Sepertinya, ada suatu pola dan karakter tertentu yang secara konsisten mengkonstruk nalar komunikasi sebagian besar generasi digital ini, yakni makin kabur dan samar identitas seseorang yang terlibat dalam komunikasi virtual, maka semakin besar kemungkinannya untuk menimbulkan praktek komunikasi yang kurang atau malah tak bertanggungjawab. Komunikasi yang "tak bertanggung-jawab” di sini adalah komunikasi yang menggunakan kalimat yang kasar, penuh rayuan-gombal, sarat tipuan, kadang malah kalimat yang kotor dan sangat menjijikkan.
Maka saya tidak pernah kaget jika di pojok-pojok malam, saya sering mendengar "suara-suara kecil" yang seolah tertahan, hampir menyerupai desahan. Kadang dibumbui dengan sela-sela tawa, renyah, dan sepertinya menggembirakan. Ini bukan persoalan pornoaksi-pornografi yang menjadi problem menantang kaum moralis. Bukan. Ini murni proses pendekatan seorang anak muda dengan lawan jenisnya. Proses negosisasi via udara dengan strategi dan taktik yang nyaris sempurna. Semacam gaya cinta dunia maya. Dan ketika "mangsa" hampir terbuai, maka tembakan lihai pun menemukan jalannya.
Itulah gejala sosial yang saya maksud dengan komunikasi maya dan lebay communiity. Sebuah gejala yang hampir populer di era hypermodernisme ini, dan amat diminati oleh komunitas yang berkutat dengan dunia tawar-menawar "rasa", makhluk-makhluk yang sering iseng keluar masuk chatt room dan acak nomor Hand Phone. Maya, karena komunikasi yang dibangun jelas hanya ada di dunia antah berantah dan sebagian besar merupakan hasil acak nomor dan 'saling beri nomor' sesama kolega, tanpa mengetahui dengan jelas identitas 'buruan' sebenarnya. Lebay, karena jelas-jelas apa yang dijadikan topik perbincangan adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting, sarat bualan, dan karangan kebohongan.
Logika mana yang tidak tergelitik ketika mendengar adanya seorang gadis dengan penuh perhatian, hampir tiap bulan mengirim sang "kekasih semu"-nya dengan uang ratusan ribu rupiah, padahal mereka sama sekali belum pernah ketemu? Rasio mana yang membenarkan ketika melihat seorang tante tiba-tiba dengan penuh talenta sering mentransfer pulsa untuk "kekasih kecil"-nya yang tak pernah ditemuinya? Ya, hanya logika mayalah yang membenarkannya....
Lagi-lagi saya tidak merasa heran jika sepulang dari Surabaya, berlibur ke kampung halaman, sahabat-sahabat lama tiba-tiba mengemis meminta nomor tante. Setelah saya tanya untuk apa, ya sebagai tambahan pulsa lah, jawab mereka santai dan seolah tanpa beban. Jika sudah demikian, dengan tegas saya katakan : Saya tidak punya bakat untuk menyimpan nomor tante! Dan mereka pun hanya tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya, karena mereka memakai kartu XL, maka salah seorang sahabatku menjulukinya dengan Xtra Lebay alias lebay yang sangat berlebihan.
# # #
Konon, kepercayaan adalah modal awal dalam jalinan komunikasi. Dan virtual world tampaknya menjadi media efektif dan paling digemari oleh manusia cyber untuk melancarkan aktualisasi sosialnya. Maka perempuan lemahlah yang acap jadi korban kelicikan seorang lelaki lebay, yang sering mengobral janji-janji manisnya, bersedia "serius" untuk sehidup semati dan segala motif kepalsuan lainnya, tetapi ketika ketemu pertama kali langsung ngacir terbirit-birit karena sang perempuan tidak sesuai dengan yang dikhayalkan. Inilah barangkali implikasi logis dari efek komunikasi maya yang tidak didasari dengan kejujuran kedua belah pihak.
