Jangan Panggil Aku Neng!

Kusampaikan permohonan maafku kepadamu, karena barangkali kau tak berkenan bila aku tuliskan percik perjalanan hidupmu. Kisah dengan nalar dan narasi yang mungkin bagi sebagain orang tak mudah dipahami, atau lalu memandangnya dengan penuh ironi. Tapi bagiku, dan mungkin juga bagimu, betapapun pahitnya sebuah perjalanan, ia tetap tak akan pernah tergantikan. Maka harusnya kau tak perlu menyesal untuk selalu mengenang tiap derap dan jengkalnya dengan penuh penghayatan.
Atau biarlah kita berpikir bahwa segalanya telah ada pada Qada’ yang berjanji, dan biarlah Qadar yang menepati. Sebuah janji sunyi, pada kerikil air matamu yang pecah berkali-kali...

Dari Sahabatmu...


# # #

Menjadi sahabatnya, sungguh tak pernah terlintas sedikitpun di kepalaku. Mengenalnya saja bagaikan membentur dinding kemustahilan. Bagaimana mungkin aku yang masih lugu dan culun berusaha untuk sedikit tahu tentang dirinya yang bintang. Ya, sebut saja dia Bintang, yang meski hanya pendar, tapi ia begitu menyejukkan. Begitu dulu teman-temanku bergumam. Sebagai santri, tentu saya memiliki batas demarkasi yang ketat dengan kungkungan tradisi yang mengikat. Maka aku hanya mendengar namanya dengan sebutan Neng (sebutan untuk puteri seorang Kiai), tanpa pernah melihat wajah, apalagi mengenal sifat dan karakternya.

Tentu saja alasanku masuk akal. Bukankah hampir setiap santri selalu berusaha taat pada tradisi? Meski kelak aku baru paham, bahwa tradisi hanyalah produk realitas yang dikonstruksi. Tetapi paling tidak, aku tak ingin dicap sebagai santri yang murtad! Bagiku, mendengar namanya diperbincangkan banyak santri sudah merupakan hot news yang menjadi headline media dan incaran para wartawan. Cukup hanya mendengarkan cerita-cerita epiknya, kisah-kisah heroiknya, puja-puji para pengagumnya, sembari berpikir bahwa apa yang sering didengarkan orang dari luar, tak lebih hanyalah penilaian dengan muatan subjektivitas belaka. Itu sudah cukup, dan aku tak lantas mengkultuskannya!

Tahun demi tahun berlalu, dan aku tetap tak ingin mengenalnya. Buat apa, toh aku bukan siapa-siapa baginya! Aku hanya serpih kecil di tengah gurun yang luas! Aku hanyalah hulubalang di tengah perwira-perwira kerajaan dalam epos Mahabarata! Biarlah teman-teman santri masih membicarakannya, aku tetap cuek bebek!

Pertengahan tahun 2005 aku mengikuti program pengabdian guru tugas pasca Aliyah, salah satu program yang telah berjalan puluhan tahun di pondokku. Hidup di desa terpencil dengan menjadi tenaga edukasi memang mengasingkan aku dengan hiruk-pikuk dunia pondokku sebelumnya. Saat mengabdi di pondok pesantren Hidayatut Thullab desa Bapelle, kecamatan Robatal, kabupaten Sampang, aku benar-benar tak lagi mendengar kabar Neng yang kupanggil Bintang. Aku tenggelam dengan kesibukan mengajar dan menjadi pembina OSIS dan Pramuka. Hanya satu pelajaran penting yang selalu kucatat dalam notes harian; bahwa di pesantren manapun, yang namanya Neng alias puteri sang Kiai hampir selalu menjadi perbincangan hangat bagi para santrinya!

Aku pun hijrah ke Surabaya, melanjutkan studi sarjana setelah setahun selesai masa tugas. Tepatnya di IAIN Sunan Ampel dengan spesifikasi Pendidikan Bahasa Arab. Tapi karena background kampusku beraroma Islam, maka istilah Neng masih santer kudengar, bahkan teman sekelasku banyak yang bertitel Neng, sama dengan Neng pondokku dulu. Barangkali memang kehendak takdir bahwa kelak aku akan mengenal lebih jauh dengan Bintang, maka tepat pada akhir semester lima, salah serang temanku yang juga Neng menangis di hadapanku. Aku pun tertegun, kenapa bisa-bisanya ia sesengukan dengan bahu berguncang hebat. Dan dengan terisak ia bercerita tentang kisah cintanya yang kandas di tengah jalan! Ah, perempuan memang aneh! Seruku kala itu.

Nisa’, begitu teman-teman kelasku memanggilnya, adalah puteri seorang Kiai di salah satu pesantren di Mojokerto. Ia seorang gadis yang lincah, dengan pembawaan yang selalu ceria, juga pemberani! Jika kebanyakan mahasiswi malu bertanya, Nisa malah memiliki stok persoalan lebih untuk dipertanyakan. Bila tak puas dengan jawaban dosen, ia sering bertanya kepaku perihal ilmu Nahwu-Shorrof yang tak dipahaminya. Maka ketika tiba-tiba ia menangis di hadapanku, aku terhenyak! ”Apa yang harus aku lakukan, Baha..?!” protesnya dengan tangis yang tumpah.

Aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya tahu bahwa dia adalah pacar temanku di lain jurusan. Dan selama ini tampaknya baik-baik saja, tak ada masalah. Kenapa tiba-tiba jadi parah begini? Heranku dalam hati. Usut punya usut, ternyata Nisa’ mengaku sudah dijdohkan oleh Abahnya, dengan laki-laki yang sama sekali tak dicintainya, dan termasuk kerabat dari pihak Umminya! Ah, lagi-lagi urusan perjodohan kekuasaan, pemerkosaan yang dilegalkan! Lagi-lagi aku terheran-heran dalam diam.

Maka seketika muncullah file-file dalam memori masa laluku di pondok. Bukankah menurut desas-desus para santri, Bintang juga telah dijodohkan? Sejenak kemudian, lahirlah tulisanku yang berjudul Kala Nafas Cinta Terenggut Tanpa Daya. Sebuah nalar yang coba kuanggit untuk melawan rezim patriarkhi yang menindas kaum hawa. Sebab bukan rahasia lagi kalau dalam kultur masayarakat Madura, perjodohan dalam keluarga Kiai dianggap biasa. Wajar, dan bahkan mungkin hampir menjadi niscaya. Tak peduli si Neng setuju atau tidak, yang penting kedua keluarga besar sama-sama sepakat! Dalam istilah film Ketika Cinta Bertasbih, si Neng tak ubahnya seperti Siti Nurbaya di abad modern. Korban egoisme hegemonik yang sengaja dilestarikan.

Sejak itulah, dunia Neng dengan segenap hiruk-pikuknya, atau lebih umum lagi dunia perjodohan yang dipaksakan dengan segala dalil-dalil agamanya, menjadi menu menarik dan menantang untuk kuamati. Terlebih setelah dua tahun kemudian, sekitar akhir tahun 2009, salah seorang sahabatku di fb mengaku suka, bahkan paling suka dengan tulisanku tentang perjodohan ini. ”Kenapa harus artikel itu yang paling kamu sukai, De?” tanyaku kepadanya ketika chatting via YM. ”Karena sama benar dengan kisahku, Kak!,” jawabnya sambil ketawa. Ah, ternyata bukan hanya kalangan Ningrat saja yang masih melestarikan paradigma perjodohan yang timpang, bahkan dalam masyarakat dengan ”kasta” bawah pun juga demikian.

Begitulah, akhirnya ketika demam facebook mewabah di kalangan negeri ini, bahkan sudah merambah ke kalangan pesantren, takdir menunjukkan jalan yang sebelumnya tak pernah kubayangakn sama sekali! Kulihat di fb-ku ada nama aneh yang tak kukenal. Profile picture-nya bergambar anak kecil dengan wajah yang imut dan pipi yang ranum. Rambutnya digelung ke atas, diikat dengan aksesori karet, entah apa namanya. Bajunya berwarna hitam dengan lengan bermotif kembang-kembang. Tanpa pikir panjang langsung saja ku-accept, karena prinsipku, siapapun yang add lebih dulu, pasti kukonfirmasi tanpa pandang bulu. Baru ketika dia online, aku pun mengajaknya chatt dan cari tahu identitas dan dari mana dia mendapatkan akunku. Dan ternyata dia adalah si Bintang!

Awalnya dia pura-pura mengaku orang lain. Tapi berdasarkan informasi teman-temanku, ia adalah si Bintang. Sepertinya ia belum tahu bahwa aku adalah santrinya! Atau bisa juga dia pura-puar nggak tahu! Ah, benar-benar lucu! Maka mulailah sedikit demi sedikit keakraban terjalin. Bahasanya memang kocak dan kadang sedikit gokil. Aku betah dan bahkan sering tertawa sendiri bila chatting dengannya. Meski awalnya aku sungkan, tapi lambat laun dia menyadarkanku bahwa tak seharusnya aku bersikap ewuh pakewuh apalagi sam’an wa tha’atan kepadanya. Bahkan dia tak rela bila kupanggil dengan sebutan Neng!

Nang nenk nonk suara bel! Tegurnya kesal.

Oke, Neng! Jawabku santai, keceplosan.

Eh, namaku bukan bel!! Ngawur!! Siapa juga yang ngantuk, masih chatt nih. Eh, aku kangen chatting sama kamu...

