Dengan membaca kita akan tahu dunia dan dengan menulis dunia akan tahu kita... - Kata orang bijak
Judul di atas tanpa sadar telah memaksa saya untuk membuka kembali memory card yang berisi folder dan file-file penting selama tujuh tahun belajar di pesantren. Ada beberapa folder yang bertutur tentang hiruk-pikuk canda tawa, suka-duka, atau bahkan folder yang sengaja saya hidden agar tidak terindeks oleh virus yang siap menggerogoti. Dan yang paling krusial adalah file tentang fluktuasi ghirah (semangat) kepenulisan saya yang hampir mencapai titik maksimal, justru pada saat minimnya fasilitas dan sarana yang mendukung.
Itulah barangkali abstraksi awal yang hendak diangkat oleh buku Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis ini. Membacanya, kita akan menyaksikan tiap jengkal episode kepenulisan para santri yang penuh onak dan duri, melewati jalan setapak yang terjal dan penuh jurang. Tapi tekad telah menjadi karang yang tak goyah diterjang gelombang. Mimpi telah menjadi api yang mengobarkan semangat janji. Maka apapun yang terjadi, bahkan sejuta rintangan menghalangi, ikhtiar menulis tetaplah abadi.
Dari Catatan Harian Hingga Transformasi Gagasan
Simaklah dengan seksama, bagaimana seorang Suhaidi RB, salah satu santri penulis buku ini, bercerita tentang riwayat kepenulisannya yang sarat heroisme. Ia terlahir dari keluarga yang jauh dari budaya baca-tulis. Gen sebagai penulis bisa dikatakan tidak mengalir dalam keluarga saya, begitu pengakuannya. Kondisi sosial ekonomi dan tingkat pendidikan di kalangan rumahnya juga pas-pasan.
Bagi Suhaidi, teologi menulis adalah semangat pantang menyerah. "Sudah hampir 30 cerpen yang saya tulis hingga hari ini. Sudah banyak yang saya kirimkan ke berbagai media. Dan alhalmdulillah, satu pun belum ada yang dimuat", begitu kelekarnya pada waktu bedah buku di atas. Tapi ia pantang menyerah. Maka untuk menopang biaya studi sarjananya, ia mengubah haluan dari menulis fiksi ke non fiksi. Dan untuk pengiriman pertama kali, artikel opininya langusng diterima media. "Takdir sepertinya memang tidak mengizinkan saya menjadi seorang cerpenis", tambahnya bergurau.
Ya, cerita Suhaidi hanyalah satu dari sekian banyak perjalanan santri dalam menapaki dunia tulis-menulis, lika-liku yang menggairahkan dan penuh tantangan. Ada Rijal Mumazziq yang rela membuat buletin tandingan karena "mendendam" pada redaktur yang tidak pernah memuat karyanya. Ada Noviana Herliyanti, Hana al-Ithriyyah, Nur Faisal dan sederetan santri lainnya. Motivnya pun beragam, mulai dari dorongan orang tua hingga idealisme-pragmatis alias tuntutan kantong hidup.
Menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh kesabaran yang pantang menyerah, apalagi mengaku kalah. Berjuta-juta lembar sertifikat yang kita dapatkan dari diklat kepenulisan tak akan membuat kita menjadi penulis dadakan. Tak ada sejarahnya penulis hebat lahir hanya mengandalkan bakat. Ada banyak tahapan yang harus ditempuh bersusah payah dan berdarah-darah. Barangkali benar apa yang sering saya baca di buku-buku motivasi, bahwa pelaut yang hebat tidak dilahirkan dari ombak yang kecil, melainkan gelombang yang besar.
"Penulis itu adalah orang tersesat di jalan yang benar", begitu kata Lan Fang, salah satu pembanding dalam acara bedah buku Jalan Terjal santri Menjadi Penulis, yang diterbitkan oleh Muara Progresif bekerjasama dengan Pondok Budaya IKON Surabaya. Acara yang digelar di Auditorium Self Acces Center (SAC) IAIN Sunan Ampel Surabaya ini berjalan lancar dan semarak. Bukan hanya karena rentetan acaranya yang kocak, tapi karena komitmen para santri yang terkumpul dalam bunga rampai ini tiba-tiba memunculkan geliat semangat saya untuk bisa seperti mereka...
Akhirnya, kehadiran buku ini telah me-remove mitos bahwa santri adalah makhluk tradisional, sulit berkembang dan terkesan primitif. Jika sobat penasaran dengan jalan terjal kepenulisan mereka, tidak ada salahnya jika membacanya sampai tuntas. Dijamin sobat akan merasa puas, tetapi selalu dahaga untuk melukis kata-kata di atas kanvas. (Sorry, promosi dikit. ) 10 Desember 2009
Post a Comment