Ya, dunia sepertinya telah mencapai stadium paling absurd, menyentuh titik paling nadir, penuh ironi dan paradoks yang menggelitik sekaligus membingungkan dan memiriskan. Betapa akselerasi teknologi komunikasi telah merubah tatanan tradisi menjadi penuh anomali. Teknologi telah menjelma madu dan racun. Kadang malah buah simalakama. Diturutin dan dimajna salah, tidak diikutin malah ribet. Inilah ironi mendasar teknologi dalam keseharian kita; mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Dengan orang-orang yang jauh kita jadi dekat. Kita bisa asyik chatting, ikut milis, posting-postingan komen di threads, blogwalking, facebook-an, surfer segala informasi di search engine, bahkan terkoneksi dengan orang-orang-orang lewat friendster dan facebook. Dunia jadi boarderless. Kota Paris serasa sepelemparan batu dengan Amerika.
Apa yang saya sebutkan di atas tentu akan menjadi tema menarik bagi para sarjana sosial dan komunikasi untuk dijadikan lahan riset yang menantang. Sekarang ini, dunia maya telah menjadi salah satu arena penting sosialisasi baru yang tidak bisa lagi diabaikan. Interaksi sosial melalui dunia maya tidak kalah krusial dengan interaksi langsung secara fisik melalui “kop-dar”--- meminjam istilah makhluk-makhluk milis---, kopi darat, alias bertemu langsung. Dan karena saya bukan seorang sosiolog dan pakar komunikasi, maka apa yang saya paparkan ini jelas bukan pengamatan seorang sarjana melalui tipologi dan standar metodologi penelitian yang baku, melainkan hanya riset dan observasi kacangan-amatiran. Sobat boleh tak setuju dengan pengamatan saya ini dan juga bisa mengajukan interpretasi lain.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mengenang keheningan malam di era 90-an, dimana saya dengan leluasa mendengar dan menikmati suara jangkrik yang ritmis, bukan "suara-suara" kecil yang penuh kepalsuan. Era di mana corong-corong mushalla begitu khidmat menggemakan lantunan adzan di setiap fajar menjelang, bukan erangan tawar-menawar manusia yang mendewakan cinta di atas logika untung rugi. Ah, betapa makhluk bernama Renaissance dan Aufklarung telah membawa gelombang perubahan dahsyat yang barangkali tidak pernah terpikrikan sebelumnya... 01 November 2009
Maka saya tidak pernah kaget jika di pojok-pojok malam, saya sering mendengar "suara-suara kecil" yang seolah tertahan, hampir menyerupai desahan. Kadang dibumbui dengan sela-sela tawa, renyah, dan sepertinya menggembirakan. Ini bukan persoalan pornoaksi-pornografi yang menjadi problem menantang kaum moralis. Bukan. Ini murni proses pendekatan seorang anak muda dengan lawan jenisnya. Proses negosisasi via udara dengan strategi dan taktik yang nyaris sempurna. Semacam gaya cinta dunia maya. Dan ketika "mangsa" hampir terbuai, maka tembakan lihai pun menemukan jalannya.
Itulah gejala sosial yang saya maksud dengan komunikasi maya dan lebay communiity. Sebuah gejala yang hampir populer di era hypermodernisme ini, dan amat diminati oleh komunitas yang berkutat dengan dunia tawar-menawar "rasa", makhluk-makhluk yang sering iseng keluar masuk chatt room dan acak nomor Hand Phone. Maya, karena komunikasi yang dibangun jelas hanya ada di dunia antah berantah dan sebagian besar merupakan hasil acak nomor dan 'saling beri nomor' sesama kolega, tanpa mengetahui dengan jelas identitas 'buruan' sebenarnya. Lebay, karena jelas-jelas apa yang dijadikan topik perbincangan adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting, sarat bualan, dan karangan kebohongan.
Logika mana yang tidak tergelitik ketika mendengar adanya seorang gadis dengan penuh perhatian, hampir tiap bulan mengirim sang "kekasih semu"-nya dengan uang ratusan ribu rupiah, padahal mereka sama sekali belum pernah ketemu? Rasio mana yang membenarkan ketika melihat seorang tante tiba-tiba dengan penuh talenta sering mentransfer pulsa untuk "kekasih kecil"-nya yang tak pernah ditemuinya? Ya, hanya logika mayalah yang membenarkannya....