Baginya, Neng adalah makhluk alien yang terasing dari dirinya sendiri. Obsesi idealitasnya ternyata mengantarkan dirinya pada labirin yang pengap, dengan tembok-tembok kokoh yang tak mampu diterjangnya. Doanya adalah tangis keheningan. Kesahnya adalah air mata diam. Darinya, sungguh aku benar-benar paham makna ikatan dan kepasrahan; sebuah tafsiran yang oleh teman-teman pondokku dulu – bahkan mungkin sampai sekarang--- hanya diraba dari kulit luarnya, tanpa pernah mengupas sisi substansinya! Sejak itulah aku tak lagi memanggilnya dengan sebutan Neng. Dan sejak itu pulalah aku merasakan betapa hidup sarat ambigu. Betapa pandangan mata seringkali menipu. Betapa pendengaran telinga seringkali meragu.

”Orang luar seringkali menganggapku bahagia, padahal sebenarnya sangat tersiksa”, begitu kira-kira bahasa sederhana untuk mewakili ketakberdayaannya melawan takdir. Ia seringakli kecewa dengan dirinya senidiri. Ia lelah. Bahkan terlanjur tak kuasa menampakkan raut duka kekecewaannya! ”Aku hanya nggak ngerti apa yang mereka mau...”, suatu saat tangisnya rebah. Ah, betapa hidupnya selalu menanggung berton-ton beban yang menekan, bahkan saat ia mencoba berusaha menjadi seperti apa yang keluarga besarnya inginkan. Ya, kompleksitas problema yang menghimpitnya memang sulit dicerna dengan nalar biasa. Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan hanya kata-kata, apalagi dengan justifikasi argumentasi agama.

”Baha, mungkin benar, harusnya aku bisa ketawa lepas dengan ngelihat semuanya hanya ’luar biasa’ ala kamu...” sms-nya suatu ketika. Di saat banyak orang mengejar-ngejar kehormatan, ia malah tersiksa karena statusnya. Batinnya merana karena kondisi lingkungannya. Ia benar-benar menjadi seperti Anisa, pemeran utama dalam film Perempuan Berkalung Sorban, yang diangkat dari novel karya Abidah el-Khaiqie. Sudah tak bisa mewujudkan mimpinya, malah "dicaci maki" keluarganya!

”Baha, aku seorang pecundangkah? Kenapa aku sepicik ini ngelihat hidup!???” Saat usahanya dirasa sia-sia, keluhnya membuncah. Saat jerit keputus asaan yang menderanya muncrat tiba-tiba, ia terpaksa menyalahkan dirinya yang terluka.

”Tapi kamu senang pada senja kan?,” balasaku menghibur, juga dengan sms. ”Selumpuh apapun kita, senja tetap merona lembayung, semerah hati kita. Percayalah, senja tetap rindu pada temaram. Dan segalanya pasti merindukan akhir...” lanjutku.

”Kamu bisa bawa aku di imajinasi kamu, di situ?” dari diksinya, sepertinya dia sedikti terhibur.


”Bisa dong! Kamu kan senang pada pantai dan debur ombak yang mengalun. Dan kulihat wajahmu berarak di hamparan gelombang senja, penuh riak-riak keperakan. Indah banget tau!”

”Ahh...kah! senja itu membunuh kita perlahan, Baha.. ”

”Kamu benar. Untuk menjadi manusia sejati, kita harus membunuh diri sendiri. Ah, begitu kejamnya dunia..”

# # #

Aku menduga kuat bahwa kau akan tertawa membaca tulisanku yang menceritakan kisahmu ini. Tapi biarlah. Toh, kau akan terus menertawakan nalarku yang tak menyuguhkan solusi apapun untuk menyelesaikan persoalan takdirmu. Sama seperti ketika aku menuliskan untukmu Pertemuan Hujan dan Kau Balut Luka dengan Keheningan Doa, lalu kau mencibirku dengan berkata; ’hallo, pujanggaku kok lebay banget ya?’. Dan kita pun tertawa hangat, sehangat Cappucino yang menjadi takdir kopi favoritmu.

Akhirnya, janjiku hanya akan tetap menanti detik-detik terkahir perjalanan kisahmu. Happy ending-kah, atau? Ah, setelah itu aku yakin kau tak akan memaksaku untuk kembali menuntut Tuhan, lalu menertawakan kehidupan.

”Ketika semua terjadi, hanya pertanyaanlah yang mungkin menjadi dominan dari kerdilnya kita. Tapi kenyataannya Tuhan nggak akan membiarkan kita ada di tempat yang seharusnya kita nggak pernah ada. Tuhan menyayangi kamu banget, sobat. Be the real, Baha...” begitu nasehatmu ketika aku kena musibah kehilangan laptop. Tapi aku yakin, sesunguhnya kamu sedang menghibur dirimu sendiri...

Pamekasan, 07 Juni 2010

Note:
Kisah kehidupan sahabatku di atas diposting untuk berpartisipasi dalam Kontes Blog Berbagi Ksah Sejati, yang disponsori oleh Denaihati. Untuk Mbak Anaz yang baik hati, mohon maaf karena girimnya agak lambat ya, bahkan hari terakhir pula!

Post a Comment

Previous Post Next Post