anak pengamen nanti. Pertama ke Banyuwangi dulu, saya tidak bersedia uang kecil. Jadi kerepotan kalau ada pengamen..." Terang Ibu ketika saya tanya alasannya. Kelak saya baru paham, bahwa Ibu sedang mengajari saya bagaimana bisa berbagi dengan sesama, meski kondisi juga pas-pasan. Ah, Ibu, sungguh aku menyayangimu...
Maka saya membayangkan, anak-anak koran dan pengamen jalanan itu hanya mampu tertegun melihat teman sebayanya asyik belajar di bangku sekolah. "Betapa nikmatnya ya bisa sekolah seperti anak-anak itu, di balik pagar tinggi itu ya...? Betapa enaknya ya bisa bermain seperti mereka, berlarian kesana-kemari, naik turun tangga, ketawa-ketawa penuh girang? Kalau lapar, tinggal jajan di kantin sekolah atau buka bekal dari mama...?" Begitu mungkin suara-suara batin mereka, meski tak pernah terdengar.
Ya, pemandangan seperti itu memang seperti menu sosial kita sehari-hari. Sebuah parodi ketidak adilan yang nyaris menghimpit seluruh kesadaran kita sebagai bangsa yang katanya memiliki hati nurani. Barangkali ada letupan-letupan nyinyir yang mengatakan bahwa mereka, kaum miskin yang hidup di jalanan adalah sampah masyarakat; bahwa sekali kita menyuguhkan sekeping uang receh pada pengamen jalanan, sejatinya kita telah menyumbangkan satu paket kemalasan pada jiwa mereka. Lebih baik kita "pura-pura kikir", agar mereka tahu bahwa mencari uang itu sulit. Begitulah barangkali argumen para penumpang yang enggan menyisikan sedikit hartanya untuk mereka.
Ya, ya... Apapaun penilaian masyarakat terhadap mereka, nun, ia tetaplah bocah mungil nan lugu yang miskin, kere luntung, yang hanya kuasa meraba erat-erat pintu pagar yang tinggi, angkuh, dan dingin di sekolah itu. Badan dan pakaiannya tetaplah kumal, lecek, sangat dekil, sebab emak dan bapaknya tak pernah mampu membelikan parfum wangi dan pakaian necis mentereng, tidak seperti mama dan papa anak-anak kaya itu.
Selamat berjuang sahabat-sahabat kecilku. Aku hanya mampu menuliskan riwayatmu yang tercecer di belantara kota yang angkuh. Semoga ada pembaca yang tergerak ketika membaca goresan sunyi ini, bahwa kalian juga berhak untuk memiliki kehidupan... 27 Desember 2009
Post a Comment