Pacaran Hancur-hancuran

Diksi judul di atas mengingtkan saya pada buku Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan yang pernah diterbitkan LKiS Jogjakarta. Hanya dengan melihat sekilas judul tersebut, pembaca pastinya telah memiliki deskripsi hipotesis tentang pesan aksiologis yang hendak disampaikan sang penulis. Begitu juga dengan para pengunjung blog sejenak kemudian ini, tanpa membaca tuntas keseluruhan isi artikel ini, sejatinya telah terbersit makna Pacaran Hancur-hancuran yang saya maskud pada postingan kali ini.

Entah, kenapa akhir-akhir ini saya selalu riskan jika dihadapkan pada persoalan rasa cinta yang memang mutlak dimiliki oleh seluruh manusia di jagat ini. Apakah ini karena booming kiamat 2021 sudah terlanjur mendunia, atau karena syndrom lain yang menjangkiti perasaan ini. Saya kurang tahu. Tapi paling tidak, saya selalu memiliki greget untuk menorehkan catatan melankolis yang memang berkaitan dengan wilayah "rasa" ini. Sebut saja misalnya goresan-goresan kecil yang pernah saya tulis di blog ini, yakni Cinta Dunia Maya yang terilhami oleh kisah cinta Itik Bali, Aktivis Romantis yang terinspirasi oleh teman-teman IMABA Pamekasan, hingga Komunikasi Maya dan Lebay Community yang memperbincangkan diskursus komunitas lebay yang bergentayangan di dunia maya.

Apakah saya sedang jatuh cinta? Biarlah waktu yang menjawabnya. Saat ini, saya hanya ingin menganalisis nalar anak muda masa kini dan narasi pacarannya yang kian binal dan transparan. Binal, karena pacaran tidak hanya sekedar menjadi proses mediasi awal untuk menjalin hubungan yang lebih serius, tetapi sudah mendobrak dinding-dinding moralitas. Transparan, karena pacaran sudah menjelma tradisi kosmopolitanisme yang populer di kalangan remaja dan bahkan anak bau kencur, tanpa memperhatikan waktu dan tempat dimana mereka melampiaskan nafsu libidalnya.

Di era postmodernisme ini, lelaki tidak memiliki pacar dianggap banci. Perempuan tidak memiliki harim dianggap tidak laku. Dan keduanya akan diklaim sebagai manusia yang ketinggalan pesawat, makhluk jadul alias jaman purba dan segala bentuk term stigmatis lainnya. Di stasiun-stasiun televisi, acara kompetisi pasangan muda-mudi menjadi menu favorit sebagian besar masyarakat bangsa ini. Produsen-produsen film berbondong-bondong menggarap tema pacaran sebagai ajang pencapaian rating yang tinggi.

Konon, sebuah penelitian kualitatif dengan teknik random sampling yang dilakukan di kota Surabaya memunculkan fakta menggelitik bahwa wanita muda di kota metropolis ini lebih mudah diajak bersenggama (Making Love) daripada diajak menikah. Hal ini, sebagaimana dituturkan Bang Icank, menunjukkan bagaimana para wanita muda Surabaya sudah mulai bisa menerima perbuatan senggama di luar nikah (sex before married). Virginitas seolah menjadi dagangan paling murah. Inilah barangkali ekses negatif dari dunia kocar-kacir, dunia tunggang langgang, runaway world vesri Anthony Giddens itu.


# # #

Paparan di atas sebenarnya adalah bentuk manifestasi keheranan saya pribadi terhadap kondisi psikologis salah seorang gadis cantik, sahabat saya di organisasi kampus. Rasa heran itu kemudian menjelma menjadi letupan-letupan kecil untuk merefleksikannya dalam bentuk tulisan. Terlebih setelah membaca posting sobat Yanuar Catur tentang curhat cintanya. Dan semoga tulisan "hancur-hancuran" ini mampu menyuguhkan seberkas kesadaran baru, entah apapun kesadaran itu.

