Aktivis Romantis


Bagaimana jadinya jika seorang aktivis yang identik dengan dunia koar-koar, hingar-bingar dan segala bentuk "violen" lainnya tiba-tiba menjadi seorang yang melankolis dan romantis? Bagaimana jadinya, jika tiba-tiba ia terjerembab dalam kubangan cinta yang melenakan, meluluhkan segala gegap gempita euforia gerakannya yang kadang terlalu ekstrem?

Pertanyaan di atas sebenarnya mulai menggelitik untuk saya ungkapkan ketika beberapa hari yang lalu, saat teman-teman pergerakan --- yang hobinya berteriak-teriak menuntut sang birokrat busuk untuk turun dari jabatannya, seolah terhanyut dalam kesedihan yang dialami sang aktor dalam film ABG "Segalanya Karena Cinta". Ini fenomena yang menarik, gumamku pelan. Betapa roman picisan tentang kasidah cinta ternyata mampu menenggelamkan keangkuhan idealisme seorang mahasiswa pada jurang yang lebih absurd dan paradoks.

Tentu banyak argumentasi yang mengunggulkan komentar dan jawabannya masing-masing. Tentu muncul beragam perspektif yang dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan di atas. Apa yang perlu dipersoalkan dengan narasi aktivis yang berusaha romantis? Apa hak kita untuk menertawakan aktivis hanya karena subtilitas setitik 'rasa'?

Ya. Persoalan rasa memang terlalu maya untuk divisualisasikan dengan logika yang konkret. Tapi paling tidak, term Aktivis Romantis akan memberikan satu benang merah tentang relasi etis antara antagonisme gerakan dan romantisme perasaan; dualisme yang kadang berdiri secara diametris.

Sederhananya, rentetan gerakan aktivis mahasiswa cenderung terkungkung oleh logika pragmatisme, terpasung oleh heroisme artifisial. Pada saat yang berlawanan, ia tercabik oleh idealismenya sendiri, sembari meringkuk di hadapan sang pujaan hati sambil sesunggukan menahan airmata, atau dengan rayuan mautnya, ia berusaha menikmati setiap lekukan tubuh sang pujaan.

Aktivis romantis. Bagaimanakah keadaanmu? 20 Oktober 2009

Post a Comment

Previous Post Next Post