Lagi-lagi saya tidak merasa heran jika sepulang dari Surabaya, berlibur ke kampung halaman, sahabat-sahabat lama tiba-tiba mengemis meminta nomor tante. Setelah saya tanya untuk apa, ya sebagai tambahan pulsa lah, jawab mereka santai dan seolah tanpa beban. Jika sudah demikian, dengan tegas saya katakan : Saya tidak punya bakat untuk menyimpan nomor tante! Dan mereka pun hanya tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya, karena mereka memakai kartu XL, maka salah seorang sahabatku menjulukinya dengan Xtra Lebay alias lebay yang sangat berlebihan.
Konon, kepercayaan adalah modal awal dalam jalinan komunikasi. Dan virtual world tampaknya menjadi media efektif dan paling digemari oleh manusia cyber untuk melancarkan aktualisasi sosialnya. Maka perempuan lemahlah yang acap jadi korban kelicikan seorang lelaki lebay, yang sering mengobral janji-janji manisnya, bersedia "serius" untuk sehidup semati dan segala motif kepalsuan lainnya, tetapi ketika ketemu pertama kali langsung ngacir terbirit-birit karena sang perempuan tidak sesuai dengan yang dikhayalkan. Inilah barangkali implikasi logis dari efek komunikasi maya yang tidak didasari dengan kejujuran kedua belah pihak.
Ya, dunia sepertinya telah mencapai stadium paling absurd, menyentuh titik paling nadir, penuh ironi dan paradoks yang menggelitik sekaligus membingungkan dan memiriskan. Betapa akselerasi teknologi komunikasi telah merubah tatanan tradisi menjadi penuh anomali. Teknologi telah menjelma madu dan racun. Kadang malah buah simalakama. Diturutin dan dimajna salah, tidak diikutin malah ribet. Inilah ironi mendasar teknologi dalam keseharian kita; mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Dengan orang-orang yang jauh kita jadi dekat. Kita bisa asyik chatting, ikut milis, posting-postingan komen di threads, blogwalking, facebook-an, surfer segala informasi di search engine, bahkan terkoneksi dengan orang-orang-orang lewat friendster dan facebook. Dunia jadi boarderless. Kota Paris serasa sepelemparan batu dengan Amerika.
Apa yang saya sebutkan di atas tentu akan menjadi tema menarik bagi para sarjana sosial dan komunikasi untuk dijadikan lahan riset yang menantang. Sekarang ini, dunia maya telah menjadi salah satu arena penting sosialisasi baru yang tidak bisa lagi diabaikan. Interaksi sosial melalui dunia maya tidak kalah krusial dengan interaksi langsung secara fisik melalui “kop-dar”--- meminjam istilah makhluk-makhluk milis---, kopi darat, alias bertemu langsung. Dan karena saya bukan seorang sosiolog dan pakar komunikasi, maka apa yang saya paparkan ini jelas bukan pengamatan seorang sarjana melalui tipologi dan standar metodologi penelitian yang baku, melainkan hanya riset dan observasi kacangan-amatiran. Sobat boleh tak setuju dengan pengamatan saya ini dan juga bisa mengajukan interpretasi lain.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mengenang keheningan malam di era 90-an, dimana saya dengan leluasa mendengar dan menikmati suara jangkrik yang ritmis, bukan "suara-suara" kecil yang penuh kepalsuan. Era di mana corong-corong mushalla begitu khidmat menggemakan lantunan adzan di setiap fajar menjelang, bukan erangan tawar-menawar manusia yang mendewakan cinta di atas logika untung rugi. Ah, betapa makhluk bernama Renaissance dan Aufklarung telah membawa gelombang perubahan dahsyat yang barangkali tidak pernah terpikrikan sebelumnya... 01 November 2009
Post a Comment