Menurut informasi, si gadis pernah berpacaran berkali-kali sejak SMA. Saya pun tidak heran, barangkali ia masih cukup muda untuk dikatakan deawasa dan masih belum paham benar makna tersinggung. Dan kota semetropolis Surabaya, menemukan gadis dengan sederetan mantan pacar adalah hal yang sangat mudah. Lumrah malah. Tetapi gaya pacaran ala gadis ini menjadi lain ketika saya tahu bahwa ia telah berganti pacar ke teman dekat pacar lamanya. Satu organisasi lagi. Luar biasa.

Suatu saat, dalam sebuah acara ekstra kampus di Prigen, Pasuruan, kawanan kabut tiba-tiba menyerbuku. Malam makin larut, tetapi raungan lalu lalang mobil masih bergema nyaring di jalan depan Villa, memecah keheningan yang senyap. Mobil-mobil dan muda-mudi pengendara sepeda motor lebih banyak menuju ke atas, ke daerah Tretes yang dingin, entah hanya sekedar iseng atau memang sengaja menikmati weekend bersama sang pacar. Inilah wajah Tretes malam hari, pikirku waktu itu.

Sedikit menggigil, saya masih berbincang-bincang sambil menyeruput kopi dan sebatang rokok. Ada kehangatan yang menjalari hampir seluruh sendi-sendi tubuhku. Rokok dan kopi sepertinya menjadi sahabat paling berharga di daerah yang beku, untuk mengusir dingin yang menggigil. Tiba-tiba si gadis datang bersama pacar barunya, duduk bersama kami. Acara cangkruk santai memang menjadi tradisi paling asyik di organ ekstra ini. Lalu pacar lamanya seketika tertegun, meski dipaksakan untuk tidak terpengaruh, raut mukanya tetap menampakkan wajah yang lain. Wah, ini kondisi yang tidak nyaman, gumamku waktu itu.

Basa-basi pun dimulai. Derai-derai tawa juga mulai mewarnai perbincangan malam itu. Anehnya, si gadis sama sekali tidak merasa menyinggung pacar lamanya, yang juga sahabat dekat pacar barunya. Ini logika yang tidak lucu, teriakku dalam hati. Bagaimana mungkin sang gadis pura-pura tidak mengerti bahwa pacar lamanya bisa terserang "demam" hanya karena ulah manjanya pada pacar barunya? Luar biasa! Sebuah peristiwa menarik yang sampai saat ini menyisakan pertanyaan hipotesis-analitis di benakku; sebegitu parahkah gaya pacaran anak muda masa kini? Maka tidak heran jika kemudian sahabatku yang lain tiba-tiba berbisik di telingaku: "hebat benar si gadis, bisa meringkus sahabat-sahabat kita sekaligus! Bisa nggak ya dia melupakan "saat-saat" tertentu selama kencan sama pacar lamanya?".

Saya sangat mengerti apa yang dimaksud 'saat-saat tertentu' oleh sahabatku itu. "Bukan pacaran namanya kalau tidak nge-seks", tiba-tiba kata itu berjejal kembali di otakku. Sebuah redaksi ironis-tragis yang pernah dilontarkan seorang gadis jebolan salah satu pondok ternama di Jawa Timur. Ah, ternyata saya baru sadar, bahwa kota seangkuh Surabaya telah mampu merubah cara pandang seseorang secara drastis, mengubah pola hidup seorang santri yang lugu menjadi demikian binal, nayaris total seratus depalan puluh derajat.

Maka bukanlah fanatisme yang berlebihan bila salah seorang karib saya pernah bersumpah, jika ia memiliki adik perempuan (apalagi cantik), sungguh, ia tidak akan mengijinkannya bila kelak sang adik meminta agar dikuliahkan di Surabaya. Karena sekuat dan sekokoh apa pun keimanannya, ia selalu terancam hancur oleh lelaki hidung belang, lelaki pembual, maupun buaya darat... 04 November 2009

Post a Comment

Previous Post Next Post