Memaknai Kompleksitas Hidup

Alhamdulillah, akirnya sempat juga posting di blog ini, setelah lebih satu minggu tidak menyapa sahabat-sahabat semuanya. Rasa rindu tiba-tiba menjelma kesyahduan yang dalam. Sugguh, saya begitu rindu pada sahabat; rindu kata-katanya, komentar-doanya, motivasinya dan segalanya tentangnya.

Kesyahduan itu lalu menjelma ketakjuban yang mengharu-biru; betapa kompleksitas hidup ternyata sangat indah jika kita memandangnya dari perspektif yang berbeda. Ya, perspektif sangat menentukan narasi hidup yang kita bangun, termasuk di dalamnya adalah kesedihan dan kebahagiaan. Bagaimana kita memaknai dualisme dan dialektika hidup, kaya-miskin, senang-susah, baik-buruk dan persoalan lainnya sangat ditentukan olah cara pandang kita terhadap kehidupan itu sendiri.

Logika di atas akan bekerja ampuh ketika kita ditimpa nahas, suatu musibah yang tak pernah manusia inginkan. Tapi nahas adalah keniscayaan, dan kita terlanjur tidak memiliki kekuatan seujung kuku pun untuk menolaknya. Di sinilah perspektif yang berbeda itu sangat dibutuhkan. Marilah kita telaah sedikit demi sedikit kompleksitas-totalitas hidup ini, agar kita menerima setiap sisinya (hitam-putihnya, sedih-bahagianya, buruk-baiknya) dengan hati lapang dan penuh penghayatan.

Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka. Senang susah itu biasanya termanifestasikan dalam bentuk tangis dan tawa. "Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka?" Kata Asmaraman S. Koo Ping Ho dalam salah satu novel serialnya. Demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Maka yang berganti duka adalah suka.Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain.

Kita kerap kali benci, muak dan sangat antipati terhadap keburukan. Kita seolah-olah anti terhadap keburukan, padahal kita tahu arti kebaikan karena ada keburukan. Dan ingin menghapus keburukan secara total sama artinya dengan menghapus kehidupan. Maka Maling itu tepat kalau yang dilakukannya adalah mencuri, yang keliru adalah apabila seorang maling menjadi muballig. (Ingat, di sini kita tidak berbicara tentang halal-haram dalam frame normativitas agama).

Ya, begitulah hidup. Ia begitu kompleks dan bahkan sarat absurditas. Pluralitas hidup dengan segala aspek dan sisinya telah menyuguhkan kesadaran baru, bahwa hidup memang untuk dijalani dan dinikmati, bukan ditakuti dan dicaci-maki. Sungguh, hidup itu indah jelita jika kita tahu cara memandang dan menjalaninya...

Allah Memberi Apa yang Kita Butuhkan, Bukan yang Kita Minta

"Ku minta pada Allah setangkai bunga segar, namun Ia memberiku kaktus berduri. Ku minta pada-Nya binatang yang mungil nan elok, namun Ia memberiku ulat yang berbulu. Aku sedih, berontak, dan tentu kecewa. Betapa tidak adilnya ini. Tapi kemudian, ternyata kaktus itu berbunga indah, bahkan sangat indah. Ulat itu pun tumbuh menjadi kupu-kupu yang elok dan jelita. Dari situ aku baru sadar, di situlah jalan Allah, indah pada waktunya. Allah tidak memberi apa yang kita minta, tapi Ia memberi apa yang kita butuhkan. Kadang kita sedih, kecewa, terluka. Tapi jauh di atas segalanya, Ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita...."

Batapa bahagianya saya membaca rajutan kata-kata di atas. Entah siapa yang mengirimnya, sampai saat ini saya belum tahu. Hanya ada 12 digit nomor baru yang tertera di Inbox HP saya, saat melakukan perjalanan Surabaya-Situbondo kemarin lusa. Sudah berusaha saya reply, tapi tetap atak ada jawaban. Sekali lagi Tuhan telah menunjukkan, bahwa nasehat seorang sahabat sungguh sangat bermakna. Lantunan kata yang mampu menyirami kekalulatan yang belakangan merejam hampir seluruh kesadaranku. Terima kasih Tuhan, terima kasih sahabatku...

21 November 2009

Post a Comment

Previous Post Next Post