Lebaran Ketupat


Jika Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan, maka lebaran ketupat sepertinya bakal menjadi momentum paling menarik untuk dikaji secara historis-konseptual. Kesadaran akan semiotika makna ketupat, sebenarnya terbersit secara tidak sengaja ketika rutinitas Saling kunjung tiap hari ketujuh pasca lebaran yang dilakoni kerabat-kerabat saya tidak kunjung membosankan. Entah karena jeda waktunya yang terlalu jauh atau karena ada alasan lain, saya masih bertanya-tanya.


Maka saya pun teringat salah satu puisi D. Zawawi Imron tentang ketupat ini.

KETUPAT
akan berdosa membelah ketupat ini
beras-beras kasih, beras-beras rindu
telah bersetubuh dalam rimba sanubari
hingga alir sungai dari bukit azali
akan sampai ke muara

ketupat ini akan bisa dibelah
tapi tak dengan pisau dunia

(Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang, Balai Pustaka, 1982)

Dengan term ketupat, Zawawi mampu mengusung beragam asosiasi pemaknaan yang inspiratif. Sebab, ketupat adalah beras-beras kasih, beras-beras rindu, (kepada Sang Pencipta?) – hingga tidak adil rasanya bila sekadar membelahnya, dalam sebuah momen sakral yang dinanti-nantikan dengan segenap kesadaran dan ucapan syukur. Yakni, dalam sebuah hari khusus bagi umat Islam: hari kemenangan melawan ’keburukan’ hari kemarin. Hari kembali ke fitri dan hati yang suci.

Toh, kalaupun ketupat itu harus dibelah ---karena untuk memakannya memang harus dibelah, tidak sembarang pisau yang mampu membelahnya. Tidak dengan pisau dunia. Melainkan oleh sebuah pisau khusus, pisau kasih sayang, pisau kesantunan. Itulah pisau pertobatan seorang manusia di hari Lebaran. Sebuah kualifikasi moral dan kemanusiaan yang telah mendapatkan hakikat tazkiyah, tidak terukur oleh manusia, karena sifatnya ilahiah.

Di sini, ketupat yang tampak remeh sebagai makanan atau jajanan itu, bahkan biasa ditemukan dan diperjualbelikan di pinggir jalan kota-kota besar Indonesia – telah mendapatkan pengayaan makna religiusitas yang luar biasa, karena kepiawaian Zawawi menyusunnya di dalam metafora: beras-beras kasih, beras-beras rindu. Inilah makna esensial dari tradisi ketupat.


Historisitas & Semiotika Ketupat
Eksistensi ketupat dalam khazanah kebudayaan Indonesia ternyata mendapati kekhasan-nya yang unik. Karena ketupat, ritual keagamaan tidak lagi menjadi diskursus hukum agama, tetapi telah merasuk pada sendi kebiasaan, pranata sosial, hingga instrumen komunikasi virtual maupun aktual. Paling tidak, konfirmasi fakta-fakta ini hendak membuktikan betapa budaya ketupat dalam kultur masyarakat Indonesia tidak dapat diremehkan.

Seorang sarjana bidang kajian budaya, tulis Saifur Rohman (KOMPAS, 19 September 2009), tidak dapat dikatakan paham secara empirik latar masyarakat Indonesia jika tidak mampu membelah makna ketupat. Pada ranah ini, lapisan pemaknaan baru dikuakkan. Religiusitas dipertebal bersama asiosiasi pemaknaan tanpa menyangkut-nyangkutkan teks dengan (mengusung) istilah Tuhan atau agama. Bersama Ketupat, persoalan religiusitas terasa cair, akrab, bahkan sederhana dalam keseharian, tapi memiliki bobot makna universal. Di sinilah keunikan ketupat mendapatkan justifikasinya.

Selama ini, kita baru tahu dari kajian antropologi struktural Claude Levi-Strauss tentang hubungan makanan dan kebudayaan. Buku Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan hasil-hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku.Bila kita meminjam perangkat metode semiologi Charles Sanders Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung; lambang adalah proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.

Sebagai ikon, ketupat dideskripsikan sebagai makanan berbahan beras yang dibungkus daun muda pohon kelapa atau janur, dibentuk setengah bujursangkar, dan kemudian dimasak hingga lunak. Untuk menikmatinya, ketupat dibelah-belah, dan daun-daun pembungkusnya disingkirkan. Belahan-belahan ketupat tersebut ditaruh di piring, disiram dengan kuah gulai daging atau ayam. Ketupat pun siap dimakan dengan rasa nikmat.Dan ternyata, tidak setiap orang mampu membuat anyaman janur sebagai wadah beras. Lambat laun, ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme menyambut Lebaran.

Sebagai lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti, sebagian masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat adalah satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri karena hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.

Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15. Dan kenapa harus janur yang dijadikan bungkus? De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Saling Merapat
Boleh jadi, banyak gambar ketupat menempel di kartu pos, menyeruak ke e-mail, terukir indah di SMS-MMS, dan aneka jejaring sosial yang bertebaran di dunia maya. Namun, karena 'ritual' makan ketupat itu tidak bisa dialkukan secara virtual, ketupat mengundang kita untuk hadir, bertatap muka, saling bercerita, saling merapat dalam bingkai persaudaraan. Kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari menjauhkan kita dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita menjadi makhluk asing yang terlempar dari budaya ketupat.

Dalam bahasa jawa, etimologi kata ketupat merupakan derivasi dari kata 'kupat'(Lihat : Slamet Mulyono Kamus Basa Jawa, 2008: 199). Frase kupat berarti ngaku lepat, mengaku bersalah. Kata itu menuntut kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi diri agar bisa saling memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang hakikat manusia. Dan ketupat sejatinya menjauhkan kita dari budaya saling sikat.


NB : Untuk teman-teman kampung Brambang tercinta, jangan bosan untuk mengakhiri rutinitas tahunan "kunjungan ketupat" ke rumah nenek di Matanir ya. Salam hangat untuk kalian semua...

30 September 2009

Post a Comment

Previous Post Next Post