Cerita Tengtang Rakyat yang Suka Bertanya

Prof Budi Darma
"Karya yang bagus adalah karya yang menggema di hati manusia. Jika ingin membuat karya yang baik, maka buatlah karya yang menggema bagi manusia lainnya..."

Petikan kalimat di atas adalah diktum sastrawan dan Guru Besar Emiritus UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Prof. Budi Darma, ketika menjawab pertanyaan saya tentang patokan nilai karya sastra yang baik. Pertanyaan itu saya lontarkan pada acara Diskusi dan Launching "Kumpulan Cerita Pendek; Cerita Tentang Rakyat yang Suka Bertanya", Selasa (18/05/10) kemarin di ruang sidang Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sebelumnya, saat sesi penyampaian materi, beliau memaparkan secara detail bagaimana sebuah proses kreatifitas kepenulisan sejatinya telah mampu menjadi tolak ukur kebesaran seseorang. "Kebesaran seseorang dapat dilihat dari karya tulisnya. Jika kita ingin jadi orang besar, maka menulislah", ujarnya kepada peserta, dengan semangat yang berkobar.

Acara yang diselenggarakan oleh DEMOS (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi) ini dihadiri juga oleh Lan FangMbak Lan Fang, Cerpenis Produktif, salah satu penulis Kumpulan Cerpen yang sedang dilounching ini, juga penulis novel Ciuman di Bawah Hujan yang dimuat bersambung di Harian Kompas. Lan Fang mengawali paparan narasinya dengan mengutip tesis Stendhal, Novelis Perancis abad 19 bahwa ketika politik memasuki wilayah sastra, maka ia laksana letusan pistol di tengah konser. Ia akan terlantun khas, dengan dengung tak terduga dan tentu menciptakan surprise yang luar biasa, jika gemuruhnya menyelusup dan pas mengisi bagian tertentu dalam komposisi musik konser itu. Akan tetapi ia juga akan menciptakan hingar-bingar yang mengacaukan konsistensi keseluruhan, jika gema letusan pistol itu neyeleneh sendiri dan gagal menjadi bagian estetika komposisi musik konseri itu sendiri.

Peringatan Standhel dengan analogi di atas sepertinya memang sengaja dijadikan pengantar awal oleh Lan Fang untuk menggambarkan grand narrative yang hendak digagas kumpulan cerpen dengan tema politik dan demokrasi ini. Tentu hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa misi dari terbentuknya Demos adalah meningkatkan dan mengembangkan kapasitas masyarakat untuk pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia melalui praktek diskursus; diseminasi dan mendorong pengembangan jaringan kerjasama. Dan, meskipun muncul kekahwatiran yang diakui sendiri oleh Shirley Doornik, Deputi Direktur Demos yang juga hadir pada acara diskusi ini, bahwa kumpulan cerita karya 10 Cerpenis Nusantara ini belum mampu mewakili rintihan rakyat kecil, paling tidak, ikhtiar baik yang dilakukan lembaga Demos dalam menyuarakan demokrasi patut diapresiasi dengan baik.

Pada acara tersebut, Rektor yang memberikan sambutan sekaligus membuka acara, menyampaikan rasa syukur yang mendalam karena kali ini sastrawan senior seperti Budi Darma berkenan hadir di tengah-tengah warga IAIN Sunan Ampel untuk memberikan ilmunya. Terlebih lagi, Rektor juga berpesan kepada mahasiswa dan peserta diskusi untuk tidak lelah berusaha menjadi penulis yang mampu memproduksi karya-karya bermutu.

# # #

18 Mei 2010. Pagi sudah mengeliat sedari tadi. Jalan Jemur Wonosari sudah mulai hingar oleh suara kendaraan yang melintas. Warung kelontong di depan SMART NET sudah ramai oleh pembeli. Jarum jam tepat berada di titik delapan. Ah, sudah waktunya pergantian operator. Sedikit menggeliat, saya selalu menghibur diri sendiri setiap selesai jam kerja. 8 jam duduk di depan komputer kadang mmebuat mata terasa perih. Apalagi harus berkutat dengan kode-kode html, css atau java script untuk keperluan modifikasi blog.

[Ad dmn, tretan?]
SMS dari Ketua senat masuk ke inbox HP Nokia saya yang sudah butut.
Tretan adalah bahasa Madura untuk sebutan dulur, dalam bahasa Jawa.
[msih di wrnet. Bntr lg sy ke kosmu..]
jawab saya singkat.
[gmn surt prmohnan LCD n tmptx?]
[sdh rmpung. tp bsok aj qt k akdmik]
[ok. sy tungg d kos]

Sampai di kos ketua senat, saya langsung diajak ke kampus, padahal sungguh saya malas luar biasa. "Hari ini kita ke Prof. Haris, Pembantu Rektor III..", katanya kemudian. Sehabis jaga warnet, biasanya saya istirahat sejenak di base camp IMABA Surabaya, dan jarang ke kampus kalau tidak sedang ada rapat di kantor senat mahasiswa. Tapi kali ini, entah dorongan apa yang membuat saya mau menemaninya.

Langkah saya yang gontai seolah membuat tangga demi tangga di halaman dalam gedung rektorat terasa tinggi, padahal hanya beberapa undakan saja. Untung Prof. Haris sedang stand by di ruang kerjanya, tidak usah berlama-lama menunggu orang "penting" yang biasanya selalu sibuk. Rampung "berdiplomasi", saya pun langsung keluar dan rencananya hendak balik ke kos, namun kaki saya tiba-tiba terhenti seketika. Dan inilah mungkin jawaban atas keheranan saya; kenapa saya mau ke kampus, padahal mata sungguh dirundung kantuk. Kenapa saya mesti meninggalkan ritual harian yang biasanya saya lakukan ketika selesai jam jaga warnet...

Ah, ternyata Tuhan mentakdirkan saya bertemu langsung dengan Budi DarmaProf. Budi Darma
Sastrawan Senior
, sang penulis novel Olenka dan Rafilus, serta karya-karya lainnya yang sudah banyak saya baca. Disampingnya berjalan Mbak Lan Fang, cerpenis produktif yang sebelumnya pernah saya jumpai di acara bedah buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis, hampir setengah tahun yang lalu. Juga Pak Masdar Hilmy, sang Asisten Direktur III Pascasarjana IAIN Sunan Ampel yang tulisan-tulisannya sangat progresif-humanis itu.

"Eh, kayaknya itu Mbak Lan Fang ya?" tanya saya keheranan.
Amirul Husni, sang ketua senat Tarbiyah itu juga terbengong-bengong.
"Lho, sekarang tanggal berapa?"
Ditanya kok balik tanya. Seru saya dalam hati.
"Kayaknya tanggal 18 deh.." jawab saya santai.
"Oh iya, tretan. Sekarang Lan Fang ngisi lagi di sini, pertemuan kemarin kan udah dikasih tahu...ah, dasar pelupa! Banyak kerjaan!"
Ahai...ada bahan menarik untuk diposting di blog, seru saya waktu itu.

Maka ketika saya mengkuti jalannya acara diskusi, sungguh saya terpukau dengan penjelasan Prof Budi Darma yang penuh semangat menyala-nyala, dimana setiap paparannya hampir selalu dimulai dengan "bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya cintai". Sungguh, beliau adalah pribadi yang pengalamannya luas sekali. Ibarat Pendekar yang sudah malang melintang di dunia Kong-Ow, beliau selalu bersahaja dan rendah hati. Tutur bahasanya selalu teratur, baik diksi-diski yang dipilih, sampai pada pola pengucapanya yang nyaris sempurna.

Uniknya, setiap mau menjawab pertanyaan, beliau selalu mengawalinya dengan analogi dan fabel yang sarat hikmah dan perenungan. Saya baru menyaksikan sendiri beliau benar-benar luar biasa! Mulai dari revolusi Perancis, sampai sejarah dunia, beliau paparkan dengan begitu fasih dan seolah hafal luar kepala! Apalagi teori-teori sastra, jangan ditanya,karena beliau akan menjawabnya dengan panjang lebar, bahkan sangat dalam dan terkadang filosofis!

Menurut belau, ada sekian banyak karya sastra yang mencerminkan kehidupan faktual di tengah-tengah masyarakat. Standar atau ukuran yang dapat dijadikan patokan bahwa sebuah karya dianggap bagus dan berkualitas adalah dari efeknya di tengah-tengah masyarakat. Dalam bahasa beliau, efek dalam hal ini dengan gema. Gema inilah yang akan diingat dan menjadi kelebihan dari sebuah karya. Ia akan memantul pada tiap sendi kehidupan masyarakat sehingga mampu membawa perubahan. Kapan perubahan itu terjadi, itu tergantung dengan kondisi yang mengitarinya.

"Karya yang bagus adalah karya yang menggema di hati manusia", ujarnya dengan nada bersemangat. "Jika ingin membuat karya yang baik, maka buatlah karya yang menggema bagi manusia lainnya", beliau melanjutkan presentasinya.

Peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa IAIN SA terlihat antusias dalam menyimak tiap uraian yang disampaikan oleh nara sumber. Tidak hanya ketika mendengarkan materi, mereka juga aktif menanyakan sesuatu yang perlu di bahas atau diklarifikasi dari materi kepada nara sumber. Bahkan, peserta diskusi sastra yang dimoderatori oleh Chabib Musthofa tersebut seakan-akan masih ingin menanyakan sesuatu kepada nara sumber walaupun waktu telah habis.

Akhirnya, diskusi tersebut diakhiri dengan pemberian buku yang dilaunching sebanyak 5 eksemplar kepada penanya yang dianggap berbobot pertanyaannya. Pemberian tersebut dilakukan oleh Shirley Doornik dari perwakilan DEMOS dan Masdar Hilmy. Dan penanya pertama yang beruntung adalah saya sendiri. Alhamdulllah...

18 Mei 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post